Senin, 31 Agustus 2009

DEASY BAPTISM DAY



Sun, Aug 30, 2009
Naek & Lenda Residence
PDA Harapan Indah Bekasi
Married Ministry

Komunikasi Apologis yang Efektif (Bagian 2)

Seorang apologis semestinya jangan pernah terjebak ke dalam diskusi atau debat filsafat. Karena firman Tuhan bukanlah filsafat, demikian pula filsafat bukanlah firman Tuhan. Filsafat berasal dari dunia sedangkan firman Tuhan berasal dari Sorga. Filsafat adalah kemampuan atau kekuatan manusia di dalam berpikir dan berusaha menemukan hubungan atau jawaban logis tentang atau terhadap segala sesuatu, tetapi Alkitab adalah penyataan Allah. Filsafat hanyalah logika dan rasio semata tetapi firman Tuhan jauh lebih dari itu. Ia bukan kata-kata biasa. 1 Tesalonika pasal 1 ayat 5 mengatakan:”Sebab Injil yang kami beritakan bukan disampaikan kepada kamu dengan kata-kata saja, tetapi juga dengan kekuatan oleh Roh Kudus dan dengan suatu kepastian yang kokoh…” Dengan kata lain, filsafat dan firman Tuhan adalah sangat berbeda secara mendasar. Keduanya tidak dapat diperbandingkan, disetarakan, atau pun disejajarkan.

Bagi saya, adalah justru sangat logis dan rasional jika kita menyimpulkan dan menyatakan bahwa logika dan rasio semata tidak akan pernah berhasil membawa atau menghantarkan manusia kepada Tuhan melainkan iman. Iman yang timbul dari pendengaran terhadap firman-Nya yaitu Alkitab (band. Roma 10:17). Contohnya, seperti apakah logika atau rasio manusia menjelaskan dari mana ia berasal? Apa yang semestinya ia lakukan di dalam hidupnya sebagai manusia? Apakah tujuan hidupnya dan kemanakah ia akan pergi setelah mati? Saya percaya bahwa Anda pasti sudah dapat menduga akan seperti apakah logika atau rasio kita menjawab dan menjelaskan tentang semua itu. Tentu tidak akan sama dengan Alkitab. Mengapa? Karena logika dan rasio hanya dapat menjawab berdasarkan apa yang dapat dilihat oleh mata dan yang dapat didengar oleh telinga. 1 Korintus pasal 2 ayat 9 mengatakan:”Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” Artinya, firman Tuhan adalah sesuatu yang baru yang berbeda bagi manusia. Ia adalah penyataan yang diberikan kepada manusia atas inisiatif Tuhan sendiri. Sesuatu semacam interfensi dari sorga ke dunia. Out of the box.

Jadi, tidak heran mengapa Alkitab dimulai dengan iman. Kejadian pasal 1 mengatakan bahwa Tuhan menciptakan langit dan bumi dan segala isinya dalam waktu enam hari, dari yang tidak ada menjadi ada, dengan cara berfirman. Bukankah ini hanya dapat dimengerti atau diterima dengan iman saja bukan logika atau rasio?

Filsafat tidak akan pernah menerima iman. Mengapa? Karena jika ia menerima iman maka ia bukan lagi filsafat. Sebaliknya, Alkitab dimulai dengan iman, dimengerti dan diterima dengan iman. Mengapa? Karena ia adalah penyataan khusus Tuhan. Penyataan Tuhan yang pertama adalah melalui alam semesta (band. Roma 1:19-20). Langit, bumi dan segala isinya sesungguhnya diciptakan Tuhan bukan saja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup manusia tetapi juga sebagai penyataan diri Tuhan kepada manusia. Sehingga, melalui ciptaan-Nya, manusia dapat mengenal Dia bahwa Ia adalah Tuhan yang Maha Kuasa, bahwa Ia adalah pribadi yang intelek jauh di atas manusia, bahwa Ia peduli, mengasihi, dan memerhatikan manusia. Tetapi, alam semesta saja tidaklah cukup bagi manusia untuk dapat mengenal Tuhan. Manusia butuh sesuatu yang lebih jelas dan yang lebih nyata lagi dan Tuhan tahu kebutuhan tersebut. Oleh sebab itu, Tuhan menyatakan diriNya dengan lebih jelas lagi melalui Alkitab yaitu firman yang dihasilkan oleh Roh Kudus dengan nabi-nabi dan rasul-rasul sebagai mediaNya (band. 2 Pet 1:20-21).

Pertanyaannya, bagaimana kita dapat mengetahui apakah Alkitab berasal dari Tuhan atau tidak? Saat ini saya tidak akan berusaha menjawabnya berdasarkan informasi-informasi eksternal Alkitab melainkan dari dalamnya, yaitu dari Alkitab sendiri. Biarlah ia yang akan memberikan jawabannya kepada Anda dan saya.

Satu hal penting yang harus kita ketahui adalah bahwa Alkitab dituliskan oleh nabi-nabi dan rasul-rasul. Mereka dipilih oleh Tuhan bukan sebaliknya yang memilih Tuhan. Di Keluaran 4 ayat 12 Tuhan berfirman kepada Musa: ”…pergilah, Aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau, apa yang harus kau katakan.” Ini disampaikanNya pada saat memilih, menetapkan dan akan mengirim atau mengutus Musa sebagai nabi. Dengan kata lain, sebelum seseorang berbicara atas nama Tuhan, mewakiliNya, menjadi alat atau nabiNya yang menyampaikan firmanNya, ia terlebih dahulu harus menerima firman secara langsung dari Tuhan.

Secara etimologi, arti kata nabi (prophet) juga menjelaskan hal ini yaitu yang menyampaikan kata-kata atau tulisan-tulisan yang berasal dari Tuhan (prophecies). Ulangan 18 ayat 18 juga mengatakan hal yang sama: ”seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya.” Demikian juga Yeremia pasal 1 ayat 9 mengungkapkan bahwa sebelum Tuhan mengirim atau mengutus nabi Yeremia, Tuhan mengulurkan tangan-Nya dan menjamah mulutnya; Tuhan berfirman kepada Yeremia:”Sesungguhnya, Aku menaruh perkataan-perkataan-Ku ke dalam mulutmu.” Dan, di Yehezkiel pasal 3 ayat 1 dan 2, Tuhan berfirman kepada Yehezkiel:”Hai anak manusia, makanlah apa yang engkau lihat di sini; makanlah gulungan kitab ini dan pergilah, berbicaralah kepada kaum Israel.”

Dari kutipan ayat-ayat tadi dapat kita temukan konsistensi tentang bagaimana Tuhan menyampaikan firman-Nya melalui nabi-nabi. Tidak ada subjektifitas dari orang-orang yang akan diutus atau dikirimNya. Tidak ada campur aduk, pikiran, pendapat, atau kepentingan dari atau oleh manusia tetapi Tuhan saja. Hanya firman-Nya, perkataan-perkataan-Nya saja yang mereka terima dan sampaikan. Wahyu pasal 22 ayat 18 sampai 19, menunjukkan sikap yang serius dan sungguh dari rasul Yohanes terhadap setiap kata yang diterima dan disampaikannya dari Tuhan. Ia berkata:”…jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di kitab ini. Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini.” Ini berarti bahwa ada terdapat konsistensi sikap yang serius dan sungguh juga dari nabi-nabi atau rasul-rasul yang menyampaikan firman Tuhan. Dengan kata lain, bukan saja Tuhan yang menyampaikan setiap kata tanpa terkorupsi atau terkontaminasi tetapi nabi-nabi dan rasul-rasul pun juga demikian, mereka tidak menambahi atau pun menguranginya.

Jadi, penyataan Tuhan yang pertama adalah melalui alam semesta, yang kedua adalah melalui Alkitab, dan yang ketiga yang akan saya jelaskan sesaat lagi adalah Firman yang hidup yaitu Yesus Kristus, Anak Allah yang tunggal (band. Yoh 1:1;14; 1 Yoh 1:1; Yoh 3:16). Dari Yesus, oleh Yesus atau melalui Yesus, kita melihat Bapa. Yohanes 14 ayat 9 mengatakan:”… Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa;….” Bahkan jauh sebelumnya, nabi Yesaya pun sudah menubuatkan ini bahwa Yesus adalah Immanuel yang artinya Allah beserta atau bersama-sama dengan kita.

Jika seorang apologis menghadapi pendebat yang tulus, yang sungguh-sungguh ingin belajar dan mengerti, maka tidak ada cara yang lebih efektif selain menyampaikan firman Tuhan, tetapi jika ia berhadapan dengan pendebat yang tidak tulus, maka tidak ada cara lain yang lebih efektif selain mengebaskan debu dari kakinya.



Copyright (c) 2009 by Naek @ NEVER MISSING QUIET TIME
http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Rabu, 26 Agustus 2009

Komunikasi Apologis yang Efektif (Bagian 1)

Selama menjadi seorang Kristen saya sudah mendengar isu-isu yang men-diskreditkan Yesus atau Alkitab, baik secara verbal maupun melalui media masa. Saya percaya bahwa tentu saja orang-orang yang menyebarkannya mempunyai tujuan atau kepentingan tersendiri. Entah itu demi sensasi, popularitas, politisasi, atau mungkin semata-mata karena anti terhadap kekristenan. Saya tidak akan menyebutnya di sini satu per satu tetapi satu hal yang pasti tentang isu-isu tersebut bahwa semuanya terkikis habis, hilang, lenyap ditelan oleh waktu. Tidak ada satu pun dari isu-isu tersebut yang bertahan hingga saat ini.

Ini sebenarnya merupakan suatu bukti atau pelajaran bagi orang-orang Kristen agar tidak akan pernah percaya, terpancing, marah, atau tersinggung dengan isu-isu semacam itu. Apa yang semestinya dilakukan oleh orang-orang Kristen semestinya adalah tetap tekun mempelajari Kitab Suci mereka. Mengapa? Karena Alkitab adalah kebenaran dan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar di dalam hidup manusia. Yesus berkata di Yohanes pasal 17 ayat 17:”…firman Tuhan adalah kebenaran.”

Dengan demikian, setiap apologis Kristen yang percaya kepada kuasa firman Tuhan tidak harus mengambil langkah atau tindakan yang tidak tepat atau tidak sesuai dalam merespon isu-isu yang demikian. Cukup membaca, memerhatikan dan menyelidiki Alkitab yang ada di rumah, maka mereka akan dapat menemukan jawabannya. Jika seseorang apologis bukanlah sejarahwan atau arkeolog, tentu ia tidak perlu mengunjungi tempat-tempat atau lokasi-lokasi tertentu untuk mengadakan penelitian sejarah atau arkeologi. Mengapa? Karena Alkitab sebenarnya cukup untuk menjawab isu-isu semacam itu. Mazmur pasal 19:8 berkata:”Taurat Tuhan itu sempurna”. Ibrani pasal 4 ayat 12 mengatakan:”…firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pedang bermata dua manapun,…ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.” Contohnya terhadap isu-isu yang men-diskreditkan Yesus, Alkitab dengan sangat jelas telah menubuatkan tentang kedatangan Yesus, kelahiran-Nya, kehidupan, pelayanan, kematian dan kebangkitan-Nya. Sehingga atas dasar itu, isu-isu apapun yang negatif, yang sensasionl yang seperti apapun tentang Yesus dapat dibuktikan kesalahannya oleh Alkitab, termasuk isu tentang Yesus yang pernah hijrah ke India atau menikah dengan Maria Magdalena. Itu jelas adalah kebohongan dan fitnah.

Seorang apologis memang tidak ada salahnya mengetahui atau mengenali teknik-teknik yang biasa dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk memutarbalik atau mengubah haluan orang Kristen atau apologis sehingga tidak percaya kepada Alkitab. Menurut saya ada 4 (empat) teknik yang biasanya digunakan oleh orang-orang seperti mereka.

Teknik yang pertama adalah menghina atau mengejek. Ini biasanya dilakukan terhadap seorang apologis yang mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Mereka mungkin akan mengamati dan memerhatikan apa yang dapat dijadikan senjata untuk menjatuhkan seorang apologis tersebut. Apakah itu soal penampilannya, caranya berbicara atau menyampaikan jawaban, atau mengenai apa yang sedang atau baru saja ia sampaikan.

Teknik yang serupa juga digunakan oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat terhadap Yesus. Mereka menghina, mengejek Dia, menyebut-Nya sebagai penghujat, mitra Belzebul, dan sebagainya. Tetapi mereka tidak pernah berhasil. Mengapa? Karena Yesus menjawab mereka dengan Kitab Suci yang kuat dan penuh kuasa. Ia seringkali menjawab dengan cara melontarkan pertanyaan seperti ini:”Tidakkah engkau baca?”, “Bukankah ada tertulis?” dan semacamnya. Ini menunjukkan saya dua hal penting. Yang pertama adalah bahwa Kitab Suci adalah kuasa Tuhan. Dan yang kedua adalah bahwa Yesus memberikan teladan kepada orang-orang Kristen untuk menjawab dengan Alkitab meskipun sebenarnya Ia sendiri adalah Firman yang hidup (band. Yoh 1:1, 14). Ia dapat menyatakan sesuatu dan sesuatu itu adalah firman.

Teknik yang kedua adalah dengan cara memuji. Ini sangat berbeda dan bertolak belakang dengan teknik yang pertama. Jika teknik yang pertama digunakan terhadap seorang apologis yang percaya diri, maka teknik yang kedua adalah terhadap apologis yang kurang percaya diri. Dengan menggunakan teknik ini diharapkan apologis tadi dapat dimenangkan hatinya, kemudian dirangkul menjadi teman sehingga meskipun mungkin tidak menjadi pendukung utama, tetapi setidaknya sudah tidak terlalu serius atau sungguh-sungguh bahkan mungkin akan menjadi kompromis terhadap kebenaran.

Teknik yang ketiga adalah repetisi. Repetisi bukan saja dilakukan oleh orang-orang sekuler, tetapi juga orang-orang yang relijius dan orang-orang Kristen pun melakukannya. Repetisi sangat berguna dan menguntungkan jika dilakukan terhadap ajaran atau doktrin yang Alkitabiah, sebaliknya tidak demikian terhadap yang tidak Alkitabiah. Contohnya, iklan produk-produk di media seperti televisi, internet, radio, surat kabar, billboard, dan sebagainya biasanya dilakukan dengan teknik repetisi yaitu mengkomunikasikan atau mengeksposnya berulang-ulang kali. Dengan demikian diharapkan orang-orang yang melihat, mendengar atau memerhatikan iklan tersebut akan tahu, mengingat, percaya dan yakin kepada produk yang diiklankan tersebut. Bahkan lebih dari itu mereka mungkin akan nge-fans atau ‘fanatik’ terhadap apa, siapa atau bagaimana produk itu diiklankan. Akibatnya, tidak sedikit orang di masa kini yang terjebak dan terperangkap di dalam materialisme dan konsumerisme. Lukas 11:28 berkata:”Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan memeliharanya”. Bukan yang materialis atau yang konsumeris. Jika demikian, salahkah mengiklankan produk? Tentu saja tidak. Tetapi, setiap orang perlu mengetahui dan menyadari seperti apakah sejatinya iklan-iklan tersebut secara umum yaitu bahwa ia biasanya tidak akan mengkomunikasikan kekurangan, kelemahan, efek samping, resiko atau dampak negatif dari produk-produknya.

Orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen semestinya juga sangat familiar dengan repetisi terhadap Alkitab. Baca dan perhatikanlah Ulangan pasal 6:6-8 dan Ibrani 1:1 berikut ini:

Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu. (Ulangan 6:6-8)

Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta. (Ibrani 1:1-2)

Bedanya, semua produk tanpa kecuali adalah fana tetapi firman Tuhan yang tertulis di Alkitab adalah kekal selamanya (band. Luk 21:32; 1 Pet 1:24-25; Mzm 119:89). Sekarang tergantung tiap-tiap orang apakah ia akan percaya kepada Alkitab atau tidak? Setiap orang mempunyai banyak pilihan di dalam hidupnya. Apakah yang ia inginkan? Apakah yang ia percayai atau yakini? Apakah yang akan ia jadikan sebagai panduan hidupnya? Apakah ia mau mengikut Yesus atau orang seperti Hitler? Seseorang mungkin menyatakan bahwa ia tidak mau percaya kepada apapun atau kepada siapapun? Bukankah itu juga berarti pilihan. Sesuatu semacam kepercayaan atau keyakinan dalam bentuk yang berbeda yaitu bahwa ia tidak percaya kepada apa atau siapapun tetapi dirinya sendiri? Dengan kata lain, setiap manusia pasti akan percaya dan memilih sesuatu di dalam hidupnya, entahkah itu Tuhan atau yang lain.

Teknik yang keempat adalah dengan menggunakan public figure. Caranya adalah dengan mengekspos pernyataan atau testimony dari orang-orang terkenal, selebritis, yang mempunyai banyak fans atau audiens di dunia atau masyarakat luas yang berpotensi memutarbalikkan atau mengubah haluan orang-orang Kristen atau apologis. Orang-orang tertentu mempunyai potensi untuk melakukan hal semacam ini dan dapat memengaruhi banyak orang secara emosional.

Terlepas benar atau tidak tayangan-tayangan video di internet, YouTube, saya mengakui pernah merasa down dan kecewa terhadap pernyataan-pernyataan pendeta dan penginjil besar seperti Billy Graham dan Robert Schuller. Secara eksplisit, mereka menyatakan bahwa Yesus bukanlah satu-satunya jalan. Benarkah? Tidak. Alkitab selalu mempunyai jawaban dan dapat menjaga dan memertahankan dirinya. Galatia pasal 1 ayat 8 berkata tentang orang-orang seperti ini:

”Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia.”



Copyright (c) 2009 by Naek @ NEVER MISSING QUIET TIME
http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Senin, 24 Agustus 2009

Minggu, 23 Agustus 2009

LIMA PENYEBAB SALAH INTERPRETASI

Ada lima hal menurut saya yang mengakibatkan kesalahan di dalam menginterpretasikan Alkitab. Yang pertama adalah subjektifitas. Subjektifitas biasanya timbul di dalam diri seseorang yang sudah mempunyai pemikiran, kepercayaan atau keyakinan sendiri sebelum mengadakan studi yang komprehensif terhadap Alkitab. Orang yang subjektif menggunakan ayat-ayat Alkitab tertentu untuk mendukung pemikiran, kepercayaan, atau keyakinannya tersebut.

Salah satu akibat dari sujektifitas adalah bias. Bias dapat timbul atau terjadi di dalam diri seseorang yang sebelumnya sudah mempunyai pengalaman tertentu, yang mengakar kuat di dalam diri seseorang, yang traumatis atau semacamnya. Contohnya, seseorang yang dibesarkan di tengah lingkungan yang permisif, yang biasanya tidak menghormati otoritas akan sangat sukar menerima Alkitab yang otoritatif terhadap dirinya. Akibatnya, orang-orang yang demikian akan cenderung menyukai ayat-ayat tertentu yang tidak bersifat menegur atau yang imperatif. Ditambah lagi, Alkitab juga mengandung informasi tentang penghakiman dan neraka. Sesuatu yang tidak disukai oleh orang yang seperti dicontohkan tadi.

Tidak heran mengapa ada terdapat kelompok atau ajaran Kristen tertentu yang tidak percaya atau tidak menerima ajaran atau pesan bahwa penghakiman dan neraka itu adalah benar dan sungguh ada. Pengikut-pengikut ajaran seperti itu mungkin juga adalah orang-orang yang serupa, yang biasanya tidak menghormati otoritas, menentang disiplin, dan menolak tanggung jawab (band. Ibrani 4:12-13).

Padahal, Alkitab mengandung 2 (dua) jenis pesan yang sangat jelas. Pertama yaitu pesan keselamatan (Sorga) dan yang kedua adalah pesan penghakiman (Neraka). Yang pertama adalah bagi orang yang percaya, sedangkan yang kedua adalah bagi yang tidak percaya. Berikut di bawah ini adalah contoh ayat-ayat yang berkaitan dengan hal tersebut.

Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum. (Markus 16:16)

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. (Yohanes 3:16)

Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. Bagi yang terakhir kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan. Tetapi siapakah yang sanggup menunaikan tugas yang demikian? (2 Korintus 2:15-16)

Paulus sendiri melontarkan pertanyaan:”…siapakah yang sanggup menunaikan tugas yang demikian?” Artinya tugas pemberita firman sesungguhnya merupakan tugas yang sangat menantang dan sangat beresiko terhadap pemberitanya. Mengapa? Karena ia menyampaikan bukan saja kabar baik bagi tetapi juga pesan atau berita tentang penghakiman bagi orang yang tidak percaya.

Yohanes pasal 16 ayat yang ke 8 mengatakan bahwa Roh Kudus akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman. Dialah juga yang menghasilkan Alkitab yang dituliskan oleh nabi-nabi dan rasul-rasul (band. 2 Petrus 1:20-21). Dengan kata lain, baik Roh Kudus maupun Alkitab mengandung pesan tidak berbeda, tidak bertentangan atau tidak bertolak belakang yang salah satu pesannya adalah penghakiman atau neraka.

Yang kedua adalah sentimentalitas. Sentimentalitas juga adalah salah satu hal yang berpotensi menghasilkan bias di dalam interpretasi seseorang terhadap Alkitab. Orang-orang Kristen yang lahir di tengah budaya yang sungkan terhadap orang lain akan sangat sukar atau bergumul di dalam merespon atau menerima ayat-ayat tertentu yang mengandung nasihat untuk mengoreksi, menasihati atau menegur orang lain. Apalagi, salah satu manfaat Alkitab adalah untuk mengoreksi dan menyatakan kesalahan bukan saja diri sendiri tetapi juga orang lain.

Tokoh-tokoh Alkitab seperti para nabi dan para rasul adalah orang-orang yang mengalami resiko berupa ejekan, hinaan bahkan penganiayaan karena berita yang mereka bawa dan sampaikan. Semua itu tentunya tidak akan pernah terjadi jika mereka hanya membawa pesan atau berita tentang kedamaian atau tentang Sorga saja. Yohanes Pembaptis misalnya, hidupnya di dunia berakhir dengan kepala yang dipenggal dan disajikan di atas talam. Saya merasa tidak perlu menjelaskan lebih lanjut kepada Anda tentang bagaimana atau seperti apa Yohanes Pembaptis menyampaikan khotbahnya di padang gurun. Anda pasti sudah mengetahui dan familiar tentang suaranya yang keras dan khotbahnya yang lantang. Yesus Kristus pun bukanlah orang yang sentimental meskipun Ia adalah pribadi yang penuh kasih. Ia menegur keras agamawan yang munafik, yang kurang ajar, orang-orang yang tidak percaya, atau yang hanya berupaya memenuhi kebutuhan jasmani dan bukan rohani.

Yang ketiga adalah rasionalisme. Rasionalisme dapat menjadi penyebab timbulnya kesalahan di dalam menginterpretasikan Alkitab meskipun sesungguhnya kitab tersebut adalah kitab yang rasional. Hal-hal atau bagian-bagian tertentu yang ada terdapat di dalamnya yang mungkin sulit atau sukar dicerna atau diartikan secara rasio oleh manusia sesungguhnya bukanlah berada di bawah level rasio manusia atau irasional, tetapi sebaliknya berada di atas rasio manusia atau biasa disebut dengan supra rasio. Contohnya tentang penciptaan langit dan bumi di dalam waktu enam hari, dari yang tidak ada menjadi ada. Selain itu tentang kebangkitan dari mati, tentang kenaikan, tentang surga, neraka, tentang trinitas, tentang inkarnasi, dan lain-lain.

Rasionalisme dapat mengakibatkan orang-orang Kristen tertentu menetapkan doktrin sendiri yang berbeda dari pesan atau pengertian asli Alkitab, sehingga, lahirlah aliran atau kelompok yang baru yang biasa disebut dengan sekte atau cult. Sekte atau cult tertentu tidak percaya tentang eksistensi neraka, tidak percaya bahwa Yesus Kristus adalah satu dari tiga pribadi Tuhan, dan tidak percaya tentang kebangkitan dari mati.

Yang ke-empat adalah lack of study atau kurangnya studi atau pendalaman Alkitab. Seseorang mungkin saja mengutip satu atau dua ayat di dalam Alkitab, kemudian memercayai dan meyakininya, lalu melakukan, menerapkan atau mengimplementasikannya. Padahal, mungkin saja bahwa satu dua ayat yang dikutipnya itu belumlah lengkap tanpa ayat-ayat yang lain yang juga disebutkan oleh Alkitab. Contoh yang paling mudah atau sering ditemukan di dalam kehidupan Kristen adalah interpretasi terhadap Yohanes 3:16 yang mengatakan:”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Orang Kristen yang tidak membaca Lukas 13:3,5 akan menyimpulkan “percaya saja sudah cukup” atau “yang penting percaya”. Sebaliknya, orang Kristen yang mengadakan studi dengan teliti dan rajin akan mengerti bahwa percaya yang dimaksud oleh Yohanes 3:16 berarti juga adalah bertobat seperti yang disebutkan oleh Lukas 13:3,5.

Yang kelima adalah dosa. Roma 1:25 mengatakan:”Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya,…” Dosa adalah penyebab mengapa manusia tidak menerima dan menolak kebenaran yaitu dengan cara menggeser dan menggantikannya dengan yang lain. Itu bisa saja merupakan ritual atau tindakan relijius yang mungkin tampaknya sangat sungguh-sungguh dan mempesona. Tetapi sesuai kitab Roma pasal 10 ayat 1 dan 2, kesungguhan bukanlah acuan atau patokan bahwa seseorang akan dinilai atau dipandang benar oleh Tuhan atau dapat diterima oleh-Nya melainkan apakah orang tersebut mempunyai pengertian yang benar. Interpretasi atau pengertian yang benar adalah awal atau dasar yang mutlak dan penting sebelum seseorang melakukan semua tindakan atau perbuatan-perbuatan spiritual atau rohaninya.

Saya ulangi sekali lagi secara ringkas, lima hal yang menyebabkan salah interpretasi adalah subjektifitas, sentimentalitas, rasionalisme, lack of study, dan yang kelima adalah dosa. Lima hal ini dapat berhubungan atau saling kait-mengkait antara satu dengan yang lain.



Copyright (c) 2009 by Naek @ NEVER MISSING QUIET TIME
http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Kamis, 20 Agustus 2009

HARYSON BAPTISM DAY



HARYSON BAPTISM DAY
Suyanto & Dian Residence
Wed, Aug 19, 2009
Jakarta Pusat & Harapan Indah Bekasi
Married Ministry

Rabu, 19 Agustus 2009

APOLOGETIK (Bagian 2)

Salah satu bagian dari apologetic adalah bersifat sejarah atau biasa disebut dengan historical apologetic. Artinya adalah penjagaan, pertahanan atau pembelaan terhadap Alkitab yang berkaitan dengan sejarah. Misalnya, tentang evidensi Kristus, tentang sejarah kitab-kitab, tahun, penanggalan, penggalian, arkeologi, dan tentang peneguhan waktu atau catatan sejarah di Alkitab.

Semua upaya berupa observasi, riset, penelitian, atau analisa terhadap fakta atau data yang ada atau yang ditemukan melalui eksplorasi atau discovery bertujuan untuk menjaga, memertahankan atau membela Alkitab. Contoh yang populer hingga saat ini adalah penemuan bukti sejarah mengenai kisah Nuh, bahtera dan air bah. Selain itu ada juga penemuan manuskrip Qumran, peninggalan-peninggalan sejarah seperti tembok ratapan, Via Dolorosa, dan sejumlah lokasi di Palestina dan Timur Tengah yang disebutkan oleh Alkitab.

Di masa kini, sudah banyak penyedia jasa tur wisata yang menawarkan paket perjalanan dan wisata untuk dapat melihat bukti-bukti atau peninggalan sejarah di Alkitab seperti sungai Yordan, bukit Golgota, dan sejumlah tempat-tempat sejarah lainnya. Ini menunjukkan atau membuktikan bahwa Alkitab memiliki dukungan yang kuat secara historical berupa bukti-bukti dan peninggalan-peninggalan sejarah.

Tetapi, meskipun historical apologetic memberikan kontribusi atau dukungan terhadap sejarah di Alkitab secara histories, menurut saya, itu saja tidaklah cukup untuk membawa atau mengantarkan seseorang untuk menjadi seorang Kristen atau murid Kristus yang sejati. Orang-orang Kristen memang patut berterima kasih terhadap historical apologetic tetapi jangan berpuas diri atau berhenti sampai di sana. Sebaliknya, mereka harus melanjutkan studi terhadap tulisan, konten, pesan, atau prinsip-prinsip yang ada di dalam Alkitab. Sehingga dengan demikian, barulah seseorang akan menjadi Kristen atau murid Kristus yang sejati.

Seorang Kristen yang sejati haruslah sadar dan yakin bahwa Alkitab adalah lengkap dan sempurna. Ia tidak berdusta dan tidak salah di dalam setiap kata atau tulisannya. Alkitab adalah kitab atau tulisan yang berani dan terang-terangan meng-klaim bahwa ia adalah murni, lengkap dan sempurna. Baca dan perhatikanlah dua kutipan ayat berikut di bawah ini:

Taurat Tuhan itu sempurna…(Mazmur 19:8)

Semua firman Allah adalah murni. Ia adalah perisai bagi orang-orang yang berlindung padaNya. Jangan menambahi firmanNya, supaya engkau tidak ditegurNya dan dianggap pendusta. (Amsal 30:5-6)


Klaim ini hanya punya dua kemungkinan. Ia benar atau dusta, itu saja. Tidak ada yang lain. Jika ia tidak benar berarti dusta. Jika ia bukan dusta atau bohong, berarti ia benar. Yesus secara jelas dan terang-terangan menyatakan bahwa Ia adalah kebenaran dan firmanNya adalah benar. Setiap kali ia mengajar, menjawab atau menjelaskan sesuatu kepada siapa saja termasuk iblis, ia merujuk dan mengutip Kitab Suci Perjanjian Lama. Kelahiran, kehidupan, pelayanan dan kebangkitanNya adalah bukti bahwa Ia bukan pembohong. Iblislah yang adalah pembohong dan bapa segala dusta.

Bagaimana dengan Kitab Perjanjian Baru? Bagi saya, itu lebih mudah dijelaskan. Mereka jelas-jelas telah menerima Roh Kudus di hari Pentakosta sesuai dengan janji yang telah disampaikan oleh Yesus. Sejak saat itu, kuasa dan kerja Roh Kudus sangat kelihatan termasuk di dalam menghasilkan tulisan-tulisan Kitab Suci. Sekian waktu setelahnya, bapa-bapa gereja menentukan kanon berdasarkan penulis yang adalah rasul dan mitra langsung dari rasul tersebut. Contohnya, rasul Paulus, Markus dan Lukas. Tulisan, isi, konten atau pesan yang disampaikan oleh kitab-kitab yang termasuk di dalam kanon tersebut pun tidak bertentangan tetapi saling mendukung atau menjelaskan. Dengan kata lain, Alkitab menjelaskan Alkitab.

Fakta ini semestinya mencengangkan dan mengherankan kita karena kitab-kitab yang ditulis oleh 40 orang di waktu, tempat, dan latar belakang yang berbeda dapat menghasilkan pesan yang singkron, tidak bertentangan, bahkan saling mendukung dan menjelaskan satu sama lain. Sesuatu yang tidak pernah dan tidak akan pernah lagi terjadi di dalam sejarah manusia. Ini menunjukkan atau membuktikan bahwa Tuhanlah yang ada dibalik semua itu. Dia-lah yang mengerjakannya, sedangkan para nabi dan rasul hanyalah alat atau mediaNya saja.

Jika kita menilai atau menyatakan bahwa Alkitab adalah benar sebagian saja, maka kita akan mengalami banyak masalah setelahnya. Apakah maksud saya? Maksud saya adalah setelah kita menyatakan demikian, maka kemudian kita pun secara otomatis dihadapkan kepada pertanyaan, bagian mana di Alkitab yang benar dan bagian mana yang salah?

Satu dasar penting untuk percaya bahwa Alkitab murni, lengkap dan sempurna adalah bahwa ia sesungguhnya tidak dihasilkan oleh manusia tetapi oleh Roh Kudus. Di 2 Tim 3:16 disebutkan bahwa tulisan Kitab Suci itu diilhamkan oleh Allah, atau nafas atau di-nafaskan Allah (menurut naskah Yunani).

Memang, yang menuliskan Alkitab adalah manusia tetapi mereka hanyalah alat atau media saja, sedangkan kata-kata yang mereka tuliskan berasal dari Allah. Kebenaran akan hal ini dijelaskan di dalam kisah-kisah para nabi ketika Tuhan sedang atau baru saja akan mengutus mereka. Contohnya, ketika Tuhan mengutus nabi Musa untuk menyelamatkan bangsa Israel dari Mesir, Musa merespon dengan mengatakan bahwa ia tidak pandai berkata-kata, tetapi Tuhan mengatakan bahwa Tuhanlah yang akan berbicara atau berkata-kata sedangkan Musa menyampaikan saja. Contoh yang lain adalah Yehezkiel dan Yeremia, Tuhan menaruh perkataan-perkataanNya ke dalam mulut mereka, dan mereka menyampaikannya.

Jadi, jelas bahwa lingkup kemurnian, kelengkapan dan kesempurnaan Alkitab mencakup sampai kepada kata-katanya bukan hanya pikiran, ide, atau konsepnya saja. Karena, bagaimana mungkin pikiran, ide atau konsep dapat disampaikan tanpa kata-kata? Jadi, seseorang akan terjebak di dalam kesalahan ketika menyatakan bahwa hanya pikiran, ide atau konsepnya saja yang murni dan sempurna. Jika, kata-katanya tidak murni dan sempurna, maka itu akan berarti bahwa pikiran, ide atau konsepnya pun tidak sempurna.

Anggapan, penilaian atau kesimpulan yang menyatakan bahwa Alkitab tidak lengkap juga akan berbahaya bagi orang Kristen. Mengapa? Karena jika orang Kristen menganggap atau menilai bahwa Alkitab tidak atau belum lengkap, itu berarti bahwa masih akan ada wahyu, nubuat atau penyataan yang lain, yang baru dari Allah di masa depan. Ini terjadi di dunia kekristenan yang nyata jelas mengacaukan dan membingungkan.

Ada orang-orang Kristen tertentu yang percaya dan mengekspos bahwa mereka masih menerima wahyu, nubuat, atau pun penglihatan bahkan dalam frekuensi yang cukup sering. Kepercayaan atau keyakinan seperti ini sebenarnya disadari atau tidak merupakan sikap yang tidak menghormati bahkan berpotensi menggeser atau menggantikan Alkitab. Di samping itu ia pun nantinya dapat memutar arah haluan orang-orang Kristen dari menuju Tuhan dan kebenaranNya kepada sesuatu yang lain, yang berbeda, dan itu tidak lain dan tidak bukan adalah dusta dan kebohongan, di mana iblis adalah dalang di balik semuanya.

Bukankah Alkitab sudah lengkap dan selesai ditulis? Itu berarti bahwa kita tidak perlu menambah atau menguranginya seperti yang dinyatakan oleh ayat-ayat berikut di bawah ini:

Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap. (1 Korintus 13:8-10)

…:”Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini.” (Wahyu 22:18-19)



Copyright (c) 2009 by Naek @ NEVER MISSING QUIET TIME
http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Selasa, 18 Agustus 2009

NEVER MISSING QUIET TIME'S SONG


Never Missing Quiet Time's Song
by Pierre Jacobs - Washington DC

Runner Up - Song of the Year 2008
Honorable Mention - Song of the Year 2009
Suggested Artist - Song of the Year 2009


http://www.songoftheyear.com/webawards/p/PierreJacobs.htm

Copyright (c) 2009 BEREAN RECORDING

Senin, 17 Agustus 2009

APOLOGETIK (Bagian 1)

Kata apologetic berasal dari bahasa Yunani yaitu “apologia” yang berarti “in defense of”. Kata “defense” sendiri berasal dari bahasa Inggris yang mempunyai sejumlah sinonim yaitu protection, resistence, guard, security, atau cover yang berarti perlindungan, pertahanan, penjagaan, pengamanan atau pembelaan. Jadi sederhananya, “apologia” berarti “dalam penjagaan terhadap” atau dapat juga berarti yang sinonim dengan arti kata “defense” tersebut. Sekarang yang jadi pertanyaan adalah penjagaan terhadap apa atau siapa? Tergantung di scope atau area mana kita bicara.

Di dalam ruang lingkup kekristenan, secara sederhana atau singkat, apologetik berarti penjagaan terhadap Alkitab. Saya cenderung menyebutnya terhadap Alkitab bukan saja terhadap iman atau kekristenan karena Alkitab adalah sumber atau asal usul iman dan kekristenan. Roma 10:17 berkata, “…iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus”. Dengan kata lain, tanpa Alkitab, iman atau kekristenan tidak akan pernah ada.

Selain alasan tersebut, ada satu hal penting yang patut diperhatikan dan diantisipasi yaitu bahwa kekristenan saat ini sangat banyak ragam dan jenisnya. Sehingga arti apologetika dapat berpotensi menjadi berat sebelah, subjektif dan relatif tentang siapa atau Kristen mana yang sedang dijaga atau dibela? Jadi adalah sangat tepat dan bijaksana, menurut saya, untuk menyatakan bahwa apologetik adalah penjagaan terhadap Alkitab lebih daripada penjagaan terhadap kekristenan. Jika seorang apologis dapat menjaga Alkitab dengan tepat, kuat dan benar, barulah ia dapat menjaga kekristenan. Penjagaan yang dimaksud bukan saja terhadap Alkitab nya secara fisik tetapi juga terhadap tulisan, isi, pesan dan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya.

Tantangannya kemudian adalah apakah orang-orang Kristen tertentu akan rela meninggalkan pengertian, doktrin atau ajarannya yang salah atau tidak sesuai dengan pesan murni Alkitab? Atau, malah timbul konflik atau permusuhan yang tidak sehat? Persatuan yang superfisial, menurut saya bukanlah jawaban atas masa depan apologetika. Biarlah orang-orang Kristen terus belajar, berdiskusi dan saling memengaruhi secara sehat. Jika tidak demikian, maka mungkin saja semangat atau dinamika pembelajaran akan mati atau melempem. Yang penting adalah sikap yang senantiasa mau belajar, objektif, terbuka dan rendah hati.

Sebelum kita membahas lebih lanjut atau lebih jauh lagi tentang apologetik, ada baiknya kita memulai dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Apakah artinya menjaga Alkitab? Mengapa Alkitab perlu dijaga? Siapakah yang disebut sebagai penjaga Alkitab? Mengapa seseorang disebut sebagai penjaga Alkitab atau apologis? Benarkah Alkitab perlu dijaga?

Seperti yang saya katakan tadi bahwa penjagaan Alkitab bukan saja terhadap buku atau kitabnya secara fisik tetapi juga terhadap tulisan, isi dan pesan yang terkandung di dalamnya. Apologis atau penjaga Alkitab bertugas, bertanggung jawab atau berperan menjaga Alkitab terhadap serangan-serangan langsung ataupun tidak langsung yang berasal dari luar kekristenan atau pun dari orang-orang Kristen yang menganut pengertian atau ajaran yang berbeda dari yang sebenarnya atau yang semestinya. Di antara nya adalah Christian Mystics, Christian Cults, Christian Occultists, Non-Christian Cults, New Age groups, The New Prajapati Movement, Occultic Cults, Secular Cults, Rationalist Groups, atau Humanists.

Di zaman rasul-rasul atau era apostolik pun sudah ada serangan-serangan terhadap Alkitab yang berasal dari luar kekristenan yaitu yang berasal dari penganut atau pengajar agama Yahudi dan juga dari agama-agama non-Yahudi, orang-orang mistis, para filsuf Yunani, dan penyembah-penyembah berhala. Selain itu ada juga orang-orang yang sebelumnya pernah menjadi anggota jemaat, tetapi seiring waktu berjalan, mereka kemudian mengundurkan diri, dan menjadi lawan, musuh, penentang atau penyerang Alkitab. Rasul Yohanes, melalui 1 Yohanes 2:19, menyatakan satu kesimpulan penting yang dapat dijadikan dasar atau pegangan tentang orang-orang Kristen semacam ini:

Memang mereka berasal dari antara kita, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita; sebab jika mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita, niscaya mereka tetap bersama-sama dengan kita. Tetapi hal itu terjadi, supaya menjadi nyata, bahwa tidak semua mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita (1 Yohanes 2:19)

Artinya, orang Kristen tertentu yang pernah menjadi anggota jemaat tetapi kemudian meninggalkannya, bahkan menjadi lawan, menjadi musuh, penentang, atau penyerang Alkitab, sesungguhnya bukanlah anggota jemaat sejati melainkan orang yang mengalami seleksi rohani. Sehingga, secara sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, ia telah mengundurkan diri dan keluar dari jemaat Tuhan. Mazmur pasal 1 mengkonfirmasi hal ini bahwa orang benar suka terhadap kebenaran dan berada di dalam kumpulan orang benar pula, sebaliknya orang fasik tidak menyukainya.

Mengingat realitas dunia yang seperti sekarang ini, Alkitab memang harus dijaga. Mengapa? Karena manusia mengalami perubahan mentalitas. Kejahatan pun mengalami eskalasi. Dari waktu ke waktu, manusia sangat mungkin menjadi semakin pintar dalam kejahatan. Hal ini dinyatakan oleh Rasul Paulus melalui suratnya kepada Timotius yang mengingatkan, bahwa akan tiba saatnya di mana orang-orang lebih suka menyenangkan telinganya. Mereka tidak menyukai ajaran yang benar. Di dalam suratnya kepada Jemaat Korintus, rasul Paulus seperti memberikan gambaran di masa depan bahwa akan terjadi semacam suatu pengkristalan, yaitu di mana orang-orang yang jahat akan semakin jahat, dan yang benar akan semakin benar. Itulah salah satu sebab mengapa Alkitab harus dijaga.

Alkitab harus dijaga terhadap para scientist yang tidak percaya atau tunduk kepada Tuhan seperti evolusionis. Ia harus dijaga terhadap penulis atau pengarang cerita fiksi seperti Dan Brown yang ahli dan terlatih menarik perhatian dunia dengan kata-kata sehingga men-diskreditkan Kristus. Alkitab harus dijaga terhadap misinterpretasi manusia, human wisdom, rasionalisme, mistisme, atau wahyu atau nubuat palsu.

Sejarah mencatat bahwa pernah terjadi di mana orang-orang Kristen (dalam tanda kutip) mengeksekusi tukang-tukang sihir, orang-orang mistis, dukun, atau semacamnya dengan cara-cara yang tidak terpuji. Ini bukanlah sikap atau tindakan yang disebut sebagai penjagaan terhadap Alkitab atau apologetik. Mengapa? Karena pembunuhan, kekerasan, kekejaman, tindakan-tindakan represif, atau kebencian adalah dosa di hadapan Tuhan.

Lagipula, sesungguhnya Tuhan sendiri tidak butuh bantuan atau pertolongan dari kita. karena Ia adalah Maha Kuasa. Ia sanggup menjaga dan melindungi firman-Nya. Atas dasar ini, saya menyadari bahwa pernyataan saya barusan tentang penjagaan terhadap Alkitab sebenarnya merupakan bahasa yang berdasar atas human perspective. Apakah maksud saya? Maksud saya adalah bahwa sesungguhnya Tuhanlah yang menjaga Alkitab bukan manusia. Dialah yang mempertahankan dan melindungi firman-Nya Sedangkan seorang apologis hanyalah alat bagi-Nya. Matius 24:35 mencatat janji Tuhan tentang Alkitab bahwa ia tidak akan musnah, hilang atau lenyap.

“Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan (Tuhan) tidak akan berlalu.”

Jadi, jika seseorang terlibat atau dilibatkan di dalam penjagaan Alkitab, itu artinya bahwa Ia menggunakan atau memilih orang tersebut, dan itu adalah suatu kehormatan dan kebanggan. Rasul Paulus sangat mengerti hal ini, itulah sebabnya mengapa ia berkata kepada jemaat Korintus bahwa memberitakan Injil tanpa upah adalah upah bagi dirinya.

Sekarang, siapakah atau seperti apakah orang yang disebut sebagai apologis atau penjaga Alkitab itu? Mereka tentunya adalah orang-orang Kristen yang cakap dan terampil membaca Alkitab secara kontekstual, mengetahui latar belakang sejarah, geografis, kultur, latar belakang penulis atau penulisan, bahasa, tata-gaya bahasa, dan lain sebagainya. Sehingga dengan demikian pesan Alkitab dapat dimengerti secara murni, tepat dan benar. Di samping itu, seorang apologis yang baik semestinya juga adalah seorang Kristen yang memiliki kualitas rohani yang baik pula. Seperti yang selalu dinasihatkan oleh Paulus “Jadilah teladan…!”.


Copyright (c) Naek @ NEVER MISSING QUIET TIME
http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Selasa, 11 Agustus 2009

DASAR PRAKTIKA PELAYANAN (Bagian 2)

Apakah syarat atau kualifikasi dari seorang pendeta, pelayan, pengkhotbah, atau pemimpin rohani? Hampir tidak sama seperti persyaratan personil di dunia sekuler. Pemilihan, penunjukkan, atau pengangkatan pendeta, pelayan, pengkhotbah atau pemimpin rohani sebenarnya lebih menekankan atau mem-fokuskan kepada pertobatan dari pribadi yang dicalonkan, seperti apa teladan, dan kualitas kerohaniannya. Selain itu adalah bahwa ia harus cakap mengajar. Dengan bahasa yang lebih modern, ia harus mempunyai communication skill yang baik termasuk di dalamnya adalah public speaking atau pun one on one (komunikasi orang per orang). Jika seorang pendeta, pelayan, pengkhotbah atau pemimpin rohani juga dapat berkomunikasi tulisan dengan baik, menurut saya, itu adalah satu nilai plus. Mengapa? Karena melalui tulisan ia pun dapat berkomunikasi, mengajar, atau menyampaikan nasihat dengan jelas, detil dan komprehensif. Tetapi, kabar baiknya, communication skill, public speaking, one on one communication, writing skill adalah sesuatu yang dapat dipelajari atau dilatih. Jika seorang calon pemimpin rohani adalah pribadi yang telah bertobat, dan mempunyai kualitas rohani yang baik tentunya itu pun akan tercermin kepada sikap, tindakan, kebiasaan dan tutur katanya juga. Sebaliknya jika tidak, maka kemampuan communication skill belaka akan tampak, terbukti atau dirasakan sebagai sesuatu yang tidak tulus atau pura-pura.

Pendeta, pengajar atau pengkhotbah penting pula memperhatikan siapakah audiensnya. Ia harus menyesuaikan bahasanya terhadap anak-anak, remaja, pasangan suami-istri, orang-tua, lansia, eksekutif, pejabat, atau lainnya, tanpa harus mengubah pesan firman Tuhan yang disampaikannya. Penyesuaian ini dapat berupa penyesuaian terhadap istilah-istilah, jargon-jargon, ilustrasi, cerita, kisah, bahasa atau mungkin gaya bicara yang digunakan sebagai asosiasi khotbah atau pengajaran.

Di atas semua itu, pengajar yang baik harus menyampaikan pesan alkitabiah. Ia tidak harus menyampaikan humor, jokes, atau sesuatu semacam entertainment. Meskipun hal tersebut bukanlah hal yang salah atau dosa. Tetapi akan menjadi upaya membuang waktu percuma, jika pengajaran yang disampaikan seorang pengkhotbah atau pengajar hanya berisi humor, jokes atau omongan yang bersifat entertaining. Menurut saya, humor atau jokes dapat dianggap sebagai “break” untuk khotbah atau pengajaran yang relatif panjang atau lama. Tetapi humor, jokes atau omongan bersifat entertaining tidak dapat disertakan di dalam khotbah atau pengajaran di dalam situasi kondisi tertentu. Contohnya dalam khotbah di acara pemakaman, kedukaan, kunjungan ke lokasi bencana, ke rumah sakit, dan lain-lain. Pendeta, pengkhotbah atau pengajar penting untuk menjadi sensitif di dalam situasi kondisi semacam itu.

Pelayanan juga harus tidak kaku di dalam pembatasannya atau jelas terhadap apa, bagaimana, dan siapa yang menjalankan atau melaksanakannya. Pembatasan pelayanan yang terlalu kaku atau tidak jelas akan mengakibatkan anggota jemaat tidak dapat menjadi kreatif, dan bergerak dengan leluasa sebagaimana mestinya. Sehingga, karena hal tersebut, mereka mungkin terhalangi untuk dapat bertumbuh dengan baik di dalam penginjilan, pertumbuhan kerohanian, dan juga kepemimpinannya. Mengapa? Karena mereka tidak tahu atau tidak berani mengambil keputusan apa-apa di dalam melakukan tindakan pelayanan. Keadaan semacam ini biasanya akan mengakibatkan keadaan yang melempem. Semua pelayanan atau yang berkaitan dengan hal semacamnya akan jadi terfokus atau diarahkan kepada pendeta, pemimpin gereja, atau majelis saja.

Sebagaimana telah disinggung di dalam topik pembahasan tentang Dasar Praktika Pelayanan, bahwa pelayanan yang baik adalah pelayanan yang mempunyai batasan yang jelas, yang diketahui dan dimengerti dengan baik oleh anggota-anggota jemaatnya. Seorang anggota jemaat tentunya tidak akan naik ke atas mimbar untuk menyampaikan khotbah Minggu karena memang ia tidak pada posisi melakukan tugas dan tanggung jawab tersebut. Atau, seorang yang tidak tahu menahu mengenai musik dan lagu, tentunya tidak cocok atau sesuai untuk memimpin koor, band atau pujian pada acara kebaktian. Demikian juga hal-hal yang lain mempunyai batasan-batasan yang dapat diketahui dan dimengerti jelas oleh setiap orang termasuk pemimpin rohani dan anggota-anggota jemaat.

Salah satu dari batasan-batasan yang ada di dalam jemaat adalah batasan tentang pelayanan atau kepemimpinan oleh pria dan wanita. Seperti apakah batasan terhadap pelayanan oleh pria dan wanita di dalam jemaat? Apakah mereka mempunyai peran atau posisi yang sama di dalam jemaat? Apakah wanita dapat berkhotbah, mengajar dan memimpin jemaat termasuk ber-otoritas terhadap pria? Atau, apakah hal tersebut adalah pengecualian bagi atau terhadap wanita, atau dengan kata lain berkhotbah, mengajar dan memimpin jemaat adalah untuk dan hanya oleh pria saja?

Sebelum membahas tentang hal tersebut lebih jauh, mari menengok ke Taman Eden ketika Adam diciptakan dan Hawa jatuh ke dalam dosa setelah digodai Iblis. Dari penciptaan manusia, dapat diketahui bahwa pria diciptakan lebih dahulu oleh Tuhan dibandingkan dengan wanita yang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Melalui fakta ini, secara sederhana dan gamblang, mulai dapat disaksikan bayang-bayang tentang kepemimpinan pria terhadap wanita. Selain itu, wanita yaitu Hawa adalah pribadi yang pertama kali jatuh ke dalam dosa yang kemudian memengaruhi Adam sehingga juga jatuh ke dalam dosa. Ini juga menunjukkan catatan historis, bahwa wanita bukanlah yang semestinya memimpin dan berotoritas terhadap pria.

Sejarah Perjanjian Lama pun mencatat bahwa banyak wanita-wanita dominan yang memimpin dan berotoritas terhadap pria bukanlah wanita yang baik. Mereka adalah wanita yang angkuh, jahat dan otoriter. Contohnya: Izebel, wanita-wanita petenung, tukang sihir, dan nabiah-nabiah palsu.

Alkitab juga mencatat sejumlah kisah yang dapat diartikan sebagai pengecualian tentang kepemimpinan wanita. Salah satu contohnya adalah Deborah. Di masa Deborah, tidak ada pria yang outstanding yang berani dan tampil sebagai pemimpin atau hakim pada waktu itu. Suatu record yang sangat memalukan dan menyedihkan bagi para pria. Hal ini juga dapat menunjukkan atau mengartikan bahwa Tuhan, di saat tertentu, pada situasi kondisi tertentu, dapat menggunakan apa atau siapa saja sebagai alatnya. Ia dapat mengirim burung elang untuk memberi makan seorang nabi, membuka mulut seekor kuda untuk berbicara kepada Bileam, bahkan membuat batu-batu berteriak untuk memuji-muji nama-Nya.

Namun, ada 5 (lima) sikap dan pikiran yang perlu diantisipasi berkaitan dengan kepemimpinan pria dan wanita di dalam pelayanan dan kehidupan Kristen, yaitu sebagai berikut:
1. Kepemimpinan pria dan wanita adalah soal design Allah. Itu bukan soal diskriminasi terhadap gender. Wanita bukanlah pendeta, pengkhotbah, pengajar atau yang berotoritas terhadap pria.

2. Kepemimpinan pria dan wanita tidak dapat dijadikan bahan perbandingan “siapa lebih unggul, lebih hebat atau lebih baik dari siapa”. Karena keduanya adalah design yang berbeda. Mereka tidak sama sehingga tidak dapat atau tidak untuk diperbandingkan.

3. Seorang wanita dapat menjadi pemimpin terhadap sesama wanita atau anak-anak di dalam keluarga. Mereka tampak lebih efektif dibanding pria di dalam hal ini. Di dalam interaksi, relasi dan sosialisasi terhadap sesama dan di dalam merawat dan mengasuh anak-anak, wanita lebih peka, sensitif, dan sangat natural.

4. Wanita tidak semestinya merasa inferior demikian pula pria tidak semestinya menganggap dirinya superior. Seperti halnya di dalam rumah tangga, isteri menghormati suami, dan suami mengasihi isteri.

5. Di dalam konseling, pembimbingan atau pengajaran Alkitab yang bersifat pribadi atau one on one, adalah bijaksana jika menetapkan pria sebagai pengajar atau konselor terhadap pria, demikian juga wanita terhadap wanita.



Related verses:
1 Timotius 2:11-14; 2 Timotius 2:13-14; Roma 16:1-2, 1 Timotius 3:1-13; Titus 1:6-9; Titus 1:6-9; Efesus 5:22-33; 1 Korintus 11:5, 1 Korintus 12; Galatia 5:22-23; Matius 28:18-20; Kis 1:8; 1 Petrus 3:15; Titus 2:3-5; 1 Timotius 3:8; 1 Timotius 3:11-12


Copyright (c) 2009 by Naek @ NEVER MISSING QUIET TIME
http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Minggu, 09 Agustus 2009

DASAR PRAKTIKA PELAYANAN

Sebelum membahas lebih jauh tentang Dasar Praktika Pelayanan, menurut saya, akan lebih baik jika kita menengok kembali keselamatan yang dianugerahkan oleh Tuhan melalui Anak-Nya, Yesus Kristus.

Disebutkan di Yohanes 3:16 bahwa “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Kata “percaya” di Yohanes 3:16 adalah interchangeably (dapat bertukar tempat) dengan Lukas 13:3. Mengapa? Karena percaya dan bertobat menghasilkan hal yang sama yaitu “tidak binasa” atau hidup yang kekal. Demikian juga halnya dengan yang tidak percaya atau tidak bertobat menghasilkan hal yang sama yaitu “binasa”. Dengan kata lain, kata “percaya” adalah sama artinya dengan “bertobat”.

Pertobatan sendiri mengandung tiga komponen penting yang tidak terpisahkan yakni sebagai berikut:
1. Pertama adalah meninggalkan dosa (band. Kis 26:20). Artinya, orang yang bertobat adalah orang yang berhenti melakukan dosa. Bukan sebagian dari dosa tetapi semuanya tanpa kecuali. Pengertian atau daftar dosa dapat dilihat di ayat-ayat berikut ini: Markus 7:20-23; Galatia 5:19-21; Yesaya 59:1-2

2. Kedua adalah membina hubungan pribadi dengan Allah. Menurut Rasul Paulus di Kisah 26:10, bertobat adalah berbalik kepada Allah. Artinya, bertobat bukan saja meninggalkan dosa tetapi juga membina hubungan pribadi dengan Allah. Tentu saja pembinaan hubungan yang efektif dan tepat sasaran adalah dengan cara-cara Allah bukan dengan cara-cara sendiri. Karena sudah tentu bahwa hubungan kita tidak akan lebih dekat dengan Allah dengan cara menyembah berhala atau arwah-arwah nenek moyang. Dua tindakan atau aktifitas penting yang efektif dan tepat sasaran dalam membina hubungan pribadi dengan Allah adalah dengan berdoa dan membaca firman-Nya. Melalui kedua hal tersebut, seorang Kristen dapat berkomunikasi dengan Allah. Berdoa adalah berbicara kepada Allah dan membaca firman-Nya adalah mendengarkan Allah. Seseorang akan semakin mengenal Allah melalui studi dan pemahamannya akan atau terhadap Alkitab. Rasul Paulus menyebut orang yang alkitabiah adalah orang yang kaya akan perkataan Kristus (band. Kolose 3:16), penuh dengan Roh Kudus (band. Efesus 6:18) atau memiliki pikiran Kristus (band. 1 Korintus 2:16).

3. Ketiga adalah melayani Allah (band. 1 Tes 1:9). Melayani Allah adalah memenuhi kehendak dan perintah Allah dalam hubungannya juga dengan orang lain, jiwa-jiwa yang hilang, lingkungan sekitar kita, atau masyarakat luas. Contohnya: pelayanan terhadap orang miskin atau yang berkekurangan, pelayanan terhadap orang yang sakit, yang berduka atau mengalami bencana atau kemalangan, pelayanan di dalam gereja atau jemaat termasuk musik, sound system, ushering, media, dan lain-lain.

Kekurangan, ketidaklengkapan atau ketiadaan salah satu dari ketiga komponen tersebut di atas, akan menampilkan jenis pertobatan yang patut dipertanyakan dan diragukan. Karena bagaimana mungkin seseorang meninggalkan dosa tanpa membina hubungan pribadi dengan Tuhan. Tentu akan timbul pertanyaan, mengapa atau apa alasan orang tersebut meninggalkan dosa? Jika meninggalkan dosa semata-mata hanya untuk masuk surga, bukankah seseorang akan merasa asing, atau kurang nyaman terhadap Tuhan bahkan mungkin tidak menginginkan Dia ada bersama-sama dengannya di Sorga? Suatu pemandangan yang lucu, bukan? Jelas demikian karena ia tidak merasakan kedekatan hubungan pribadi dengan Tuhan. Contoh yang lain, jika seorang mengatakan bahwa ia sudah meninggalkan dosa dan membina hubungan pribadi dengan Allah tetapi ia belum siap atau tidak mau melayani. Bukankah itu menunjukkan kerancuan, apakah ia sungguh-sungguh membina hubungan pribadi dengan Tuhan? Apakah ia benar-benar mengenal Dia? Apakah ia tahu, mengerti dan memahami kehendak-Nya? Karena jika seseorang mengenal Dia dan kehendak-Nya maka ia akan memenuhi panggilan dan perintah-Nya. Dengan kata lain, ia pasti akan melayani Dia. Hal serupa yang tak kalah ironis adalah jika seseorang menyatakan bahwa ia sudah bertobat dan melayani tetapi tidak atau belum meninggalkan dosa-dosanya. Maka pertanyaannya, untuk apakah orang itu melayani dan ke manakah arah pelayanan tersebut? Apakah motif dan tujuan dari pelayanannya?

Jadi, atas dasar pengertian tersebut di atas, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa setiap jenis pelayanan haruslah mengarah, bertujuan atau berfokus kepada pertobatan. Sedangkan aplikasinya adalah sebagai berikut di bawah ini:
1. Maintainance yaitu pemeliharaan terhadap jemaat sebagai domba-domba Allah. Pemeliharaan mencakup feeding (memberi makanan rohani) dengan cara mengajar, mengadakan pelatihan, seminar, dan lain-lain; protecting (perlindungan) terhadap ajaran sesat atau pengajar palsu; guardian (penjagaan) terhadap pergaulan yang buruk atau kehidupan yang berdosa.

2. Making disciple atau biasa disebut sebagai evangelizing atau penginjilan (band. Matius 28:19-20). Penginjilan harus beriorientasi kepada “menjadikan murid” bukan hanya spread the gospel tanpa melihat, memperhatikan atau mengukur hasilnya. Penginjilan yang tidak berorientasi kepada “menjadikan murid” akan menjadikan hasilnya menjadi tidak real, tidak jelas dan tidak dapat diukur. Sebaliknya penginjilan yang tepat dan benar adalah penginjilan yang efektif, bertumbuh, maju dan berkembang.

3. Spiritual Growth (pertumbuhan rohani). Pelayanan yang efektif dan tepat sasaran haruslah berdampak terhadap pertumbuhan rohani anggota-anggota jemaat-Nya. Pertumbuhan rohani mencakup pertumbuhan kepribadian, karakter, pengenalan akan Allah termasuk pengertian dan pemahaman terhadap firman Allah, hubungan persaudaraan, kepedulian, perhatian terhadap jiwa-jiwa yang hilang, kepelayanan, gereja, masyarakat, pemerintah, dan lain-lain.

4. Making leaders merupakan konsekuensi positif dari spiritual growth termasuk di dalamnya adalah pertumbuhan jumlah anggota jemaat. Orang Kristen yang percaya, bertobat dan melayani pasti akan bertumbuh. Dengan dasar pengertian ini maka dapat disimpulkan bahwa “menjadikan pemimpin” adalah kebutuhan dan keharusan ditinjau dari pertumbuhan dan masa depan gereja atau jemaat. Pemimpin-pemimpin yang baru dilatih diharapkan dapat memimpin anggota-anggota yang lain di dalam pelayanan dan dapat melahirkan pemimpin baru yang lain di masa depan.

5. Making coach or trainer. Seperti halnya point 3, menjadikan pelatih adalah juga konsekuensi positif dari pertumbuhan jumlah anggota yang diikuti dengan pertumbuhan jumlah pemimpin. Coach atau trainer bertugas atau bertanggung-jawab untuk membantu pemimpin-pemimpin rohani untuk dapat bertumbuh ke level yang lebih tinggi, dengan beban dan tanggung-jawab yang lebih besar pula dibandingkan dengan yang sebelumnya. Mengenai coach atau trainer akan dibahas lebih lanjut pada topik 5 Karunia Jawatan.

Istilah leader atau coach mungkin tidak sering disebutkan secara eksplisit oleh Alkitab kecuali di Kitab Ibrani. Tetapi yang paling penting adalah fungsi dan pelaksanaannya, tugas dan tanggung-jawab mereka haruslah berorientasi kepada hal atau prinsip yang telah dijelaskan tadi yaitu pertumbuhan iman, pertobatan, kepelayanan, maintainance, making disciple dan spiritual growth, bukan yang lain yang berbeda dan tidak alkitabiah.


Copyright (c) 2009 by Naek @ NEVER MISSING QUIET TIME
http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Kamis, 06 Agustus 2009

DAPATKAH MANUSIA HIDUP TANPA TUHAN?

Ditinjau dari proses penciptaan, sangat jelas bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa Tuhan. Mengapa? Karena nafas hidup manusia berasal daripada-Nya. Dengan kata lain, tanpa Dia, manusia hanyalah debu tanah yang tidak hidup.

Sekian waktu setelah penciptaan, manusia jatuh ke dalam dosa, dan itu menyebabkan mereka hidup secara “tidak normal”. Saya menggunakan istilah “tidak normal” adalah dalam perbandingannya dengan hidup sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Salah satu tanda, ciri atau reaksi manusia yang “tidak normal” itu adalah bahwa mereka bersembunyi dari Tuhan. Mereka ingin menjauh dari Dia dan tidak lagi menyukai kehadiran-Nya (band. Kejadian 3:8).

Di samping itu, Tuhan pun memisahkan diri karena pribadi-Nya yang Maha Kudus. Ia tidak dapat bergaul dengan dosa sehingga manusia harus berpisah dengan-Nya seperti yang dinyatakan ayat berikut ini:

Lalu TUHAN Allah mengusir dia dari taman Eden supaya ia mengusahakan tanah dari mana ia diambil. Ia menghalau manusia itu dan di sebelah timur taman Eden ditempatkan-Nyalah beberapa kerub dengan pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar, untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan. (Kejadian 3:23-24)


Atau, oleh ayat berikut ini yaitu Yesaya 59:1-2:

Sesungguhnya, tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar; tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu.

Sejak saat itu, hubungan manusia terhadap Tuhan menjadi tak seindah dulu. Manusia terpisah jauh dari-Nya, dan itu sangat memengaruhi kehidupan mereka selanjutnya.

Seiring berjalannya waktu, moralitas manusia semakin mengalami degradasi. Sebaliknya, kejahatan mereka mengalami eskalasi. Kutipan ayat dari Kitab Kejadian berikut ini mengungkapkan fakta tersebut:

kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata,…(band. Kejadian 6:7)

Tindakan Tuhan selanjutnya adalah melenyapkan semua manusia dan menyisakan Nuh dan keluarganya. Saya jadi bertanya di dalam hati, “Andai manusia-manusia yang jahat tadi tidak pernah dilenyapkan oleh Tuhan, kira-kira seperti apakah generasi selanjutnya?” Mungkin akan lebih jahat dan semakin jahat dari yang sebelumnya.

Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa tanpa Tuhan, manusia akan menjadi semakin jahat. Moralitas mereka pasti akan mengalami degradasi dan semakin buruk dari waktu ke waktu. Tetapi, melalui peristiwa Nuh dan air bah, setidaknya Tuhan menunjukkan kepada manusia bahwa Ia adalah Tuhan yang patut dihormati dan disegani, dan bahwa Ia pasti menepati perkataan dan menggenapi janji-janji-Nya. Sehingga dengan demikian, manusia pun akan dapat mengingat peristiwa tersebut, dan dapat dijadikan peringatan untuk tidak menjadi liar, atau asal menjalani hidup dan sesuka hatinya berbuat dosa. Sebaliknya mereka semestinya takut akan Dia.

Setelah penciptaan Adam dan Hawa, Tuhan mengadakan pilihan terhadap manusia yaitu Nuh dan keluarganya sedangkan manusia-manusia yang lain sudah dilenyapkan. Demikian juga generasi selanjutnya, setelah peristiwa Nuh dan air bah, Tuhan menentukan bangsa pilihannya yaitu Abraham dan keturunannya atau biasa disebut sebagai bangsa Israel atau orang-orang Yahudi (band. Kejadian 18:19).

Melalui bangsa yang dipilih -Nya tersebut, sesungguhnya Tuhan pun sedang mengadakan perubahan, pengaruh, dan kemajuan terhadap kehidupan manusia di dunia termasuk moralitas dan peradabannya. Di zaman Perjanjian Lama, bangsa Israel adalah bangsa yang sangat berbeda dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Mereka tidak mengadakan penyembahan berhala, ritual-ritual yang ekstrim dan aneh penuh dengan percabulan dan pengorbanan nyawa manusia seperti yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain. Sekali lagi, fakta ini mengungkapkan bahwa tanpa Tuhan manusia tidak akan mengalami kemajuan moral dan peradaban.

Setelah bangsa Israel atau bangsa Yahudi, lahirlah kekristenan. Saya akan jelaskan tentang lahirnya kekristenan pada kesempatan mendatang tetapi secara ringkas saya sampaikan bahwa kekristenan adalah kesempurnaan dari agama Yahudi. Apakah maksud saya dengan pernyataan ini? Tulisan-tulisan di kitab Perjanjian Lama bangsa Yahudi tidak akan pernah lengkap atau sempurna tanpa kekristenan. Perjanjian Lama adalah nubuat atau janji-janji-Nya, sedangkan Perjanjian Baru adalah penggenapan-Nya. Perjanjian Lama adalah gambar atau bayangannya, sedangkan kekristenan adalah penggenapan atau realisasinya. Itulah sebabnya mengapa agama Yahudi hingga saat ini masih terperangkap di dalam upacara-upacara atau ritual-ritual agamanya termasuk perang merebut tanah Bait Suci karena mereka menganggap nubuat atau janji belum digenapi dan Mesias pun belum juga datang.

Sekarang, mari perhatikan pengaruh Tuhan melalui kekristenan hingga saat ini. Yesus Kristus, rasul-rasul, penginjil, misionaris, pengajar-pengajar alkitab, dan gereja telah banyak memberikan kontribusi di dalam kehidupan dunia. Hasilnya, manusia di zaman sekarang ini mengalami kemajuan moral dan peradaban. Nilai-nilai Kristen memengaruhi moralitas manusia, pendidikan, kesehatan, pemerintahan, industri, bisnis, perdagangan, dan bidang-bidang yang lain di dalam kehidupan manusia.

Saya tidak dapat menyebutkan satu per satu tetapi sejarah mencatat semua kemajuan dan perkembangan ini sehingga kehidupan menjadi seperti saat sekarang. Hanya Tuhan-lah yang oleh firman dan Roh Kudus-Nya telah memengaruhi hati, pikiran dan jiwa manusia sehingga mereka dapat membangun kehidupan yang jauh lebih baik dibanding era atau zaman-zaman sebelumnya.

Meskipun kehidupan yang seperti sekarang ini bukanlah merupakan akhir atau puncak ekspektasi Tuhan terhadap manusia tetapi dari sini dapat kita lihat bahwa Tuhan sangat berguna dan berpengaruh bagi manusia. Ia sangat dibutuhkan dan tanpa Dia, manusia tidak dapat hidup secara ‘normal’.

Demikian pula halnya dengan kehidupan setelah kematian, manusia mutlak membutuhkan Tuhan. Manusia bukan saja tidak dapat memeroleh hidup yang kekal tetapi juga binasa tanpa Dia, sebagaimana disebutkan ayat berikut ini:

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Jadi, kesimpulannya, manusia membutuhkan Tuhan di dalam hidupnya di dunia dan juga setelah kematiannya. Tanpa Dia, mereka tidak dapat hidup secara ‘normal’ baik di dalam kehidupan jasmani, sosial, mental dan spiritual.

Dunia patut merasa ‘berhutang’ dan berterima kasih kepada Tuhan yang melalui Nuh, Abraham, bangsa Yahudi, dan kekristenan telah mengubah moralitas dan peradaban dunia.

Memang ada tercatat di dalam sejarah bahwa ada gereja atau orang-orang Kristen pernah melakukan dosa dengan cara mengadakan peperangan, pembunuhan, dan kejahatan-kejahatan lainnya. Tetapi, menurut saya, mereka sesungguhnya bukanlah orang Kristen dan tidak patut menyandang nama atau sebutan sebagai orang Kristen karena sama sekali tidak mencerminkan pengaruh moral dan peradaban yang berasal dari Tuhan. Kekristenan yang saya maksudkan di dalam penjelasan saya bukanlah kekristenan yang korup yang menyimpang dari pengajaran yang murni dan suci melainkan kekristenan yang alkitabiah, yaitu yang benar dan sejati.

Timbul pertanyaan, apakah pengaruh Tuhan hanya di dalam hal moralitas, peradaban dan hidup setelah mati saja? Tentu saja tidak. Tetapi menurut saya tampaknya hal itu adalah yang paling penting dan mendasar di dalam kehidupan manusia. Karena tanpa moralitas dan peradaban yang sehat maka kehidupan manusia tidak ubahnya seperti hutan rimba yang liar, penuh dengan binatang yang buas, saling memangsa, ganas, menyeramkan dan mengerikan. Dan tanpa kehidupan setelah kematian, apalah artinya hidup ini? (band. 1 Korintus 15:32).



Copyright (c) 2009 by Naek @ NEVER MISSING QUIET TIME
http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Minggu, 02 Agustus 2009

MUJIZAT PENCIPTAAN (Bagian 2)

Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. (Kejadian 1:1)

Ayat ini mengingatkan saya akan masa kecil ketika merayakan Natal bersama keluarga dan teman-teman, tampil di depan panggung dan melafalkannya di depan banyak orang. Mungkin, karena sering dibacakan atau dilafalkan, ayat ini menjadi jarang dibahas atau dijelaskan secara theologis. Apalagi, ketika teori-teori yang mengesankan mulai tampil dari dunia sains sepertinya menimbulkan perasaan minder theolog-theolog Kristen yang mungkin menganggap dirinya kurang mampu atau capable memberikan penjelasan yang meyakinkan kepada para scientist.

Seperti yang pernah saya nyatakan sebelumnya bahwa penciptaan adalah mujizat. Sehingga, proses penciptaan tidak akan pernah dapat dijelaskan secara sains. Anda mungkin terpikir tentang teori “Big Bang”. Tetapi, saya yakin bahwa teori “Big Bang” pun tidak akan pernah setuju bahwa langit dan bumi dan segala isinya diciptakan hanya dalam kurun waktu enam hari. Apalagi mengiyakan bahwa penciptanya adalah Allah dengan cara berfirman saja. Dengan kata lain, manusia dihadapkan pada salah satu pilihan saja yaitu percaya kepada Kejadian 1:1 atau tidak, termasuk di dalamnya pencarian sains yang tak berujung.

Saya mencermati bahwa ada 3 (tiga) jenis respon manusia terhadap Kejadian 1:1. Respon pertama yaitu tidak percaya sama sekali. Pada umumnya, orang-orang yang tidak percaya terhadap ayat pertama Alkitab tersebut adalah orang-orang atheis yaitu orang yang tidak percaya terhadap Tuhan termasuk penciptaan alam semesta. Orang atheis tertentu tidak dapat eksis dengan lebih meyakinkan karena tidak dapat menjelaskan bahwa Pencipta atau “cause” itu tidak ada. Respon kedua yaitu ragu. Setelah teori evolusi diperkenalkan mungkin orang-orang yang ragu menganggap punya jawaban atau alasan untuk tidak menerima Kejadian 1:1. Menurut saya, evolusionist sendiri terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yaitu yang percaya terhadap penciptaan oleh Tuhan tetapi dalam proses yang sangat amat lama atau evolusi. Kelompok kedua yaitu yang tidak percaya terhadap Tuhan dan penciptaan tetapi percaya kepada evolusi sebagai proses peningkatan atau pertumbuhan dari sesuatu semacam sel atau organisme awal yang terkecil. Sangat mungkin orang-orang atheist beralih menjadi evolusionist atau sebagian mereka hanyalah orang-orang yang sama.

Bagi saya, baik atheist ataupun evolusionist sesungguhnya merefleksikan hal yang serupa yaitu ketidakpercayaan atau keraguan terhadap Alkitab yaitu Kejadian 1:1. Di samping itu, ada terdapat satu alasan lain lagi yang menyebabkan mengapa orang menolak atau tidak menerima Kejadian 1:1. Alasan ini diungkapkan oleh Kejadian pasal 3 yaitu bahwa setelah manusia jatuh ke dalam dosa, mereka menyembunyikan diri terhadap Allah. Artinya, dosa mengakibatkan manusia tidak menyukai kehadiran Tuhan. Mereka ingin menjauh dan menyembunyikan diri terhadap Dia. Sedang sikap dan tindakan tersebut mungkin ditampilkan dengan beraneka ragam ekspresi yang salah satunya adalah teori evolusi.

Secara ringkas, berikut ini adalah kesalahan-kesalahan yang ada di dalam teori evolusi:
1. Evolusi percaya tentang adanya progress, peningkatan, dan pertumbuhan makhluk hidup dari waktu ke waktu dalam kurun waktu yang lama, sehingga jenis makhluk hidup yang satu dapat menjadi makhluk hidup yang lain. Contohnya monyet atau kera dapat menjadi manusia.

Kesalahan evolusi adalah bahwa mereka tidak dapat menjelaskan fakta atau realitas adanya penyusutan atau degradasi terhadap benda ataupun makhluk hidup dari waktu ke waktu. Evolusi tampak benar dengan penemuan tentang adanya adaptasi atau mutan oleh atau terhadap makhluk hidup, tetapi, adaptasi tidak menghasilkan makhluk yang baru dan mutan pun bukanlah makhluk yang lebih baik melainkan degradasi dari yang sebelumnya.

2. Evolusionist percaya bahwa proses evolusi memakan waktu yang sangat lama sehingga dengan demikian mereka percaya bahwa alam semesta berawal sejak jutaan tahun yang lalu.

Teori ini tidak dapat menjelaskan berapa lama waktu yang dibutuhkan kera atau monyet untuk menjadi manusia. Di samping itu, seperti apa perbandingan jumlah populasinya? Apakah kera akan menjadi lebih banyak jumlahnya ketimbang manusia? Jika evolusi benar, mungkin kera tidak akan ada lagi karena semuanya sudah menjadi manusia. Kenyataannya, kera masih ada dan perbandingan jumlahnya pun tampak seimbang.

Teori ini bertentangan dengan Alkitab yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam satu hari saja yaitu hari ke-6 bukan kurun waktu evolusi.

3. Evolusi tidak dapat menjelaskan asal muasal adanya standar moralitas manusia.

Jika manusia berasal dari kera, bagaimana evolusionist menjelaskan lahirnya standar moralitas manusia? Baik kera atau hewan lainnya tidak mempunyai standar moralitas. Mereka tidak mempunyai pikiran atau jiwa tetapi insting. Sebaliknya manusia mempunyai semuanya, standar moralitas, pikiran, jiwa, dan potensi kreatif sebagaimana dinyatakan Alkitab yaitu bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.

Sampai di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa penciptaan tidak dapat dijelaskan secara sains. Tidak oleh atheisme tidak pula oleh evolusionisme.

Sekarang, mari lanjutkan ke respon yang ketiga yaitu percaya kepada Kejadian 1:1. Orang yang percaya akan penciptaan menurut Kitab Kejadian tentunya adalah orang Kristen. Mereka percaya bahwa pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi dan segala isinya dalam kurun waktu enam hari saja. Dengan cara berfirman Ia menciptakan segalanya dari yang tidak ada menjadi ada.

Implikasi dari sikap percaya tersebut adalah sebagai berikut:
1. Orang Kristen semestinya percaya akan kekuatan dan kuasa Tuhan yang tidak terbatas. Sehingga atas dasar pengertian dan kepercayaan itulah mereka mengandalkan Dia, bersandar dan bergantung kepada-Nya. Di dalam setiap permasalahan, tantangan atau pun pergumulan mereka.

2. Orang Kristen semestinya takut akan Tuhan, menyembah dan memuliakan Dia. Jika orang Kristen tahu dan mengerti bagaimana bersikap terhadap orang-orang terhormat atau terpandang seperti pejabat tinggi atau selebritis apalagi Tuhan. Ia layak ditakuti, disembah dan dimuliakan.

3. Orang Kristen semestinya sadar akan kuasa firman-Nya. Penciptaan langit dan bumi dan segala isinya dengan cara “Allah berfirman” menunjukkan betapa kuasa firman-Nya sangat kuat, hebat dan dahsyat. Orang Kristen semestinya tidak mengandalkan hikmat-hikmat manusiawi dan duniawi di dalam menghadapi atau menangani permasalahan, pergumulan dan tantangan hidup melainkan firman Allah.

4. Orang Kristen semestinya bersyukur akan hidupnya karena Tuhan adalah pencipta dan sumber dari segala sumber kehidupan manusia.

5. Orang Kristen semestinya tidak sombong tetapi rendah hati dan menyadari kemampuan dan keterbatasannya.

Evolusionist adalah bukti dari investasi yang salah. Mereka menyita waktu, tenaga, pikiran dan uang yang sangat banyak. Penelitian-penelitian diadakan, kurikulum ditetapkan, teori disosialisasikan, pengajar-pengajar direkrut, biaya dikeluarkan, Hasilnya, malah menambah orang yang ragu bahkan tidak percaya terhadap Alkitab dan kekristenan. Evolusionist adalah bukti tentang konsekuensi terhadap orang yang tidak percaya dan tidak tunduk kepada Alkitab.

Bukankah Tuhan telah menitipkan hikmat-Nya melalui Raja Salomo yang menuliskan di Kitab Amsal:

Percayalah kepada Tuhan dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.



Copyright (c) 2009 by Naek @ NEVER MISSING QUIET TIME
http://www.nevermissingqt.blogspot.com/