Kemarahan bukanlah hal yang asing bagi setiap orang. Banyak orang berpendapat bahwa kemarahan adalah hal yang wajar. Apalagi ketika disakiti atau dirugikan oleh orang lain. Kemarahan dapat terjadi kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja. Di jalan, saat orang menyalib kendaraan Anda dan mengagetkan Anda. Di rumah, saat Anda tengah mempersiapkan diri ke kantor, Anda tidak menemukan kunci mobil, sisir, atau kaos kaki di tempat yang biasa. Anda mencari ke sana kemari, tetapi Anda tidak menemukannya. Dalam pernikahan, Anda mungkin tidak mendapat respon seperti yang Anda inginkan. Anda mendapatkan sikap ketus atau bisu yang mengintimidasi. Kemarahan dapat dijelaskan melalui berbagai peristiwa dan keadaan. Oleh siapa saja dan kapan saja. Saya yakin, Anda mempunyai banyak cerita tentang kemarahan Anda atau kemarahan orang lain yang pernah Anda saksikan.
Patrick Morley, penulis buku MAN IN THE MIRROR mengkategorikan kemarahan dalam 3 (tiga) bentuk atau jenis. Pertama, kemarahan yang ditinjau dari frekwensi nya, sangat amat jarang terjadi, tetapi, ketika kemarahan itu terjadi, ia seperti ledakan bom yang eksplosif – besar, kuat dan tidak terkendali. Kedua, kemarahan yang ditinjau dari frekwensi nya sangat amat sering terjadi, tetapi, kekuatan atau intensitasnya relatif kecil. Banyak orang biasanya menyebutnya dengan istilah "cerewet". Kemarahan yang ketiga adalah kemarahan yang sangat amat jarang terjadi, karena ia tersimpan, tersembunyi dan terpendam sangat dalam di dalam diri seseorang. Kita biasanya menyebutnya jenis ini dengan istilah "dendam".
Timbul pertanyaan, salahkah jika seseorang marah, baik terhadap situasi atau terhadap orang lain? Bukankah kemarahan adalah hal yang wajar dan manusiawi? Atau sebaliknya, baik-kah atau benarkah jika seseorang tidak pernah marah? Dapatkah ia disebut sebagai orang yang normal atau manusiawi?
Alkitab berkata:"Berbahagialah orang yang lemah lembut karena mereka akan memiliki bumi (band. Mat 5:6)". Kata lemah lembut dalam bahasa Yunani disebut dengan "praus". Praus biasa digunakan untuk mengartikan atau menggambarkan tentang binatang liar yang telah menjadi jinak. Dengan kata lain, kata praus mengandung arti tentang potensi kekuatan yang terkendali atau terkontrol di dalam diri atau pribadi seseorang. Jadi, lemah lembut bukan berarti lemah, tidak berdaya, atau pengecut, melainkan kuat, handal dan tangguh tetapi penuh dengan penguasaan diri.
Sebagai contoh yang sempuna, perhatikanlah Yesus. Ia tidak kesal ketika orang-orang Farisi mengintimidasi-Nya dengan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan. Ia tidak marah atau mendendam ketika Ia hendak dibunuh bahkan ketika Ia disalib, Ia berkata Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Tetapi, apakah itu berarti bahwa Yesus tidak bisa marah? Tidak. Ingatkah Anda tentang peristiwa Bait Suci yang dibersihkan oleh Yesus? Apakah yang Yesus lakukan? Ia menjalin tali dan membuat cambuk. Ia membalikkan meja-meja, melepaskan hewan atau ternak yang diperjual belikan di Bait Suci. Ia mengusir dan membubarkan aktifitas pebisnis liar yang mengatasnamakan Tuhan dan korban persembahan.
Sebenarnya, apa yang sedang terjadi saat itu? TUHAN sedang direndahkan. Ia tidak dihormati tetapi disakiti dan dikecewakan. Dengan cara apa? Dengan cara menjual hewan korban dengan tarif yang tidak masuk akal termasuk kepada orang-orang yang miskin dan tidak sanggup membelinya. Orang yang hendak mempersembahkan korban dikenai tarif yang sangat amat mahal dan berlipat kali ganda. Belum lagi, tentang pendatang yang harus menukarkan uang untuk mempersembahkan korban. Mereka bukan mendapatkan kemudahan melainkan nilai tukar yang sangat menekan. Waktu itulah Yesus marah, tetapi selain itu tidak.
Anda mungkin telah mengerti sampai di sini. Yesus tidak marah ketika orang mengintimidasi-Nya, hendak membunuh-Nya, bahkan ketika orang menganiaya dan menyalibkan-Nya. Tetapi, Ia marah ketika imam-imam menjadi korup dan tidak menjadi perantara yang baik bagi umat-Nya. Ia marah ketika imam-imam mempersulit bahkan menghalang-halangi umat-Nya beribadah demi kepentingan dan keuntungan pribadi atau kelompok.
Jika Yesus saja tidak marah, mengapa sebagai pengikut-Nya kita seringkali tidak seperti Dia. Kita sering marah karena merasa kurang dihormati, kurang dihargai, kurang diperhatikan, kurang diperlakukan dengan baik, kurang dipedulikan, dan sebagainya. Kita sering marah karena hal-hal yang tidak sesuai harapan, karena hal-hal yang tidak memenuhi ekspektasi kita. Tetapi, pernahkah kita marah seperti Yesus, dengan alasan-alasan yang sama seperti Dia? Pernahkah kita marah karena hal yang kena-mengena terhadap TUHAN bukan karena diri sendiri, karena kepentingan TUHAN bukan karena ego, urusan, privasi atau kepentingan pribadi? Pernahkah? Jika tidak, di manakah kesamaan kita dengan Yesus? Apakah yang ada di dalam diri kita yang serupa dengan-Nya?
Kemarahan tidak membawa kebahagiaan. Ia membuat orang merasakan sesak di dada, tidak tenang dan susah tidur. Sebaliknya, orang-orang yang lemah lembut dan menguasai diri terbebas dari rasa sakit hati, kesal, dendam, atau tersinggung. Orang Kristen yang lemah lembut adalah orang yang jauh di dalam hati dan pikiran nya sadar dan mengerti bahwa ia hanyalah seorang yang berdosa. Sesungguhnya, ia tidak layak untuk dihormati, dihargai, diperlakukan dengan baik, adil, dipuji, disanjung, apalagi disembah. Melainkan, TUHAN saja. Ya, TUHAN saja yang layak, saya pun tidak.
Referensi: Wikipedia; PASH Matius oleh DR. William Barclay - Penerbit BPK Gunung Mulia; Audio Sermon Grace to You - Happy are the Poor in Spirit by Mac Arthur, John; Audio Sermon Berean Publication House - Seri Khotbah di Bukit oleh Pdt. Harliem Salim
Copyright © 2009 by Naek http://www.nevermissingqt.blogspot.com/
Patrick Morley, penulis buku MAN IN THE MIRROR mengkategorikan kemarahan dalam 3 (tiga) bentuk atau jenis. Pertama, kemarahan yang ditinjau dari frekwensi nya, sangat amat jarang terjadi, tetapi, ketika kemarahan itu terjadi, ia seperti ledakan bom yang eksplosif – besar, kuat dan tidak terkendali. Kedua, kemarahan yang ditinjau dari frekwensi nya sangat amat sering terjadi, tetapi, kekuatan atau intensitasnya relatif kecil. Banyak orang biasanya menyebutnya dengan istilah "cerewet". Kemarahan yang ketiga adalah kemarahan yang sangat amat jarang terjadi, karena ia tersimpan, tersembunyi dan terpendam sangat dalam di dalam diri seseorang. Kita biasanya menyebutnya jenis ini dengan istilah "dendam".
Timbul pertanyaan, salahkah jika seseorang marah, baik terhadap situasi atau terhadap orang lain? Bukankah kemarahan adalah hal yang wajar dan manusiawi? Atau sebaliknya, baik-kah atau benarkah jika seseorang tidak pernah marah? Dapatkah ia disebut sebagai orang yang normal atau manusiawi?
Alkitab berkata:"Berbahagialah orang yang lemah lembut karena mereka akan memiliki bumi (band. Mat 5:6)". Kata lemah lembut dalam bahasa Yunani disebut dengan "praus". Praus biasa digunakan untuk mengartikan atau menggambarkan tentang binatang liar yang telah menjadi jinak. Dengan kata lain, kata praus mengandung arti tentang potensi kekuatan yang terkendali atau terkontrol di dalam diri atau pribadi seseorang. Jadi, lemah lembut bukan berarti lemah, tidak berdaya, atau pengecut, melainkan kuat, handal dan tangguh tetapi penuh dengan penguasaan diri.
Sebagai contoh yang sempuna, perhatikanlah Yesus. Ia tidak kesal ketika orang-orang Farisi mengintimidasi-Nya dengan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan. Ia tidak marah atau mendendam ketika Ia hendak dibunuh bahkan ketika Ia disalib, Ia berkata Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Tetapi, apakah itu berarti bahwa Yesus tidak bisa marah? Tidak. Ingatkah Anda tentang peristiwa Bait Suci yang dibersihkan oleh Yesus? Apakah yang Yesus lakukan? Ia menjalin tali dan membuat cambuk. Ia membalikkan meja-meja, melepaskan hewan atau ternak yang diperjual belikan di Bait Suci. Ia mengusir dan membubarkan aktifitas pebisnis liar yang mengatasnamakan Tuhan dan korban persembahan.
Sebenarnya, apa yang sedang terjadi saat itu? TUHAN sedang direndahkan. Ia tidak dihormati tetapi disakiti dan dikecewakan. Dengan cara apa? Dengan cara menjual hewan korban dengan tarif yang tidak masuk akal termasuk kepada orang-orang yang miskin dan tidak sanggup membelinya. Orang yang hendak mempersembahkan korban dikenai tarif yang sangat amat mahal dan berlipat kali ganda. Belum lagi, tentang pendatang yang harus menukarkan uang untuk mempersembahkan korban. Mereka bukan mendapatkan kemudahan melainkan nilai tukar yang sangat menekan. Waktu itulah Yesus marah, tetapi selain itu tidak.
Anda mungkin telah mengerti sampai di sini. Yesus tidak marah ketika orang mengintimidasi-Nya, hendak membunuh-Nya, bahkan ketika orang menganiaya dan menyalibkan-Nya. Tetapi, Ia marah ketika imam-imam menjadi korup dan tidak menjadi perantara yang baik bagi umat-Nya. Ia marah ketika imam-imam mempersulit bahkan menghalang-halangi umat-Nya beribadah demi kepentingan dan keuntungan pribadi atau kelompok.
Jika Yesus saja tidak marah, mengapa sebagai pengikut-Nya kita seringkali tidak seperti Dia. Kita sering marah karena merasa kurang dihormati, kurang dihargai, kurang diperhatikan, kurang diperlakukan dengan baik, kurang dipedulikan, dan sebagainya. Kita sering marah karena hal-hal yang tidak sesuai harapan, karena hal-hal yang tidak memenuhi ekspektasi kita. Tetapi, pernahkah kita marah seperti Yesus, dengan alasan-alasan yang sama seperti Dia? Pernahkah kita marah karena hal yang kena-mengena terhadap TUHAN bukan karena diri sendiri, karena kepentingan TUHAN bukan karena ego, urusan, privasi atau kepentingan pribadi? Pernahkah? Jika tidak, di manakah kesamaan kita dengan Yesus? Apakah yang ada di dalam diri kita yang serupa dengan-Nya?
Kemarahan tidak membawa kebahagiaan. Ia membuat orang merasakan sesak di dada, tidak tenang dan susah tidur. Sebaliknya, orang-orang yang lemah lembut dan menguasai diri terbebas dari rasa sakit hati, kesal, dendam, atau tersinggung. Orang Kristen yang lemah lembut adalah orang yang jauh di dalam hati dan pikiran nya sadar dan mengerti bahwa ia hanyalah seorang yang berdosa. Sesungguhnya, ia tidak layak untuk dihormati, dihargai, diperlakukan dengan baik, adil, dipuji, disanjung, apalagi disembah. Melainkan, TUHAN saja. Ya, TUHAN saja yang layak, saya pun tidak.
Referensi: Wikipedia; PASH Matius oleh DR. William Barclay - Penerbit BPK Gunung Mulia; Audio Sermon Grace to You - Happy are the Poor in Spirit by Mac Arthur, John; Audio Sermon Berean Publication House - Seri Khotbah di Bukit oleh Pdt. Harliem Salim
Copyright © 2009 by Naek http://www.nevermissingqt.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar