Senyum Pendeta Rudi tidak habis-habisnya malam itu. Berbagai respons yang diterimanya sesudah KKR yang baru saja berlangsung membuat dirinya semakin takjub akan karya Tuhan. “Ini bukan kerja manusia”, gumannya. Bayangkan saja, kehadiran yang mereka doakan beberapa minggu itu adalah 500 orang. Itupun adalah jumlah yang sangat besar, untuk ukuran iman mereka dan tempat yang tersedia. Tetapi Tuhan menjawab lebih. Tidak kurang dari 1000 orang memadati auditorium olah raga yang mereka sewa. Semuanya sesak. Banyak jiwa mengambil keputusan untuk bertobat. Bahkan anggota jemaatnya yang hanya 100 orang seperti tertelan dalam lautan manusia. Di beberapa sudut, gembala Rudi memerhatikan salah seorang pemimpinnya begitu sibuk melayani. Ibu-ibu di sudut lainnya tidak kalah repot untuk mengurusi kartu-kartu respons bersama para ushers. Sementara para singer terus menerus melantunkan puji-pujian seperti tanpa kenal lelah.
Di sudut belakang, terlihat beberapa orang tua meneteskan air mata sambil berpelukan. Merekalah yang melihat perjalanan gereja itu untuk waktu yang cukup lama. Pada malam itu, rasanya berbeda dari malam, minggu, bulan dan tahun-tahun sebelumnya. Apakah yang terjadi? Mungkinkah Tuhan mengulangi lagi suasana pentakosta seperti 2000 tahun yang silam, batin beberapa pengajar senior dan tua-tua jemaat. Atau kita telah membangun sebuah dasar yang benar bagi gereja kita? Atau, ini hanyakah kejadian sesaat?
Benar saja, beberapa tahun setelah KKR yang fenomenal itu, ternyata jumlah jemaat yang setia dalam gereja bukannya bertambah, malah semakin menurun, sampai hanya puluhan jiwa saja. Selebihnya, kalaulah ada acara khusus, kehadiran dapat bertambah menjadi sekitar 100 orang. Mengapa hal ini terjadi? Dari desas desus, ternyata tidak jauh dari sana ada sebuah gereja baru dengan bangunan paling mutakhir baru saja selesai. Sebagai gambaran umum, sound system saja berharga tidak kurang dari 2 milyar rupiah, belum lagi pendingin udara dan akustik yang hampir mendekati sempurna. Selain itu pamphlet dan brosur tentang pembicara yang cukup dikenal di gereja baru tersebut terpampang hampir di sudut jalan yang strategis setiap minggunya. Perlahan-lahan, orang-orang mulai melirik gereja yang baru tersebut.
Lain lagi pengalaman Pak Liem. Seorang gembala muda, yang baru merintis sebuah gereja di sebuah kota kecil di Jawa. Sebelumnya, gereja itu digembalakan oleh seorang pelayan lokal yang sudah berumur. Jemaatnya seperti hidup segan mati tak mau. Kehadiran setiap minggu hanya bilangan jari. Tetapi, setelah Pak Liem memberikan semacam training yang diperolehnya dalam sebuah seminar pertumbuhan: “Lima Langkah Menghidupkan jemaat yang mati suri” keadaan berubah drastis. Orang-orang lebih semangat, kehidupan doa semakin berapi-api. Banyak mujizat terjadi, sehingga kabar tentang jemaat ini tersebar sampai ke ibu kota propinsi. Setiap minggu, kehadiran membludak. Bahkan tamu dari luar kota lebih banyak dari jemaat lokal. Karena kota itu adalah tempat wisata, tidak jarang, orang-orang menghabiskan akhir minggunya di sana, untuk selanjutnya ikut ibadah di gereja pak Liem.
Orang-orang mulai bertanya-tanya, kiat apa yang dilakukan gereja tersebut sehingga berubah dan bertumbuh demikian drastis? Mereka mulai mendatangi dan belajar dari gereja tersebut. Gembala sidang mulai sering dicari-cari orang. Bahkan sering diundang untuk berbicara di berbagai seminar Pertumbuhan Gereja.
Sesudah beberapa waktu berselang, Pak Liem telah ‘bertumbuh’ menjadi begitu dikenal di kalangan MLM, sebagai pembicara motivator dan konselor. Beliau sekarang telah memiliki beberapa bidang usaha jasa organiser dan training kepemimpinan. Jadwalnya sangat padat. Tapi bagaimana dengan gereja yang telah dilayaninya beberapa tahun yang silam di Jawa? “Ceritanya panjang” desah pak Liem. Sesudah terdiam beberapa saat dan mengambil nafas dalam-dalam, ia mulai bercerita: “Panggilan Tuhan…Dia meminta saya untuk terlibat di dunia sekuler..” Selanjutnya dia menceritakan panjang lebar berbagai masalah dalam gerejanya yang tidak selesai-selesai. Sementara, kini gereja itu sendiri hampir tutup, seiring dengan hilangnya keberadaan (atau kharisma?) pendeta Liem dari sana.
Banyak pertanyaan yang dapat diajukan dari dua contoh gereja yang pernah semangat ini. Tetapi intinya adalah, lingkungan sangat memengaruhi pertumbuhan (contoh 1) dan ada korelasi yang sangat tajam dan kuat antara kepemimpinan dalam gereja dengan pertumbuhan gereja itu sendiri (contoh 2). Dengan sebuah hipotesa awal dari dua kisah di atas adalah: pertumbuhan suatu ketika agaknya berbeda dengan pertumbuhan yang terus menerus atau berkelanjutan. Dapat saja terjadi sebuah gereja yang pernah bertumbuh, menjadi tidak lagi, bahkan semakin menurun seiring berlalunya waktu. Dengan kata lain, gereja tersebut tidak bertumbuh secara terus menerus, atau berkelanjutan.
Di sudut belakang, terlihat beberapa orang tua meneteskan air mata sambil berpelukan. Merekalah yang melihat perjalanan gereja itu untuk waktu yang cukup lama. Pada malam itu, rasanya berbeda dari malam, minggu, bulan dan tahun-tahun sebelumnya. Apakah yang terjadi? Mungkinkah Tuhan mengulangi lagi suasana pentakosta seperti 2000 tahun yang silam, batin beberapa pengajar senior dan tua-tua jemaat. Atau kita telah membangun sebuah dasar yang benar bagi gereja kita? Atau, ini hanyakah kejadian sesaat?
Benar saja, beberapa tahun setelah KKR yang fenomenal itu, ternyata jumlah jemaat yang setia dalam gereja bukannya bertambah, malah semakin menurun, sampai hanya puluhan jiwa saja. Selebihnya, kalaulah ada acara khusus, kehadiran dapat bertambah menjadi sekitar 100 orang. Mengapa hal ini terjadi? Dari desas desus, ternyata tidak jauh dari sana ada sebuah gereja baru dengan bangunan paling mutakhir baru saja selesai. Sebagai gambaran umum, sound system saja berharga tidak kurang dari 2 milyar rupiah, belum lagi pendingin udara dan akustik yang hampir mendekati sempurna. Selain itu pamphlet dan brosur tentang pembicara yang cukup dikenal di gereja baru tersebut terpampang hampir di sudut jalan yang strategis setiap minggunya. Perlahan-lahan, orang-orang mulai melirik gereja yang baru tersebut.
Lain lagi pengalaman Pak Liem. Seorang gembala muda, yang baru merintis sebuah gereja di sebuah kota kecil di Jawa. Sebelumnya, gereja itu digembalakan oleh seorang pelayan lokal yang sudah berumur. Jemaatnya seperti hidup segan mati tak mau. Kehadiran setiap minggu hanya bilangan jari. Tetapi, setelah Pak Liem memberikan semacam training yang diperolehnya dalam sebuah seminar pertumbuhan: “Lima Langkah Menghidupkan jemaat yang mati suri” keadaan berubah drastis. Orang-orang lebih semangat, kehidupan doa semakin berapi-api. Banyak mujizat terjadi, sehingga kabar tentang jemaat ini tersebar sampai ke ibu kota propinsi. Setiap minggu, kehadiran membludak. Bahkan tamu dari luar kota lebih banyak dari jemaat lokal. Karena kota itu adalah tempat wisata, tidak jarang, orang-orang menghabiskan akhir minggunya di sana, untuk selanjutnya ikut ibadah di gereja pak Liem.
Orang-orang mulai bertanya-tanya, kiat apa yang dilakukan gereja tersebut sehingga berubah dan bertumbuh demikian drastis? Mereka mulai mendatangi dan belajar dari gereja tersebut. Gembala sidang mulai sering dicari-cari orang. Bahkan sering diundang untuk berbicara di berbagai seminar Pertumbuhan Gereja.
Sesudah beberapa waktu berselang, Pak Liem telah ‘bertumbuh’ menjadi begitu dikenal di kalangan MLM, sebagai pembicara motivator dan konselor. Beliau sekarang telah memiliki beberapa bidang usaha jasa organiser dan training kepemimpinan. Jadwalnya sangat padat. Tapi bagaimana dengan gereja yang telah dilayaninya beberapa tahun yang silam di Jawa? “Ceritanya panjang” desah pak Liem. Sesudah terdiam beberapa saat dan mengambil nafas dalam-dalam, ia mulai bercerita: “Panggilan Tuhan…Dia meminta saya untuk terlibat di dunia sekuler..” Selanjutnya dia menceritakan panjang lebar berbagai masalah dalam gerejanya yang tidak selesai-selesai. Sementara, kini gereja itu sendiri hampir tutup, seiring dengan hilangnya keberadaan (atau kharisma?) pendeta Liem dari sana.
Banyak pertanyaan yang dapat diajukan dari dua contoh gereja yang pernah semangat ini. Tetapi intinya adalah, lingkungan sangat memengaruhi pertumbuhan (contoh 1) dan ada korelasi yang sangat tajam dan kuat antara kepemimpinan dalam gereja dengan pertumbuhan gereja itu sendiri (contoh 2). Dengan sebuah hipotesa awal dari dua kisah di atas adalah: pertumbuhan suatu ketika agaknya berbeda dengan pertumbuhan yang terus menerus atau berkelanjutan. Dapat saja terjadi sebuah gereja yang pernah bertumbuh, menjadi tidak lagi, bahkan semakin menurun seiring berlalunya waktu. Dengan kata lain, gereja tersebut tidak bertumbuh secara terus menerus, atau berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar