Bacaan: Roma 2:25-29; 4:9-12
2:25 Sunat memang ada gunanya, jika engkau mentaati hukum Taurat; tetapi jika engkau melanggar hukum Taurat, maka sunatmu tidak ada lagi gunanya.
2:26 Jadi jika orang yang tak bersunat memperhatikan tuntutan-tuntutan hukum Taurat, tidakkah ia dianggap sama dengan orang yang telah disunat?
2:27 Jika demikian, maka orang yang tak bersunat, tetapi yang melakukan hukum Taurat, akan menghakimi kamu yang mempunyai hukum tertulis dan sunat, tetapi yang melanggar hukum Taurat.
2:28 Sebab yang disebut Yahudi bukanlah orang yang lahiriah Yahudi, dan yang disebut sunat, bukanlah sunat yang dilangsungkan secara lahiriah.
2:29 Tetapi orang Yahudi sejati ialah dia yang tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara hurufiah. Maka pujian baginya datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah.
Pesan Yesus adalah “worldwide message” bukan pesan lokal. Simaklah apa yang Ia katakan kepada murid-murid-Nya sebelum terangkat ke sorga.
Yesus menyebut “segala bangsa” bukan “hanya bangsa Yahudi” atau “bangsa Yahudi saja”. Tetapi pesan itu tidak sepenuhnya dimengerti dan diterima oleh para rasul. Di Kisah Para Rasul 10 – 11 terdapat kisah tentang rasul Petrus yang setelah sekian lama, baru pertama kali membaptis orang non-Yahudi yaitu Kornelius, seorang perwira pasukan Itali. Ia bergumul untuk menemuinya, mengajarkannya tentang Kitab Suci dan membaptisnya. Andai saja Petrus tidak melihat penglihatan dari Allah sebelumnya mungkin ia tidak akan melakukannya. Apalagi orang Yahudi sangat fanatik, sampai-sampai menginjakkan kaki di rumah orang non Yahudi saja mereka tidak boleh (band. Kis 10:28).
Selain pergaulan bangsa Yahudi yang tidak akrab dengan bangsa lain, terdapat 4 (empat) hal yang seringkali menimbulkan persoalan antara orang Kristen yang berbangsa Yahudi dan yang berbangsa non-Yahudi. Empat hal tersebut adalah hukum Taurat, sunat, makanan yang halal, dan tentang hari Sabat. Bangsa Yahudi termasuk para rasul mengalami kesulitan, bukan saja soal hubungan antara mereka tetapi juga bagaimana menangani atau menyesuaikan perbedaan-perbedaan ini. Apakah bangsa Yahudi harus meninggalkan hukum Taurat, sunat, makanan yang halal, dan hari Sabat? Atau, orang-orang non-Yahudi juga harus melakukan hukum Taurat, disunat, makan makanan yang halal dan menguduskan hari Sabat persis sama seperti yang mereka lakukan?
Sejarah mencatat bahwa Petrus mempunyai hubungan yang dekat dengan Jemaat di Roma. Padahal Jemaat itu tergolong sebagai Jemaat “Gentiles” atau non Yahudi meskipun di sana terdapat juga orang-orang Yahudi. Besar kemungkinannya, hubungan antara Petrus dan Jemaat di Roma diawali dengan perjumpaannya dengan Kornelius yang berkebangsaan Itali. Permasalahannya, mereka masih belum dapat menemukan jawaban atas perbedaan di antara mereka khususnya tentang hukum Taurat, tentang sunat, tentang makanan yang halal, dan tentang hari Sabat.
Jangankan orang-orang Kristen berbangsa Yahudi, rasul Petrus pun mengalami kebingungan sehingga ia bersikap seolah seperti orang yang bermuka dua. Ia makan sehidangan dengan orang-orang yang tidak bersunat tetapi ketika bertemu dengan Yakobus dan orang-orang yang bersunat, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka (band. Gal 2:11-14).
Itulah alasan atau latar belakang penulisan surat Paulus kepada Jemaat di Roma yaitu untuk menjelaskan dan mengkonfirmasikan bahwa keselamatan juga diberikan kepada bangsa-bangsa lain bukan saja kepada bangsa Yahudi. Soal hukum Taurat, sunat, makanan yang halal dan hari Sabat hanyalah bayangan, sedang wujudnya adalah Kristus (band. Kolose 2:17). Sehingga dengan demikian bangsa Yahudi juga tidak dapat menyombongkan diri hanya karena mereka adalah keturunan Abraham, yang pertama kali mengenal dan dipilih Allah.
Sekali lagi, pesan Yesus adalah “worldwide message” bukan pesan lokal. Dan orang-orang Kristen bukanlah sekte Yahudi tetapi Jemaat Allah dan Kerajaan Allah di bumi.
Tugas orang-orang Kristen di masa kini adalah untuk menjelaskan pesan-Nya, mengkomunikasikannya dan men-transformasikannya seluas-luasnya. Worldwide!
Anda mungkin pernah mendengar ilustrasi “Ayam Panggang Dalam Oven”. Saya akan menggunakannya untuk mendapat gambaran tentang keadaan bangsa Yahudi di zaman Paulus. Mungkin ilustrasi ini bukanlah ilustrasi yang sempurna, dan saya pun tidak berharap Anda lebih mengingatnya daripada Alkitab dan kebenaran yang terkandung di dalamnya. Jika demikian izinkan saya menyampaikannya sebelum menjelaskan Roma 4:9-12.
Seorang gadis kecil menyaksikan ibunya memenggal leher seekor ayam panggang, memotong ekornya lalu memasukkannya ke dalam sebuah oven. Sang ibu menatap wajah gadis kecil itu dengan senyum lalu bertanya: ”Apa yang kau perhatikan, nak?” Sang anak bertanya: ”Ibu, mengapa ibu memenggal leher ayam itu dan memotong ekornya?” Sang ibu menjawab: ”Sejak dulu nenekmu melakukannya dan mengajarkannya seperti itu kepada ibu.” Singkat cerita, sang gadis kecil bertumbuh dewasa dan menjadi ibu dari seorang gadis kecil pula. Di dapur dengan aktifitas yang serupa, gadis kecilnya bertanya: ”Ibu, mengapa ibu memenggal leher ayam itu dan memotong ekornya? Bukankah bagian leher dan ekor ayam itu dapat dimakan dan dinikmati dagingnya?” Ibu gadis kecil itu menjawab: ”Entahlah nak, nenekmu melakukannya sejak dulu dan mengajarkannya kepada ibu. Dan menurut beliau, nenek moyang kita telah melakukannya sejak dulu.”
Waktu berjalan, generasi demi generasi dilahirkan hingga ditemukan peninggalan sejarah keluarga berupa tulisan atau catatan yang menyebutkan, bahwa pemenggalan leher ayam dan ekor disebabkan karena oven di masa itu sangat kecil, sehingga tidak dapat memuat ayam panggang dengan utuh masuk ke dalamnya. Maka sejak saat itu, keluarga gadis kecil tidak lagi memenggal leher dan memotong ekor ayam mengingat oven-oven di masa selanjutnya jauh lebih bagus dan besar ukurannya.
Dari ilustrasi “Ayam Panggang Dalam Oven” tadi dapat ditemukan 3 (tiga) kesalahan utama:
1. Sang ibu tidak tahu alasan, latar belakang atau dasar, mengapa memenggal leher ayam dan memotong ekornya.
2. Sang ibu tidak mencari tahu tetapi mengikuti kebiasaan ibunya dan mengajarkannya kepada anaknya.
3. Sang ibu melakukan tindakan yang sama di zaman yang berbeda dengan oven yang berbeda pula.
Demikian pula halnya dengan sejumlah besar bangsa Yahudi di zaman Paulus, mereka tidak tahu alasan, latar belakang atau dasar dari sunat dan hukum Taurat yang sesungguhnya yaitu iman. Bangsa itu tidak mencari tahu kebenaran tetapi hanya mengikuti kebiasaan leluhur atau nenek moyang mereka dan mengajarkannya turun temurun. Mereka tetap menerapkan sunat, hukum Taurat termasuk persembahan korban penghapusan dosa di zaman Perjanjian Baru di mana Kristus adalah kegenapan atau kesempurnaan dari hukum Taurat (band. Kol 2:16-17).
Padahal kebenaran itu bukan saja nyata melalui kisah Abraham tetapi juga secara eksplisit disebutkan di buku Perjanjian Lama, yaitu Habakuk 2:4b yang berbunyi demikian:
Orang Kristen di masa kini dapat mengambil pelajaran untuk tidak hanya mengikuti tindakan atau kebiasaan yang tidak berdasar atas iman Kristen atau firman Allah. Sekalipun tindakan atau kebiasaan itu dipandang agung atau sakral, orang Kristen tidak harus mengikutinya apalagi mengajarkannya turun temurun.
Jadi, …pergilah, dan jadikanlah semua bangsa menjadi murid Kristus bukan menjadi yang lain.
Copyright (c) 2009 by Naek http://www.nevermissingqt.blogspot.com/
2:25 Sunat memang ada gunanya, jika engkau mentaati hukum Taurat; tetapi jika engkau melanggar hukum Taurat, maka sunatmu tidak ada lagi gunanya.
2:26 Jadi jika orang yang tak bersunat memperhatikan tuntutan-tuntutan hukum Taurat, tidakkah ia dianggap sama dengan orang yang telah disunat?
2:27 Jika demikian, maka orang yang tak bersunat, tetapi yang melakukan hukum Taurat, akan menghakimi kamu yang mempunyai hukum tertulis dan sunat, tetapi yang melanggar hukum Taurat.
2:28 Sebab yang disebut Yahudi bukanlah orang yang lahiriah Yahudi, dan yang disebut sunat, bukanlah sunat yang dilangsungkan secara lahiriah.
2:29 Tetapi orang Yahudi sejati ialah dia yang tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara hurufiah. Maka pujian baginya datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah.
Pesan Yesus adalah “worldwide message” bukan pesan lokal. Simaklah apa yang Ia katakan kepada murid-murid-Nya sebelum terangkat ke sorga.
“…pergilah, dan jadikanlah semua bangsa menjadi murid-Ku…” (Mat 28:19)
Yesus menyebut “segala bangsa” bukan “hanya bangsa Yahudi” atau “bangsa Yahudi saja”. Tetapi pesan itu tidak sepenuhnya dimengerti dan diterima oleh para rasul. Di Kisah Para Rasul 10 – 11 terdapat kisah tentang rasul Petrus yang setelah sekian lama, baru pertama kali membaptis orang non-Yahudi yaitu Kornelius, seorang perwira pasukan Itali. Ia bergumul untuk menemuinya, mengajarkannya tentang Kitab Suci dan membaptisnya. Andai saja Petrus tidak melihat penglihatan dari Allah sebelumnya mungkin ia tidak akan melakukannya. Apalagi orang Yahudi sangat fanatik, sampai-sampai menginjakkan kaki di rumah orang non Yahudi saja mereka tidak boleh (band. Kis 10:28).
Selain pergaulan bangsa Yahudi yang tidak akrab dengan bangsa lain, terdapat 4 (empat) hal yang seringkali menimbulkan persoalan antara orang Kristen yang berbangsa Yahudi dan yang berbangsa non-Yahudi. Empat hal tersebut adalah hukum Taurat, sunat, makanan yang halal, dan tentang hari Sabat. Bangsa Yahudi termasuk para rasul mengalami kesulitan, bukan saja soal hubungan antara mereka tetapi juga bagaimana menangani atau menyesuaikan perbedaan-perbedaan ini. Apakah bangsa Yahudi harus meninggalkan hukum Taurat, sunat, makanan yang halal, dan hari Sabat? Atau, orang-orang non-Yahudi juga harus melakukan hukum Taurat, disunat, makan makanan yang halal dan menguduskan hari Sabat persis sama seperti yang mereka lakukan?
Sejarah mencatat bahwa Petrus mempunyai hubungan yang dekat dengan Jemaat di Roma. Padahal Jemaat itu tergolong sebagai Jemaat “Gentiles” atau non Yahudi meskipun di sana terdapat juga orang-orang Yahudi. Besar kemungkinannya, hubungan antara Petrus dan Jemaat di Roma diawali dengan perjumpaannya dengan Kornelius yang berkebangsaan Itali. Permasalahannya, mereka masih belum dapat menemukan jawaban atas perbedaan di antara mereka khususnya tentang hukum Taurat, tentang sunat, tentang makanan yang halal, dan tentang hari Sabat.
Jangankan orang-orang Kristen berbangsa Yahudi, rasul Petrus pun mengalami kebingungan sehingga ia bersikap seolah seperti orang yang bermuka dua. Ia makan sehidangan dengan orang-orang yang tidak bersunat tetapi ketika bertemu dengan Yakobus dan orang-orang yang bersunat, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka (band. Gal 2:11-14).
Itulah alasan atau latar belakang penulisan surat Paulus kepada Jemaat di Roma yaitu untuk menjelaskan dan mengkonfirmasikan bahwa keselamatan juga diberikan kepada bangsa-bangsa lain bukan saja kepada bangsa Yahudi. Soal hukum Taurat, sunat, makanan yang halal dan hari Sabat hanyalah bayangan, sedang wujudnya adalah Kristus (band. Kolose 2:17). Sehingga dengan demikian bangsa Yahudi juga tidak dapat menyombongkan diri hanya karena mereka adalah keturunan Abraham, yang pertama kali mengenal dan dipilih Allah.
Sekali lagi, pesan Yesus adalah “worldwide message” bukan pesan lokal. Dan orang-orang Kristen bukanlah sekte Yahudi tetapi Jemaat Allah dan Kerajaan Allah di bumi.
Tugas orang-orang Kristen di masa kini adalah untuk menjelaskan pesan-Nya, mengkomunikasikannya dan men-transformasikannya seluas-luasnya. Worldwide!
“…pergilah, dan jadikanlah semua bangsa menjadi murid Kristus…”
Anda mungkin pernah mendengar ilustrasi “Ayam Panggang Dalam Oven”. Saya akan menggunakannya untuk mendapat gambaran tentang keadaan bangsa Yahudi di zaman Paulus. Mungkin ilustrasi ini bukanlah ilustrasi yang sempurna, dan saya pun tidak berharap Anda lebih mengingatnya daripada Alkitab dan kebenaran yang terkandung di dalamnya. Jika demikian izinkan saya menyampaikannya sebelum menjelaskan Roma 4:9-12.
Seorang gadis kecil menyaksikan ibunya memenggal leher seekor ayam panggang, memotong ekornya lalu memasukkannya ke dalam sebuah oven. Sang ibu menatap wajah gadis kecil itu dengan senyum lalu bertanya: ”Apa yang kau perhatikan, nak?” Sang anak bertanya: ”Ibu, mengapa ibu memenggal leher ayam itu dan memotong ekornya?” Sang ibu menjawab: ”Sejak dulu nenekmu melakukannya dan mengajarkannya seperti itu kepada ibu.” Singkat cerita, sang gadis kecil bertumbuh dewasa dan menjadi ibu dari seorang gadis kecil pula. Di dapur dengan aktifitas yang serupa, gadis kecilnya bertanya: ”Ibu, mengapa ibu memenggal leher ayam itu dan memotong ekornya? Bukankah bagian leher dan ekor ayam itu dapat dimakan dan dinikmati dagingnya?” Ibu gadis kecil itu menjawab: ”Entahlah nak, nenekmu melakukannya sejak dulu dan mengajarkannya kepada ibu. Dan menurut beliau, nenek moyang kita telah melakukannya sejak dulu.”
Waktu berjalan, generasi demi generasi dilahirkan hingga ditemukan peninggalan sejarah keluarga berupa tulisan atau catatan yang menyebutkan, bahwa pemenggalan leher ayam dan ekor disebabkan karena oven di masa itu sangat kecil, sehingga tidak dapat memuat ayam panggang dengan utuh masuk ke dalamnya. Maka sejak saat itu, keluarga gadis kecil tidak lagi memenggal leher dan memotong ekor ayam mengingat oven-oven di masa selanjutnya jauh lebih bagus dan besar ukurannya.
Dari ilustrasi “Ayam Panggang Dalam Oven” tadi dapat ditemukan 3 (tiga) kesalahan utama:
1. Sang ibu tidak tahu alasan, latar belakang atau dasar, mengapa memenggal leher ayam dan memotong ekornya.
2. Sang ibu tidak mencari tahu tetapi mengikuti kebiasaan ibunya dan mengajarkannya kepada anaknya.
3. Sang ibu melakukan tindakan yang sama di zaman yang berbeda dengan oven yang berbeda pula.
Demikian pula halnya dengan sejumlah besar bangsa Yahudi di zaman Paulus, mereka tidak tahu alasan, latar belakang atau dasar dari sunat dan hukum Taurat yang sesungguhnya yaitu iman. Bangsa itu tidak mencari tahu kebenaran tetapi hanya mengikuti kebiasaan leluhur atau nenek moyang mereka dan mengajarkannya turun temurun. Mereka tetap menerapkan sunat, hukum Taurat termasuk persembahan korban penghapusan dosa di zaman Perjanjian Baru di mana Kristus adalah kegenapan atau kesempurnaan dari hukum Taurat (band. Kol 2:16-17).
Padahal kebenaran itu bukan saja nyata melalui kisah Abraham tetapi juga secara eksplisit disebutkan di buku Perjanjian Lama, yaitu Habakuk 2:4b yang berbunyi demikian:
“… orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya.”
Orang Kristen di masa kini dapat mengambil pelajaran untuk tidak hanya mengikuti tindakan atau kebiasaan yang tidak berdasar atas iman Kristen atau firman Allah. Sekalipun tindakan atau kebiasaan itu dipandang agung atau sakral, orang Kristen tidak harus mengikutinya apalagi mengajarkannya turun temurun.
Jadi, …pergilah, dan jadikanlah semua bangsa menjadi murid Kristus bukan menjadi yang lain.
Copyright (c) 2009 by Naek http://www.nevermissingqt.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar