Kekristenan tidak terpisahkan dari kegiatan “baca-tulis”. Sejak Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru. Di Kitab Ulangan pasal 6, disebutkan bahwa Tuhan memberikan perintah kepada orang tua khususnya ayah untuk menyampaikan firman Tuhan kepada anak-anaknya. Ia harus membacakan dan menuliskannya di setiap tempat, setiap keadaan dan setiap waktu.
Tuhan sendiri menunjukkan perhatian yang besar terhadap “baca-tulis”. Ia menuliskan ulang 10 perintah yang sama pada 2 (dua) loh batu yang pernah dipecahkan oleh Musa (band. Kej 34:1). Hal serupa pernah terjadi ketika raja memusnahkan firman Tuhan yang ditulis oleh Yeremia dan Barukh. Tuhan menyuruh Yeremia menuliskannya kembali sama persis seperti semula bahkan ditambah dengan penekanan terhadap pesan yang semula dituliskan.
Yesus pun demikian. Ia selalu merujuk kepada Kitab Suci. Ketika dicobai oleh Iblis di padang gurun, Ia mengutip ayat-ayat Kitab Suci dengan menyebutkan “ada tertulis…”. Di jalan menuju Emaus, Yesus menjelaskan Kitab Suci secara komprehensif, detil, rinci, dan sistematis kepada murid-murid-Nya (band. Luk 24:27,32). Di Bait Suci, Ia membaca Kitab Yesaya dan menjelaskannya. Di Kitab Kisah Para Rasul, ia menjelaskan tentang Kerajaan Allah yang tentunya juga merujuk atau mengacu kepada ayat-ayat Kitab Suci. Ia juga mengucapkan ungkapan-ungkapan seperti “tidak kah kamu baca…” yang menandakan bahwa ia membaca Kitab Suci dengan intensif dan konsisten.
Murid-murid Yesus adalah bukti intensitas Yesus terhadap “baca-tulis”. Petrus yang dulunya adalah seorang nelayan mampu berkhotbah dengan mengutip ayat-ayat dari Kitab Yoel. Rasul-rasul yang lain pun demikian, dapat mengajar dan menjelaskan nubuat-nubuat dan ayat-ayat dari Perjanjian Lama.
Jadi, sangat jelas bahwa kegiatan “baca-tulis” adalah bersumber atau berasal dari Tuhan. Itulah cara Dia menjaga atau melindungi pesan yang Ia sampaikan kepada manusia. Suatu cara yang memungkinkan pesan-Nya tetap sustain hingga saat ini.
Secara historis, kita dapat ketahui bagaimana kegiatan “baca-tulis” kitab-kitab PB berlangsung. Dimulai dari rasul-rasul yang menuliskan surat-surat kepada Jemaat atau orang-orang Kristen. Kemudian, surat-surat tersebut dibacakan dari jemaat yang satu ke jemaat yang lain. Tetapi, sebelum mengirimkannya ke jemaat yang lain, surat-surat tersebut disalin ulang sama persis seperti aslinya, lalu di-forward ke jemaat-jemaat lain yang belum membacanya. Inilah sebabnya mengapa surat-surat tersebut masih tetap bertahan hingga saat ini bahkan jumlahnya pun bukan satu tetapi rangkap. Salinan surat-surat semacam inilah yang kemudian disebut dengan istilah Codex. Sebagai gambarannya di zaman ini, codex adalah sama seperti dokumen hasil photo copy terhadap dokumen asli yang berlipat ganda jumlahnya.
Hal serupa dilakukan oleh orang-orang Esene yaitu menyalin tulisan-tulisan Kitab Suci yang kita kenal sebagai naskah Dead Sea Scroll. Naskah-naskah tersebut tersimpan rapi dan utuh di dalam perpustakaan mereka sehingga kita pun dapat membaca, mengerti dan memperoleh manfaatnya hingga saat ini.
Selain orang-orang tersebut, ada pula orang-orang Berea yang dinilai Alkitab sebagai orang-orang punya hati yang lebih baik. Mereka menerima firman dengan segala kerelaan hati dan menyelidiki Kitab Suci setiap hari. Kegiatan tersebut mereka lakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pesan yang murni dan jelas dari Tuhan. Dengan demikian, orang-orang seperti itu akan terhindar dari pesan yang palsu, yang tidak jelas atau rancu.
Tetapi, realitanya di masa kini, tidak sedikit orang-orang Kristen yang negatif atau apatis terhadap kegiatan “baca-tulis”. Ada yang mengidentikkan orang yang giat atau tekun membaca Alkitab sebagai “orang Farisi” modern. Padahal kesalahan orang Farisi di masa lalu bukan terletak kepada kegiatan “baca-tulis” nya tetapi kepada mis-interpretasi-nya. Ada pula ungkapan offensive yang mengatakan “yang penting kan melakukan…” Padahal, tindakan “melakukan” tidak dapat diterapkan tanpa mengerti apa dan bagaimana melakukan firman-Nya.
Tanpa mengabaikan tentang betapa pentingnya “melakukan” firman Tuhan, orang Kristen pun perlu menyadari betapa penting nya juga upaya memperoleh pesan yang tepat dan jelas. Karena, pesan yang tidak tepat dan tidak jelas tentu saja menghasilkan tindakan yang salah juga. Jadi apakah gunanya melakukan pesan yang salah?
Secara pribadi, saya berpendapat pentingnya penggalian firman yang sustainable atau yang berkelanjutan. Artinya, kita perlu melanjutkan penggalian firman yang ditulis oleh para rasul, yang kemudian dilanjutkan oleh generasi selanjutnya, yang tulus dan setia menjaga kemurnian firman, bapa-bapa gereja, dan teolog-teolog yang sejati. Mereka telah mengambil peran yaitu menerjemahkan Codex menjadi kanon, hingga akhirnya menjadi Alkitab. Tinggal kita hari ini yang semestinya juga turut mengambil peran yaitu melanjutkannya. Caranya? Menjaga pesan yang murni, sampaikan, ajarkan, khotbahkan, lakukan dan teruskan kepada generasi selanjutnya.
Tuhan sendiri menunjukkan perhatian yang besar terhadap “baca-tulis”. Ia menuliskan ulang 10 perintah yang sama pada 2 (dua) loh batu yang pernah dipecahkan oleh Musa (band. Kej 34:1). Hal serupa pernah terjadi ketika raja memusnahkan firman Tuhan yang ditulis oleh Yeremia dan Barukh. Tuhan menyuruh Yeremia menuliskannya kembali sama persis seperti semula bahkan ditambah dengan penekanan terhadap pesan yang semula dituliskan.
Yesus pun demikian. Ia selalu merujuk kepada Kitab Suci. Ketika dicobai oleh Iblis di padang gurun, Ia mengutip ayat-ayat Kitab Suci dengan menyebutkan “ada tertulis…”. Di jalan menuju Emaus, Yesus menjelaskan Kitab Suci secara komprehensif, detil, rinci, dan sistematis kepada murid-murid-Nya (band. Luk 24:27,32). Di Bait Suci, Ia membaca Kitab Yesaya dan menjelaskannya. Di Kitab Kisah Para Rasul, ia menjelaskan tentang Kerajaan Allah yang tentunya juga merujuk atau mengacu kepada ayat-ayat Kitab Suci. Ia juga mengucapkan ungkapan-ungkapan seperti “tidak kah kamu baca…” yang menandakan bahwa ia membaca Kitab Suci dengan intensif dan konsisten.
Murid-murid Yesus adalah bukti intensitas Yesus terhadap “baca-tulis”. Petrus yang dulunya adalah seorang nelayan mampu berkhotbah dengan mengutip ayat-ayat dari Kitab Yoel. Rasul-rasul yang lain pun demikian, dapat mengajar dan menjelaskan nubuat-nubuat dan ayat-ayat dari Perjanjian Lama.
Jadi, sangat jelas bahwa kegiatan “baca-tulis” adalah bersumber atau berasal dari Tuhan. Itulah cara Dia menjaga atau melindungi pesan yang Ia sampaikan kepada manusia. Suatu cara yang memungkinkan pesan-Nya tetap sustain hingga saat ini.
Secara historis, kita dapat ketahui bagaimana kegiatan “baca-tulis” kitab-kitab PB berlangsung. Dimulai dari rasul-rasul yang menuliskan surat-surat kepada Jemaat atau orang-orang Kristen. Kemudian, surat-surat tersebut dibacakan dari jemaat yang satu ke jemaat yang lain. Tetapi, sebelum mengirimkannya ke jemaat yang lain, surat-surat tersebut disalin ulang sama persis seperti aslinya, lalu di-forward ke jemaat-jemaat lain yang belum membacanya. Inilah sebabnya mengapa surat-surat tersebut masih tetap bertahan hingga saat ini bahkan jumlahnya pun bukan satu tetapi rangkap. Salinan surat-surat semacam inilah yang kemudian disebut dengan istilah Codex. Sebagai gambarannya di zaman ini, codex adalah sama seperti dokumen hasil photo copy terhadap dokumen asli yang berlipat ganda jumlahnya.
Hal serupa dilakukan oleh orang-orang Esene yaitu menyalin tulisan-tulisan Kitab Suci yang kita kenal sebagai naskah Dead Sea Scroll. Naskah-naskah tersebut tersimpan rapi dan utuh di dalam perpustakaan mereka sehingga kita pun dapat membaca, mengerti dan memperoleh manfaatnya hingga saat ini.
Selain orang-orang tersebut, ada pula orang-orang Berea yang dinilai Alkitab sebagai orang-orang punya hati yang lebih baik. Mereka menerima firman dengan segala kerelaan hati dan menyelidiki Kitab Suci setiap hari. Kegiatan tersebut mereka lakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pesan yang murni dan jelas dari Tuhan. Dengan demikian, orang-orang seperti itu akan terhindar dari pesan yang palsu, yang tidak jelas atau rancu.
Tetapi, realitanya di masa kini, tidak sedikit orang-orang Kristen yang negatif atau apatis terhadap kegiatan “baca-tulis”. Ada yang mengidentikkan orang yang giat atau tekun membaca Alkitab sebagai “orang Farisi” modern. Padahal kesalahan orang Farisi di masa lalu bukan terletak kepada kegiatan “baca-tulis” nya tetapi kepada mis-interpretasi-nya. Ada pula ungkapan offensive yang mengatakan “yang penting kan melakukan…” Padahal, tindakan “melakukan” tidak dapat diterapkan tanpa mengerti apa dan bagaimana melakukan firman-Nya.
Tanpa mengabaikan tentang betapa pentingnya “melakukan” firman Tuhan, orang Kristen pun perlu menyadari betapa penting nya juga upaya memperoleh pesan yang tepat dan jelas. Karena, pesan yang tidak tepat dan tidak jelas tentu saja menghasilkan tindakan yang salah juga. Jadi apakah gunanya melakukan pesan yang salah?
Secara pribadi, saya berpendapat pentingnya penggalian firman yang sustainable atau yang berkelanjutan. Artinya, kita perlu melanjutkan penggalian firman yang ditulis oleh para rasul, yang kemudian dilanjutkan oleh generasi selanjutnya, yang tulus dan setia menjaga kemurnian firman, bapa-bapa gereja, dan teolog-teolog yang sejati. Mereka telah mengambil peran yaitu menerjemahkan Codex menjadi kanon, hingga akhirnya menjadi Alkitab. Tinggal kita hari ini yang semestinya juga turut mengambil peran yaitu melanjutkannya. Caranya? Menjaga pesan yang murni, sampaikan, ajarkan, khotbahkan, lakukan dan teruskan kepada generasi selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar