Selasa, 11 Agustus 2009

DASAR PRAKTIKA PELAYANAN (Bagian 2)

Apakah syarat atau kualifikasi dari seorang pendeta, pelayan, pengkhotbah, atau pemimpin rohani? Hampir tidak sama seperti persyaratan personil di dunia sekuler. Pemilihan, penunjukkan, atau pengangkatan pendeta, pelayan, pengkhotbah atau pemimpin rohani sebenarnya lebih menekankan atau mem-fokuskan kepada pertobatan dari pribadi yang dicalonkan, seperti apa teladan, dan kualitas kerohaniannya. Selain itu adalah bahwa ia harus cakap mengajar. Dengan bahasa yang lebih modern, ia harus mempunyai communication skill yang baik termasuk di dalamnya adalah public speaking atau pun one on one (komunikasi orang per orang). Jika seorang pendeta, pelayan, pengkhotbah atau pemimpin rohani juga dapat berkomunikasi tulisan dengan baik, menurut saya, itu adalah satu nilai plus. Mengapa? Karena melalui tulisan ia pun dapat berkomunikasi, mengajar, atau menyampaikan nasihat dengan jelas, detil dan komprehensif. Tetapi, kabar baiknya, communication skill, public speaking, one on one communication, writing skill adalah sesuatu yang dapat dipelajari atau dilatih. Jika seorang calon pemimpin rohani adalah pribadi yang telah bertobat, dan mempunyai kualitas rohani yang baik tentunya itu pun akan tercermin kepada sikap, tindakan, kebiasaan dan tutur katanya juga. Sebaliknya jika tidak, maka kemampuan communication skill belaka akan tampak, terbukti atau dirasakan sebagai sesuatu yang tidak tulus atau pura-pura.

Pendeta, pengajar atau pengkhotbah penting pula memperhatikan siapakah audiensnya. Ia harus menyesuaikan bahasanya terhadap anak-anak, remaja, pasangan suami-istri, orang-tua, lansia, eksekutif, pejabat, atau lainnya, tanpa harus mengubah pesan firman Tuhan yang disampaikannya. Penyesuaian ini dapat berupa penyesuaian terhadap istilah-istilah, jargon-jargon, ilustrasi, cerita, kisah, bahasa atau mungkin gaya bicara yang digunakan sebagai asosiasi khotbah atau pengajaran.

Di atas semua itu, pengajar yang baik harus menyampaikan pesan alkitabiah. Ia tidak harus menyampaikan humor, jokes, atau sesuatu semacam entertainment. Meskipun hal tersebut bukanlah hal yang salah atau dosa. Tetapi akan menjadi upaya membuang waktu percuma, jika pengajaran yang disampaikan seorang pengkhotbah atau pengajar hanya berisi humor, jokes atau omongan yang bersifat entertaining. Menurut saya, humor atau jokes dapat dianggap sebagai “break” untuk khotbah atau pengajaran yang relatif panjang atau lama. Tetapi humor, jokes atau omongan bersifat entertaining tidak dapat disertakan di dalam khotbah atau pengajaran di dalam situasi kondisi tertentu. Contohnya dalam khotbah di acara pemakaman, kedukaan, kunjungan ke lokasi bencana, ke rumah sakit, dan lain-lain. Pendeta, pengkhotbah atau pengajar penting untuk menjadi sensitif di dalam situasi kondisi semacam itu.

Pelayanan juga harus tidak kaku di dalam pembatasannya atau jelas terhadap apa, bagaimana, dan siapa yang menjalankan atau melaksanakannya. Pembatasan pelayanan yang terlalu kaku atau tidak jelas akan mengakibatkan anggota jemaat tidak dapat menjadi kreatif, dan bergerak dengan leluasa sebagaimana mestinya. Sehingga, karena hal tersebut, mereka mungkin terhalangi untuk dapat bertumbuh dengan baik di dalam penginjilan, pertumbuhan kerohanian, dan juga kepemimpinannya. Mengapa? Karena mereka tidak tahu atau tidak berani mengambil keputusan apa-apa di dalam melakukan tindakan pelayanan. Keadaan semacam ini biasanya akan mengakibatkan keadaan yang melempem. Semua pelayanan atau yang berkaitan dengan hal semacamnya akan jadi terfokus atau diarahkan kepada pendeta, pemimpin gereja, atau majelis saja.

Sebagaimana telah disinggung di dalam topik pembahasan tentang Dasar Praktika Pelayanan, bahwa pelayanan yang baik adalah pelayanan yang mempunyai batasan yang jelas, yang diketahui dan dimengerti dengan baik oleh anggota-anggota jemaatnya. Seorang anggota jemaat tentunya tidak akan naik ke atas mimbar untuk menyampaikan khotbah Minggu karena memang ia tidak pada posisi melakukan tugas dan tanggung jawab tersebut. Atau, seorang yang tidak tahu menahu mengenai musik dan lagu, tentunya tidak cocok atau sesuai untuk memimpin koor, band atau pujian pada acara kebaktian. Demikian juga hal-hal yang lain mempunyai batasan-batasan yang dapat diketahui dan dimengerti jelas oleh setiap orang termasuk pemimpin rohani dan anggota-anggota jemaat.

Salah satu dari batasan-batasan yang ada di dalam jemaat adalah batasan tentang pelayanan atau kepemimpinan oleh pria dan wanita. Seperti apakah batasan terhadap pelayanan oleh pria dan wanita di dalam jemaat? Apakah mereka mempunyai peran atau posisi yang sama di dalam jemaat? Apakah wanita dapat berkhotbah, mengajar dan memimpin jemaat termasuk ber-otoritas terhadap pria? Atau, apakah hal tersebut adalah pengecualian bagi atau terhadap wanita, atau dengan kata lain berkhotbah, mengajar dan memimpin jemaat adalah untuk dan hanya oleh pria saja?

Sebelum membahas tentang hal tersebut lebih jauh, mari menengok ke Taman Eden ketika Adam diciptakan dan Hawa jatuh ke dalam dosa setelah digodai Iblis. Dari penciptaan manusia, dapat diketahui bahwa pria diciptakan lebih dahulu oleh Tuhan dibandingkan dengan wanita yang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Melalui fakta ini, secara sederhana dan gamblang, mulai dapat disaksikan bayang-bayang tentang kepemimpinan pria terhadap wanita. Selain itu, wanita yaitu Hawa adalah pribadi yang pertama kali jatuh ke dalam dosa yang kemudian memengaruhi Adam sehingga juga jatuh ke dalam dosa. Ini juga menunjukkan catatan historis, bahwa wanita bukanlah yang semestinya memimpin dan berotoritas terhadap pria.

Sejarah Perjanjian Lama pun mencatat bahwa banyak wanita-wanita dominan yang memimpin dan berotoritas terhadap pria bukanlah wanita yang baik. Mereka adalah wanita yang angkuh, jahat dan otoriter. Contohnya: Izebel, wanita-wanita petenung, tukang sihir, dan nabiah-nabiah palsu.

Alkitab juga mencatat sejumlah kisah yang dapat diartikan sebagai pengecualian tentang kepemimpinan wanita. Salah satu contohnya adalah Deborah. Di masa Deborah, tidak ada pria yang outstanding yang berani dan tampil sebagai pemimpin atau hakim pada waktu itu. Suatu record yang sangat memalukan dan menyedihkan bagi para pria. Hal ini juga dapat menunjukkan atau mengartikan bahwa Tuhan, di saat tertentu, pada situasi kondisi tertentu, dapat menggunakan apa atau siapa saja sebagai alatnya. Ia dapat mengirim burung elang untuk memberi makan seorang nabi, membuka mulut seekor kuda untuk berbicara kepada Bileam, bahkan membuat batu-batu berteriak untuk memuji-muji nama-Nya.

Namun, ada 5 (lima) sikap dan pikiran yang perlu diantisipasi berkaitan dengan kepemimpinan pria dan wanita di dalam pelayanan dan kehidupan Kristen, yaitu sebagai berikut:
1. Kepemimpinan pria dan wanita adalah soal design Allah. Itu bukan soal diskriminasi terhadap gender. Wanita bukanlah pendeta, pengkhotbah, pengajar atau yang berotoritas terhadap pria.

2. Kepemimpinan pria dan wanita tidak dapat dijadikan bahan perbandingan “siapa lebih unggul, lebih hebat atau lebih baik dari siapa”. Karena keduanya adalah design yang berbeda. Mereka tidak sama sehingga tidak dapat atau tidak untuk diperbandingkan.

3. Seorang wanita dapat menjadi pemimpin terhadap sesama wanita atau anak-anak di dalam keluarga. Mereka tampak lebih efektif dibanding pria di dalam hal ini. Di dalam interaksi, relasi dan sosialisasi terhadap sesama dan di dalam merawat dan mengasuh anak-anak, wanita lebih peka, sensitif, dan sangat natural.

4. Wanita tidak semestinya merasa inferior demikian pula pria tidak semestinya menganggap dirinya superior. Seperti halnya di dalam rumah tangga, isteri menghormati suami, dan suami mengasihi isteri.

5. Di dalam konseling, pembimbingan atau pengajaran Alkitab yang bersifat pribadi atau one on one, adalah bijaksana jika menetapkan pria sebagai pengajar atau konselor terhadap pria, demikian juga wanita terhadap wanita.



Related verses:
1 Timotius 2:11-14; 2 Timotius 2:13-14; Roma 16:1-2, 1 Timotius 3:1-13; Titus 1:6-9; Titus 1:6-9; Efesus 5:22-33; 1 Korintus 11:5, 1 Korintus 12; Galatia 5:22-23; Matius 28:18-20; Kis 1:8; 1 Petrus 3:15; Titus 2:3-5; 1 Timotius 3:8; 1 Timotius 3:11-12


Copyright (c) 2009 by Naek @ NEVER MISSING QUIET TIME
http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Tidak ada komentar: