Minggu, 30 November 2008

MENGAPA "SELF RIGHTEOUS" ?

Senin, 1 Desember 2008

Bacaan: Roma 2:1-11

2:1 Karena itu, hai manusia, siapa pun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama.
2:2 Tetapi kita tahu, bahwa hukuman Allah berlangsung secara jujur atas mereka yang berbuat demikian.
2:3 Dan engkau, hai manusia, engkau yang menghakimi mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, adakah engkau sangka, bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah?
2:4 Maukah engkau menganggap sepi kekayaan kemurahan-Nya, kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya? Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan?
2:5 Tetapi oleh kekerasan hatimu yang tidak mau bertobat, engkau menimbun murka atas dirimu sendiri pada hari waktu mana murka dan hukuman Allah yang adil akan dinyatakan.
2:6 Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya,
2:7 yaitu hidup kekal kepada mereka yang dengan tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan,
2:8 tetapi murka dan geram kepada mereka yang mencari kepentingan sendiri, yang tidak taat kepada kebenaran, melainkan taat kepada kelaliman.
2:9 Penderitaan dan kesesakan akan menimpa setiap orang yang hidup yang berbuat jahat, pertama-tama orang Yahudi dan juga orang Yunani,
2:10 tetapi kemuliaan, kehormatan dan damai sejahtera akan diperoleh semua orang yang berbuat baik, pertama-tama orang Yahudi, dan juga orang Yunani.
2:11 Sebab Allah tidak memandang bulu.

Mudah bagi orang-orang Kristen di Roma menjadi self-righteous karena mereka tinggal di lingkungan orang-orang yang tidak percaya, yang menyembah berhala, dewa-dewa dan mempunyai moralitas yang rendah atau buruk. Biasanya “self righteous” timbul di dalam diri seseorang karena ia menganggap dirinya telah melakukan perbuatan-perbuatan yang baik atau yang benar di hadapan Tuhan. Sehingga dengan demikian ia merasakan kepercayaan diri yang sangat tinggi di dalam hatinya bahwa ia sangat disukai dan dikasihi Allah. Padahal Allah telah mengasihi dirinya ketika ia masih berdosa. Lagipula soal benar atau tidak dihadapan Allah bukan saja soal perbuatan baik yang kita lakukan tetapi juga soal perbuatan baik yang tidak kita lakukan (band. Yak 4:17).

Kebenaran ini dapat diperjelas dengan mempelajari perumpamaan Yesus tentang orang Farisi dan pemungut cukai. Orang Farisi menyebutkan betapa baiknya dirinya dan betapa baiknya perbuatan-perbuatan yang ia lakukan. Ia berkata bahwa ia tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, dan bukan juga seperti pemungut cukai yang ada didekatnya. Ia berpuasa dua kali seminggu, dan memberi perpuluhan. Sedang kontrasnya digambarkan oleh pemungut cukai yang tidak berani menengadah ke langit, memukul dirinya dan memohon belas kasihan Allah karena ia sadar akan dirinya di hadapan Tuhan yaitu orang yang berdosa dan tidak layak di hadapan-Nya.

Menurut Efesus 2:8-10, pekerjaan-pekerjaan baik yang seseorang lakukan berasal dari kasih karunia Allah yang bekerja di dalam diri orang itu. Bukan sebaliknya, ia melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik demi mendapatkan kasih karunia Allah. Artinya, pengertian yang benar tentang Allah dan tentang diri seseorang yang ia peroleh dari Alkitab akan menumbuhkan iman dan kepercayaannya sehingga membuat ia sadar tentang siapa dirinya dan tentang keberadaannya di hadapan Allah. Selanjutnya ia bertobat dan mendapat pengampunan dan penyertaan Tuhan di dalam hidupnya.

Dengan kata lain, perbuatan baik tidak terpisah atau berdiri sendiri tetapi dihasilkan. Seperti diucapkan Yohanes Pembaptis “Bertobatlah dan hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan itu.” Di Kisah Para Rasul 26:20, Paulus berkata, “…orang –orang harus bertobat serta melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan pertobatan itu.” Jadi jelas bahwa perbuatan, tindakan atau pekerjaan-pekerjaan yang baik berasal dari pertobatan, dan pertobatan berasal dari kesadaran dan pengertian yang benar akan firman yang berasal dari Allah.

Dalam perumpamaan Yesus yang lain yaitu tentang benih, Ia menggambarkan bagaimana firman ditabur di hati orang. Ada benih yang mati, yang tidak tertanam dengan baik, ada yang tertanam tetapi tidak terpelihara dengan baik, yang terhimpit, terganggu pertumbuhannya, dan mati pada akhirnya. Tetapi, ada yang tertanam dengan baik, tumbuh subur dan menghasilkan buah yang banyak.

Dengan demikian orang-orang Kristen sepatutnya jangan hidup sebagai orang yang “self righteous” seperti orang Farisi tetapi sadar dan bertobat seperti pemungut cukai dalam perumpamaan Yesus. Dan Yesus menggunakan contoh orang Farisi sebagai tanda bahwa posisi, jabatan atau citra yang baik atau yang populer di mata masyarakat bukanlah suatu jaminan bahwa seseorang itu benar atau berkenan di hadapan Allah.

Doa:
Tuhan terima kasih atas pelajaran pagi ini. Mampukan hamba agar dapat senantiasa mengerti kebenaran Engkau, rendah hati, sadar dan setia di hadapan-Mu. Di dalam nama Yesus Kristus. Amin.

Tidak ada komentar: