Kamis, 24 September 2009

Pelajaran dari Paulus dan Petrus

Bacaan: Galatia 2:11-14

2:11. Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku berterang-terang menentangnya, sebab ia salah.
2:12 Karena sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus datang, ia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi setelah mereka datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan saudara-saudara yang bersunat.
2:13 Dan orang-orang Yahudi yang lainpun turut berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh kemunafikan mereka.
2:14 Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak sesuai dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas di hadapan mereka semua: "Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?"

Di zaman para rasul, penginjilan dibagi atas dua wilayah besar. Pertama adalah kepada orang-orang Yahudi atau yang bersunat dan yang kedua adalah kepada orang-orang non-Yahudi atau yang tidak bersunat. Yakobus, Kefas dan Yohanes dan rasul-rasul yang lain adalah pemimpin bagi wilayah yang pertama (band. Galatia pasal 2:9) sedangkan Paulus dan Barnabas adalah bagi wilayah yang kedua.

Suatu kali, beberapa orang dari kalangan Yakobus datang ke Antiokhia. Mereka adalah orang-orang Yahudi yang datang dari Yerusalem untuk mengunjungi dan melihat jemaat non-Yahudi yang bertumbuh dengan sangat pesat dan bertambah besar jumlahnya di sana.

Di ayat 11 disebutkan bahwa Petrus sudah ada bersama-sama dengan saudara-saudara non-Yahudi di Antiokhia, sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus itu datang,. Ia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat itu di sana. Suatu pemandangan yang indah yang tidak biasa di zaman itu. Mengapa? Karena orang-orang Yahudi pada zaman itu menganggap haram makan semeja atau sehidangan dengan orang-orang non-Yahudi. Mereka bahkan tidak menginjakkan kaki atau masuk ke dalam rumah orang-orang non-Yahudi.

Tidak lama setelah itu, saudara-saudara orang Yahudi yang bersunat dari kalangan Yakobus itu pun datang dan tiba di lokasi tempat mereka berada. Kefas yang tadinya makan semeja dan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, mengundurkan diri dan menjauhi mereka. Ia berpindah tempat dan makan dengan saudara-saudara orang-orang Yahudi yang bersunat yang datang ke tempat itu. Bahkan, di ayat 13 disebutkan juga bahwa bukan saja Kefas yang melakukan hal seperti itu tetapi juga Barnabas.

Suasana mungkin berubah menjadi dingin dan kaku. Hubungan yang kurang harmonis dan kurang bersahabat di antara orang-orang Yahudi dan orang-orang non-Yahudi mulai terasa dan terngiang kembali di dalam pikiran dan benak mereka. Semua orang mungkin tidak yakin dengan apa yang mereka lakukan karena tradisi nenek moyang sudah sangat melekat erat di dalam diri mereka, yaitu bahwa orang-orang Yahudi adalah keturunan Abraham, bangsa pilihan Tuhan, sedangkan, orang-orang non-Yahudi adalah orang kafir, bangsa kelas dua, yang tidak layak masuk ke dalam Bait Allah, tetapi duduk di luar Bait Suci.

Tidak demikian halnya dengan rasul Paulus. Ketika melihat pemandangan itu, ia tidak dapat tahan dan berdiam diri melainkan ia berterus terang menegur Petrus di depan orang banyak. Ia mengatakan bahwa Petrus salah.

Petrus mungkin mempunyai alasan mengapa ia melakukannya tetapi ia tidak reaktif dan melawan Paulus. Ia dapat menerima teguran Paulus meskipun Paulus adalah murid Kristus yang lebih muda darinya. Sesuatu yang bagi pandangan dunia merupakan ancaman terhadap jabatan atau posisi kepemimpinan. Orang-orang di dalam posisi seperti Petrus mungkin akan mengatakan:”Paulus, kalau kamu mau menegur atau mengoreksi saya, silahkan. Tetapi, tolong jangan di depan orang banyak. Tolong perhatikan dan jaga posisi dan kedudukan saya di depan mereka. Saya adalah seorang dari pemimpin tertinggi jemaat pertama di Yerusalem. Saya yang berkhotbah di hari Pentakosta sehingga 3000 orang dibaptis. Jika kamu menegur saya seperti ini, apa kata dunia?”

Tetapi, Petrus tidak demikian. Ia tidak bersikap seolah-olah ia lebih tinggi atau lebih besar posisinya dibandingkan Paulus. Seperti banyak orang di dalam organisasi pada umumnya, ia dapat saja mengatakan:”Paulus, saya lebih dulu menjadi murid Kristus daripada kamu. Kamu mengerti?.” atau “Paulus, kamu baru saja menjadi murid Kristus. Ingat itu!”

Petrus tidak mengatakan semua itu. Tidak ada indikasi konflik atau perang yang berkepanjangan antara Paulus dan Petrus setelah peristiwa tersebut. Di dalam suratnya yang kedua pasal 2 ayat 3, Petrus bahkan menyebut Paulus sebagai “saudara yang kekasih”.

Kejadian atau peristiwa semacam ini mungkin saja dapat menjadi momen perpecahan bagi pemimpin-pemimpin di dunia termasuk Paulus dan Petrus. Tetapi, apakah yang terjadi selanjutnya? Saya secara pribadi bukan saja dapat melihat kekuatan Paulus melalui peristiwa ini tetapi juga kekuatan Petrus. Memang, Petrus melakukan kesalahan karena menjauhkan diri dari saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi, sikap atau respon Petrus setelahnya menunjukkan kekuatan rohani dan pribadinya.

Apakah yang dapat kita pelajari dari rasul Paulus dan Petrus? Yang pertama adalah personal holiness atau kekudusan pribadi. Mazmur 119 ayat 104 mengatakan:”Aku beroleh pengertian dari titah-titahMu, itulah sebabnya aku benci segala jalan dusta.” Salah satu konsekuensi dari mengenal kebenaran Tuhan adalah benci segala jalan dusta. Semakin kudus pribadi seseorang, maka semakin tidak suka ia terhadap dosa. Seseorang tidak dapat menyukai keduanya kekudusan dan dosa. Ia tidak dapat menyukai keduanya sekaligus kebenaran firman Tuhan dan ajaran yang sesat.

1 Petrus pasal 1 ayat 22 mengatakan bahwa ketaatan kepada kebenaran adalah menyucikan diri. Artinya, keduanya berjalan searah sejalan, tidak bertolak belakang. Orang yang taat kepada kebenaran pada saat yang sama melakukan tindakan menyucikan diri. Yakobus pasal 1 ayat 21 pun mengatakan hal yang serupa:”…buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.” Seseorang tidak dapat menerima firman tetapi tetap menyimpan segala sesuatu yang kotor dan kejahatan di dalam dirinya. Dengan kata lain, menerima firman berarti membuang segala yang kotor atau yang jahat dari dalam diri kita.

Itulah sebabnya mengapa Paulus menegur Petrus. Kebenaran di dalam dirinya tidak dapat menerima ketidakbenaran yang ada di dalam diri Petrus. Tidak heran, mengapa ia menegur Petrus bahkan di depan saudara-saudara non-Yahudi di Antiokhia dan saudara-saudara bangsa Yahudi dari Yerusalem. Dan menurut saya, pada kasus tertentu, menegur seorang rasul dengan cara seperti ini adalah sangat efektif bukan sebaliknya. Paulus di dalam suratnya kepada Timotius yang pertama pasal 5 ayat 20 juga mengatakan hal yang serupa bahwa seorang penatua yang berbuat dosa hendaklah ditegor di depan semua orang.

Jadi, sekali lagi, pengenalan terhadap kebenaran firman Tuhan menghasilkan personal holiness yaitu kekudusan pribadi di dalam diri orang yang mengenalnya.

Pelajaran yang kedua adalah bahwa pengenalan terhadap kebenaran firman Tuhan menghasilkan sikap yang benar dan saleh. Salah satu dari sikap yang benar dan saleh itu adalah kerendahan hati. Petrus mengalami transformasi hidup dari seorang yang sombong menjadi rendah hati. Dulu, ketika masih bersama-sama dengan Yesus, ia dan rasul-rasul yang lain sering bersaing dan mempersoalkan siapakah yang terbesar dari antara mereka. Tetapi tidak demikian setelah itu. Ketika ia ditegur oleh Paulus, ia tidak menanggapinya sebagai suatu ancaman terhadap posisi atau jabatannya sebagai rasul yang terpandang dan ternama di Yerusalem. Petrus tidak bersikap sombong, reaktif dan defensif terhadap teguran Paulus. Ia menerimanya dengan rendah hati.

Di dalam organisasi pada umumnya di dunia, peristiwa semacam ini biasanya dapat menjadi awal dari perpecahan. Para pemimpin dapat terlibat di dalam konflik yang berkepanjangan, mengatur strategi, saling bertahan dan saling menyerang.

Tetapi, pengenalan akan firman Tuhan menghasilkan sikap yang benar dan saleh. Yang pertama adalah kerendahan hati dan yang kedua adalah unity yaitu sikap yang menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan.

Perpecahan sangat mungkin bahkan seringkali terjadi di dalam dunia. Sebaliknya, persatuan dan kesatuan merupakan hal yang sangat sukar bagi dunia. Tetapi, semestinya tidak demikian halnya di dalam Kerajaan Tuhan, di dalam jemaat, dan di antara orang-orang Kristen. Perpecahan semestinya sangat tidak mungkin bahkan sangat sukar terjadi di dalam jemaat. Mengapa? Karena Yesus telah memberikan perintah baru yaitu agar murid-muridNya saling mengasihi sama seperti Dia mengasihi mereka (band. Yoh 13:34-35).

Paulus di dalam suratnya kepada jemaat Korintus mengindikasikan adanya keduniawian di dalam jemaat dari sikap yang tidak bersatu. Dunia memang identik dengan perpecahan. Dimulai dari institusi terkecil yaitu pernikahan, keluarga, jemaat, pemerintah atau negara. Dan Iblis sangat mengerti akan hal itu. Ia menyusun strateginya, merusak, dan menghancurkan manusia dengan cara merusak institusi-insitusi tadi.

Anda mungkin mencoba berargumentasi dengan menyebut nama Barnabas sebagai seseorang yang pernah berselisih paham dengan Paulus. Alkitab memang tidak mencatat kisah selanjutnya mengenai hubungan di antara keduanya. Tetapi, Yohanes atau yang disebut juga Markus yang menjadi isu permasalahan mereka pada waktu itu telah memenuhi panggilan Paulus untuk kembali bergabung bersama-sama dengannya. Ia kembali membantu, mendukung pelayanan dan pemberitaan Injil bahkan menjadi salah seorang penulis Injil di Perjanjian Baru.



Copyright © 2009 by Naek @ NEVER MISSING QUIET TIME
http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Tidak ada komentar: