Rabu, 28 Oktober 2009

Menjadi Kristen yang Sejati (Bagian 1)

Ketika saya menyebut “Kristen yang Sejati” itu juga berarti bahwa ada terdapat “Kristen yang Tidak Sejati”. Sebagai buktinya, di zaman Yesus, tidak semua orang yang mengikut Dia adalah murid-muridNya. Ada tiga kategori besar orang yang terdapat di sana. Yang pertama adalah keduabelas rasul, yang kedua adalah murid-muridNya, dan yang ketiga adalah orang-orang yang penasaran terhadap Yesus. Orang-orang yang penasaran terhadap Yesus tentunya tidak mempunyai komitmen apa-apa terhadap Dia. Mereka hanya ingin tahu, ingin melihat atau menyaksikan apa yang Ia katakan dan lakukan saja. Berbeda dengan keduabelas rasul dan murid-muridNya, mereka mengikut Yesus untuk belajar. Dalam bahasa Yunani, murid-murid tersebut disebut dengan “mathetes”, sedang dalam bahasa Inggris disebut dengan “student” yaitu “pelajar” (dalam bahasa Indonesia yang serupa dengan “murid”).

Yesus adalah seorang Rabi atau Guru pada zamanNya. Di mata publik, Ia setara dengan rabi-rabi Yahudi yang lain. Hanya saja, Ia tidak diterima atau ditolak oleh para rabi atau guru-guru yang ada pada masa itu yakni orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat karena dianggap tidak sepaham atau sealiran dengan mereka. Di dalam sejumlah peraturan, ritual, tradisi, dan legalisme yang telah ditetapkan, Yesus sangat berbeda bahkan bertolak belakang dengan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Tetapi, meskipun Yesus tidak diterima atau diakui orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, Ia mempunyai pengikut yang sangat banyak, bahkan lebih banyak daripada rabi-rabi yang lain. Sehingga, dengan demikian, tentu saja, sukar menolak, atau tidak menyebutNya sebagai rabi karena Ia sudah membuktikan diriNya berperan dan berfungsi sebagai rabi bahkan tidak seperti rabi-rabi yang lain. Injil Matius pasal 7 ayat 28 dan 29 mengatakan:

”takjublah orang banyak itu mendengar pengajaranNya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka.”

Sebelum membahas lebih jauh tentang “Kristen yang Sejati”, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dengan Kristen adalah sama dengan murid Yesus atau sebaliknya murid Yesus adalah sama dengan Kristen (band. Kis 11:26). Dengan demikian, Anda dan saya tidak bingung atau rancu dengan kedua istilah tersebut. Di kitab Kisah Para Rasul, sangat jelas disebutkan bahwa anggota-anggota jemaat adalah murid-murid Yesus. Orang percaya, yang lahir baru, yang hidup baru, pengikut Kristus adalah sama dengan murid-murid Yesus (band. Kis 6:1,7;9:1,19b;11:26). Dengan kata lain, di antara Kristen dan murid Yesus tidak terdapat standar atau kualitas yang berbeda. Biasanya, orang Kristen yang berdiskusi dengan saya tentang topik ini beranggapan atau berpendapat bahwa orang Kristen lebih rendah level rohaninya dibandingkan dengan murid-murid Yesus, atau sebaliknya murid-murid Kristus lebih tinggi level rohaninya dibandingkan dengan orang Kristen. Anggapan atau pendapat tersebut tentu saja salah secara historis, secara leksikal, secara arti atau makna kata, maupun secara Alkitabiah.

Sekarang, mari mempelajari ciri atau tanda Kristen yang sejati menurut Yesus. Yang pertama, kesejatian seorang Kristen ditandai atau dicirikan oleh sikap yang rela menyangkal diri dan memikul salib setiap hari. Apakah artinya pernyataan tersebut? Di zaman Yesus ada lebih kurang 30.000 penyaliban yang pernah terjadi atau dilakukan oleh bangsa Romawi. Tujuannya adalah sebagai eksekusi yang paling menyakitkan secara fisik maupun mental. Orang yang akan disalib terlebih dahulu akan dipermalukan di depan publik dengan cara berjalan di depan umum menuju Golgota atau Bukit Tengkorak. Sambil memikul salib yang beratnya lebih kurang 135 kg, orang tersebut akan dikenakan tulisan sebagai informasi kepada publik tentang mengapa ia disalib. Mungkin, pada Yesus saat itu dituliskan “penyesat”. Selain itu, orang-orang yang disalibkan biasanya juga ditelanjangi di depan umum bukan mengenakan sehelai kain seperti yang biasanya digambarkan di dalam karya-karya seni lukis. Penyaliban biasanya dilakukan terhadap penjahat nomor wahid, pemberontak, budak, atau yang dianggap hina dan tidak mempunyai martabat atau harga diri. Saya akan menjelaskan tentang salib di lain kesempatan, tetapi, dari gambaran atau informasi ini, kita dapat menemukan arti “menyangkal diri dan memikul salib” yaitu sikap yang rela menahan malu, memikul beban, kesulitan, kesukaran, demi mengikut Yesus.

Pada zaman Yesus orang-orang yang mengikut Dia akan dikucilkan oleh rabi-rabi Yahudi, orang-orang Farisi, ahli-ahli Taurat, bangsa Romawi, dan orang-orang yang tidak percaya kepadaNya. Jika di dalam satu rumah atau keluarga, ada terdapat salah seorang yang menjadi murid Yesus, maka sangat besar kemungkinannya ia juga akan dikucilkan di dalam rumah atau keluarganya. Jika tidak, maka keluarga itulah yang akan dikucilkan. Fakta ini jelas digambarkan di dalam kisah tentang seorang yang sembuh dari buta sejak lahirnya. Orang tua pemuda yang buta itu sampai tidak berani mengakui atau memberi kesaksian bahwa Yesuslah yang telah menyembuhkan anaknya dari kebutaan sejak lahir (band. Yohanes 9:20-22). Tidak heran mengapa Yesus berkata:

"Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya,dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.” (band. Mat 10:34-36).

Apakah sikap menyangkal diri dan memikul salib masih relevan hingga saat ini? Bukankah Yesus sudah sangat popular dan dapat dikatakan “diterima” oleh banyak orang? Apakah contoh atau permisalan yang dapat memperjelas sikap tersebut? Tentu saja masih sangat relevan. Di dalam lingkungan pekerjaan, misalnya, seorang Kristen yang sejati tidak akan terlibat di dalam perselingkuhan, perbincangan porno atau gossip dengan rekan-rekan kerjanya meskipun mereka mengejeknya sebagai orang yang “sok suci”. Di samping itu, terlepas dari kesibukan atau aktifitas kerjanya, ia akan tetap tekun berdoa dan memelajari Kitab Suci, menghadiri kebaktian, bersekutu, dan berjemaat. Jika ia bekerja dengan jadwal shift, ia akan mengatur dan membicarakannya dengan rekan ataupun pimpinannya sebagai ekspresi penyangkalan dirinya demi mengikut Yesus. Apakah itu berarti bahwa ia akan menjadi karyawan yang buruk dan berkualitas rendah? Tidak. Sebaliknya ia bekerja jauh lebih baik bukan karena alasan-alasan duniawi melainkan karena Tuhan. Kolose pasal 3 ayat 22-23 mengatakan:

”Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan. Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya.”

Dengan kata lain, itulah yang akan menjadi prinsip kerjanya. Sesuatu yang lebih tinggi mengatasi Rule & Regulation ataupun SOP yang ada. Ia bukan saja patuh dan taat kepada Rule & Regulation, SOP, atau kepada pimpinan, tetapi kepada Tuhan sebagai pimpinan yang tidak kelihatan yang senantiasa melihatnya bekerja.


(bersambung)



Copyright © 2009 by Naek @ NEVER MISSING QUIET TIME
http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Tidak ada komentar: