Kamis, 24 September 2009

Pelajaran dari Paulus dan Petrus

Bacaan: Galatia 2:11-14

2:11. Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku berterang-terang menentangnya, sebab ia salah.
2:12 Karena sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus datang, ia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi setelah mereka datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan saudara-saudara yang bersunat.
2:13 Dan orang-orang Yahudi yang lainpun turut berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh kemunafikan mereka.
2:14 Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak sesuai dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas di hadapan mereka semua: "Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?"

Di zaman para rasul, penginjilan dibagi atas dua wilayah besar. Pertama adalah kepada orang-orang Yahudi atau yang bersunat dan yang kedua adalah kepada orang-orang non-Yahudi atau yang tidak bersunat. Yakobus, Kefas dan Yohanes dan rasul-rasul yang lain adalah pemimpin bagi wilayah yang pertama (band. Galatia pasal 2:9) sedangkan Paulus dan Barnabas adalah bagi wilayah yang kedua.

Suatu kali, beberapa orang dari kalangan Yakobus datang ke Antiokhia. Mereka adalah orang-orang Yahudi yang datang dari Yerusalem untuk mengunjungi dan melihat jemaat non-Yahudi yang bertumbuh dengan sangat pesat dan bertambah besar jumlahnya di sana.

Di ayat 11 disebutkan bahwa Petrus sudah ada bersama-sama dengan saudara-saudara non-Yahudi di Antiokhia, sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus itu datang,. Ia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat itu di sana. Suatu pemandangan yang indah yang tidak biasa di zaman itu. Mengapa? Karena orang-orang Yahudi pada zaman itu menganggap haram makan semeja atau sehidangan dengan orang-orang non-Yahudi. Mereka bahkan tidak menginjakkan kaki atau masuk ke dalam rumah orang-orang non-Yahudi.

Tidak lama setelah itu, saudara-saudara orang Yahudi yang bersunat dari kalangan Yakobus itu pun datang dan tiba di lokasi tempat mereka berada. Kefas yang tadinya makan semeja dan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, mengundurkan diri dan menjauhi mereka. Ia berpindah tempat dan makan dengan saudara-saudara orang-orang Yahudi yang bersunat yang datang ke tempat itu. Bahkan, di ayat 13 disebutkan juga bahwa bukan saja Kefas yang melakukan hal seperti itu tetapi juga Barnabas.

Suasana mungkin berubah menjadi dingin dan kaku. Hubungan yang kurang harmonis dan kurang bersahabat di antara orang-orang Yahudi dan orang-orang non-Yahudi mulai terasa dan terngiang kembali di dalam pikiran dan benak mereka. Semua orang mungkin tidak yakin dengan apa yang mereka lakukan karena tradisi nenek moyang sudah sangat melekat erat di dalam diri mereka, yaitu bahwa orang-orang Yahudi adalah keturunan Abraham, bangsa pilihan Tuhan, sedangkan, orang-orang non-Yahudi adalah orang kafir, bangsa kelas dua, yang tidak layak masuk ke dalam Bait Allah, tetapi duduk di luar Bait Suci.

Tidak demikian halnya dengan rasul Paulus. Ketika melihat pemandangan itu, ia tidak dapat tahan dan berdiam diri melainkan ia berterus terang menegur Petrus di depan orang banyak. Ia mengatakan bahwa Petrus salah.

Petrus mungkin mempunyai alasan mengapa ia melakukannya tetapi ia tidak reaktif dan melawan Paulus. Ia dapat menerima teguran Paulus meskipun Paulus adalah murid Kristus yang lebih muda darinya. Sesuatu yang bagi pandangan dunia merupakan ancaman terhadap jabatan atau posisi kepemimpinan. Orang-orang di dalam posisi seperti Petrus mungkin akan mengatakan:”Paulus, kalau kamu mau menegur atau mengoreksi saya, silahkan. Tetapi, tolong jangan di depan orang banyak. Tolong perhatikan dan jaga posisi dan kedudukan saya di depan mereka. Saya adalah seorang dari pemimpin tertinggi jemaat pertama di Yerusalem. Saya yang berkhotbah di hari Pentakosta sehingga 3000 orang dibaptis. Jika kamu menegur saya seperti ini, apa kata dunia?”

Tetapi, Petrus tidak demikian. Ia tidak bersikap seolah-olah ia lebih tinggi atau lebih besar posisinya dibandingkan Paulus. Seperti banyak orang di dalam organisasi pada umumnya, ia dapat saja mengatakan:”Paulus, saya lebih dulu menjadi murid Kristus daripada kamu. Kamu mengerti?.” atau “Paulus, kamu baru saja menjadi murid Kristus. Ingat itu!”

Petrus tidak mengatakan semua itu. Tidak ada indikasi konflik atau perang yang berkepanjangan antara Paulus dan Petrus setelah peristiwa tersebut. Di dalam suratnya yang kedua pasal 2 ayat 3, Petrus bahkan menyebut Paulus sebagai “saudara yang kekasih”.

Kejadian atau peristiwa semacam ini mungkin saja dapat menjadi momen perpecahan bagi pemimpin-pemimpin di dunia termasuk Paulus dan Petrus. Tetapi, apakah yang terjadi selanjutnya? Saya secara pribadi bukan saja dapat melihat kekuatan Paulus melalui peristiwa ini tetapi juga kekuatan Petrus. Memang, Petrus melakukan kesalahan karena menjauhkan diri dari saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi, sikap atau respon Petrus setelahnya menunjukkan kekuatan rohani dan pribadinya.

Apakah yang dapat kita pelajari dari rasul Paulus dan Petrus? Yang pertama adalah personal holiness atau kekudusan pribadi. Mazmur 119 ayat 104 mengatakan:”Aku beroleh pengertian dari titah-titahMu, itulah sebabnya aku benci segala jalan dusta.” Salah satu konsekuensi dari mengenal kebenaran Tuhan adalah benci segala jalan dusta. Semakin kudus pribadi seseorang, maka semakin tidak suka ia terhadap dosa. Seseorang tidak dapat menyukai keduanya kekudusan dan dosa. Ia tidak dapat menyukai keduanya sekaligus kebenaran firman Tuhan dan ajaran yang sesat.

1 Petrus pasal 1 ayat 22 mengatakan bahwa ketaatan kepada kebenaran adalah menyucikan diri. Artinya, keduanya berjalan searah sejalan, tidak bertolak belakang. Orang yang taat kepada kebenaran pada saat yang sama melakukan tindakan menyucikan diri. Yakobus pasal 1 ayat 21 pun mengatakan hal yang serupa:”…buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.” Seseorang tidak dapat menerima firman tetapi tetap menyimpan segala sesuatu yang kotor dan kejahatan di dalam dirinya. Dengan kata lain, menerima firman berarti membuang segala yang kotor atau yang jahat dari dalam diri kita.

Itulah sebabnya mengapa Paulus menegur Petrus. Kebenaran di dalam dirinya tidak dapat menerima ketidakbenaran yang ada di dalam diri Petrus. Tidak heran, mengapa ia menegur Petrus bahkan di depan saudara-saudara non-Yahudi di Antiokhia dan saudara-saudara bangsa Yahudi dari Yerusalem. Dan menurut saya, pada kasus tertentu, menegur seorang rasul dengan cara seperti ini adalah sangat efektif bukan sebaliknya. Paulus di dalam suratnya kepada Timotius yang pertama pasal 5 ayat 20 juga mengatakan hal yang serupa bahwa seorang penatua yang berbuat dosa hendaklah ditegor di depan semua orang.

Jadi, sekali lagi, pengenalan terhadap kebenaran firman Tuhan menghasilkan personal holiness yaitu kekudusan pribadi di dalam diri orang yang mengenalnya.

Pelajaran yang kedua adalah bahwa pengenalan terhadap kebenaran firman Tuhan menghasilkan sikap yang benar dan saleh. Salah satu dari sikap yang benar dan saleh itu adalah kerendahan hati. Petrus mengalami transformasi hidup dari seorang yang sombong menjadi rendah hati. Dulu, ketika masih bersama-sama dengan Yesus, ia dan rasul-rasul yang lain sering bersaing dan mempersoalkan siapakah yang terbesar dari antara mereka. Tetapi tidak demikian setelah itu. Ketika ia ditegur oleh Paulus, ia tidak menanggapinya sebagai suatu ancaman terhadap posisi atau jabatannya sebagai rasul yang terpandang dan ternama di Yerusalem. Petrus tidak bersikap sombong, reaktif dan defensif terhadap teguran Paulus. Ia menerimanya dengan rendah hati.

Di dalam organisasi pada umumnya di dunia, peristiwa semacam ini biasanya dapat menjadi awal dari perpecahan. Para pemimpin dapat terlibat di dalam konflik yang berkepanjangan, mengatur strategi, saling bertahan dan saling menyerang.

Tetapi, pengenalan akan firman Tuhan menghasilkan sikap yang benar dan saleh. Yang pertama adalah kerendahan hati dan yang kedua adalah unity yaitu sikap yang menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan.

Perpecahan sangat mungkin bahkan seringkali terjadi di dalam dunia. Sebaliknya, persatuan dan kesatuan merupakan hal yang sangat sukar bagi dunia. Tetapi, semestinya tidak demikian halnya di dalam Kerajaan Tuhan, di dalam jemaat, dan di antara orang-orang Kristen. Perpecahan semestinya sangat tidak mungkin bahkan sangat sukar terjadi di dalam jemaat. Mengapa? Karena Yesus telah memberikan perintah baru yaitu agar murid-muridNya saling mengasihi sama seperti Dia mengasihi mereka (band. Yoh 13:34-35).

Paulus di dalam suratnya kepada jemaat Korintus mengindikasikan adanya keduniawian di dalam jemaat dari sikap yang tidak bersatu. Dunia memang identik dengan perpecahan. Dimulai dari institusi terkecil yaitu pernikahan, keluarga, jemaat, pemerintah atau negara. Dan Iblis sangat mengerti akan hal itu. Ia menyusun strateginya, merusak, dan menghancurkan manusia dengan cara merusak institusi-insitusi tadi.

Anda mungkin mencoba berargumentasi dengan menyebut nama Barnabas sebagai seseorang yang pernah berselisih paham dengan Paulus. Alkitab memang tidak mencatat kisah selanjutnya mengenai hubungan di antara keduanya. Tetapi, Yohanes atau yang disebut juga Markus yang menjadi isu permasalahan mereka pada waktu itu telah memenuhi panggilan Paulus untuk kembali bergabung bersama-sama dengannya. Ia kembali membantu, mendukung pelayanan dan pemberitaan Injil bahkan menjadi salah seorang penulis Injil di Perjanjian Baru.



Copyright © 2009 by Naek @ NEVER MISSING QUIET TIME
http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Jumat, 18 September 2009

Khotbah Ekspositori (Bagian 2)

Tidak lama setelah saya mem-post kan artikel yang pertama dari topik ini, seorang pembaca langsung mengajukan pertanyaan: Apakah yang dimaksud dengan khotbah ekspositori? Apakah contohnya? Itulah alasannya mengapa saya melanjutkan pembahasan topik ini ke bagian yang kedua. Saya berpikir ke depan bahwa artikel ini akan cukup panjang sehingga membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut teristimewa bagi mereka yang belum familiar dengan khotbah ekspositori.

Di bagian yang pertama saya telah menyatakan secara gamblang dan umum bahwa khotbah ekspositori adalah khotbah yang mengekspos, memaparkan dan menjelaskan apa yang tertulis di dalam Alkitab, apa adanya.

Haddon. W. Robinson penulis Cara Berkhotbah yang Baik (Penerbit ANDI), mendefenisikan bahwa Khotbah Ekspositori merupakan komunikasi atas suatu konsep alkitabiah, yang diperoleh dan disampaikan melalui studi: historis gramatikal kesusastraan atas suatu nukilan Alkitab sesuai dengan konteksnya, yang pertama-tama diterapkan oleh Roh Kudus kepada pribadi dan pengalaman pengkhotbahnya, baru kepada para pendengarnya.

Richard Mayhue dalam buku Rediscovering Expository Preaching hlm.11 - Dallas: Word, 1992 menyebutkan bahwa Khotbah Ekspositori adalah menjelaskan Alkitab dengan menjabarkan teks kepada pandangan khalayak supaya dapat menyatakan artinya, menjelaskan apa yang sulit dipahami, dan membuat aplikasi yang pas.

Lebih jelas lagi, inilah yang saya lakukan ketika saya menyampaikan khotbah ekspositori. Yang pertama, saya membaca ayat, perikop atau pasal dari Alkitab. Kemudian saya menjelaskan ayat, perikop atau pasal yang saya baca sebagaimana yang semestinya atau seharusnya dimaksudkan. Latar belakang bahasa, kultur, budaya, historis, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan apa yang telah saya baca tentu diperlukan, khususnya, terhadap teks yang relatif sukar dimengerti atau dipahami. Di samping itu, saya juga memastikan bahwa penjelasan saya juga singkron dan didukung oleh ayat atau tulisan-tulisan yang lain di dalam Alkitab. Selanjutnya, saya akan mengkomunikasikan implikasi yang ada yang saya temukan dari apa yang telah saya jelaskan dan paparkan. Setelah itu barulah saya akan mengkomunikasikan apa yang penting, yang harus atau yang berguna untuk diterapkan atau diaplikasikan ke dalam hidup sehari-hari. Mudah-mudahan, Anda sudah semakin jelas sampai di sini.

Ada terdapat empat dasar keyakinan yang penting yang dimiliki oleh seorang ekspositor sejati. Yang pertama adalah bahwa firman Tuhanlah yang bekerja di dalam diri orang yang percaya dan yang terbuka hatinya. Alkitab sangat konsisten mengatakan hal ini. Baca dan perhatikanlah kutipan tulisan-tulisan Alkitab berikut ini:

I Tesalonika 2 ayat 13: ”Dan karena itulah kami tidak putus-putusnya mengucap syukur juga kepada Allah, sebab kamu telah menerima firman Allah yang kami beritakan itu, bukan sebagai perkataan manusia, tetapi -- dan memang sungguh-sungguh demikian -- sebagai firman Allah, yang bekerja juga di dalam kamu yang percaya.”

Yesaya 55 ayat 11: ”demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya”

Kisah Para Rasul 16 ayat 14 memberi gambaran tentang bagaimana firman diterima dan bekerja di dalam diri orang yang terbuka hatinya. Di sana disebutkan bahwa seorang dari perempuan-perempuan itu yang bernama Lidia turut mendengarkan. Ia seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, yang beribadah kepada Allah. Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus.

Ketika kita sadar dan mengerti bahwa firman Tuhan-lah yang bekerja di dalam diri orang yang terbuka hatinya, maka kita tidak akan takut atau kuatir di dalam pelayanan dan penginjilan kita. Tidak sedikit orang Kristen yang sibuk tidak karuan dan tidak menentu di dalam penginjilan atau pelayanan mereka karena tidak tahu atau tidak sadar akan hal ini yaitu bahwa firman Tuhan-lah yang bekerja di dalam diri orang-orang yang terbuka hatinya. Kita hanyalah alat atau media untuk menyampaikannya. Oleh karena itu, sampaikanlah firman Tuhan sebenar-benarnya, semurni-murninya, dan sesungguh-sungguhnya. Alhasil, jika keadaan tampak kurang sesuai ekspektasi kita, kita tidak menjadi frustrasi, sebaliknya, bersandar dan berserah kepada Tuhan. Dan jika kita berhasil, kita tidak akan sombong, membanggakan diri apalagi memuliakan diri kita, melainkan Tuhan dan firmanNya.

Yang kedua adalah bahwa firman Tuhan adalah nutrisi satu-satunya yang dibutuhkan oleh orang Kristen bagi kehidupan dan pertumbuhan rohaninya. 1 Petrus 2 ayat 2 mengatakan: ”Dan jadilah sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani, supaya olehnya kamu bertumbuh dan beroleh keselamatan.” Artinya, jika kita mengkonsumsi nutrisi rohani yang tepat dan benar maka kita akan sehat dan bertumbuh secara rohani. Jika tidak, maka kita akan mengalami kekurangan gizi rohani atau mengalami gangguan kesehatan rohani, bahkan tidak menutup kemungkinan kita menderita keracunan makanan. Seperti halnya secara jasmani atau fisik, jika kita mengkonsumsi sampah, makanan yang mengandung racun, kuman, atau bibit penyakit, kita akan menderita penyakit seperti kanker, kolesterol, diabetes, tekanan darah tinggi, serangan jantung, gangguan fungsi ginjal, dan lain sebagainya. Timbul pertanyaan bagi kita, nutrisi rohani apakah yang kita konsumsi selama ini? Apakah itu nutrisi yang tepat, yang benar, yang sehat, yang bergizi, yang berasal dari Tuhan atau yang lain, yang bukan berasal dari Tuhan?

Yang ketiga adalah bahwa seorang ekspositor sejati hanya akan menyampaikan firman Tuhan saja. Ini sangat berkaitan dengan yang kedua. Rasul Paulus mengatakan di dalam suratnya 1 Korintus pasal 2 ayat 2:”Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan.” Di ayat selanjutnya yaitu 22 sampai 24, Paulus memperjelas maksudnya dengan menyatakan: ”orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah.” Sekali lagi, seorang ekspositor sejati hanya akan menyampaikan firman Tuhan saja.

Yang keempat adalah bahwa Tuhanlah yang empunya jemaat bukan kita. Lebih daripada itu, Dialah yang akan membangun jemaatNya bukan kita (band. Matius 16:18). Kita hanyalah orang-orang yang mendapat anugerah yang luar biasa sebagai hamba, pekerja, pelayan, mitra dan sahabat Dia. Itu artinya bahwa kita semestinya sadar bahwa kita tidak boleh atau tidak patut memimpin jemaatNya dengan semau kita, sesuka hati kita. Semestinya, jangan kita menggembalakan jemaatNya dengan cara-cara kita sendiri, dengan pikiran kita, keinginan kita, dan kepentingan-kepentingan kita yang duniawi, yang berdosa, yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Kita semestinya tidak mengajar jemaatNya hal-hal yang bukan firmanNya, yang tidak Alkitabiah, atau yang tidak berasal daripadaNya. Hal ini juga dapat berarti kedamaian, ketentraman, dan ketenangan bagi mereka yang bekerja, memimpin atau melayani jemaat. Mereka akan terhindar dari stress, depresi, tekanan mental, atau pun beban psikis yang tidak semestinya mereka tanggung. Mengapa? Karena, sekali lagi, Tuhanlah yang empunya jemaat dan Dialah yang akan membangunNya, bukan kita, apalagi kita seorang diri.



Copyright © 2009 by Naek @ NEVER MISSING QUIET TIME
http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Selasa, 15 September 2009

Khotbah Ekspositori (Bagian 1)

Khotbah ekspositori, menurut saya, adalah khotbah yang paling efektif. Jangan buru-buru mengatakan tidak dan menentang saya. Percayalah bahwa saya tidak sedang mengupayakan kepentingan pribadi ketika menyatakan hal ini. Secara jujur dan berterus terang saya mengatakan bahwa jenis khotbah ini yaitu khotbah ekspositori adalah khotbah yang paling sederhana, klasik, dan mungkin dianggap ketinggalan zaman atau kurang trendy di era kontemporer seperti sekarang ini. Kesaksian-kesaksian, ilustrasi-ilustrasi yang menarik yang dikemas dengan media, audio-visual yang atraktif, mempesona dan mengagumkan, tampaknya menjadi preferensi yang lebih disukai di masa kini. Tentu saja, tidak ada yang salah dengan cara atau metode tersebut. Pembahasan kita adalah tentang apa yang efektif, yang mana yang kurang efektif dan yang mana yang tidak efektif.

Khotbah ekspositori adalah khotbah yang mengekspos, memaparkan dan menjelaskan apa yang tertulis di dalam Alkitab, apa adanya. Ia hampir-hampir tidak dipengaruhi atau menyertakan hal-hal lain atau sumber-sumber yang lain yang ada di luarnya kecuali yang memang sangat erat kaitannya dengan Alkitab yaitu teks, bahasa, budaya, geografi, dan lain sebagainya.

1 Timotius 4 ayat 13 menggambarkan ini dengan sangat jelas. Paulus berkata kepada Timotius:”…bertekunlah dalam membaca Kitab-kitab Suci, dalam membangun dan dalam mengajar.” Artinya, upaya membangun dan mengajar jemaat di masa itu dilakukan dengan cara membaca kitab-kitab suci. Contoh atau bukti yang lain adalah tentang surat-surat Paulus. Penginjil atau penatua gereja membacakannya kepada jemaat, di hadapan jemaat, menyalinnya lalu mengirimkan surat tersebut kepada jemaat yang lain demikian selanjutnya dan seterusnya (band. Kolose 4:16).

Saya pernah menyampaikan hal ini kepada kelompok kecil saya di Bekasi. Saya mengatakan:”Jika kalian pada satu kesempatan diminta, terpilih, atau dijadwalkan untuk berkhotbah atau menyampaikan firman Tuhan dan kalian tidak tahu atau mungkin tidak siap menyampaikan sesuatu apapun, pilihlah salah satu dari surat-surat rasul yang panjangnya 5 sampai 6 pasal, kemudian bacalah dengan penuh semangat, dan akhiri dengan doa.” Anda mungkin tidak biasa mendengar hal ini dan mengira saya sedikit aneh. Tetapi, menurut saya itu jauh lebih baik, jauh lebih efektif dan lebih berguna daripada mengajarkan sesuatu yang bukan firman Tuhan, yang tidak alkitabiah bahkan mungkin yang duniawi. Bukankah demikian juga cara yang dilakukan oleh jemaat-jemaat di abad pertama?

Saya tidak sedang mengatakan bahwa cara yang lain adalah salah atau tidak diperbolehkan. Tetapi, spontan, ketika saya menyampaikan hal tersebut, saya melihat mata yang berseri-seri, dan senyum yang gembira di wajah orang-orang yang berada di kelompok kecil tersebut. Mengapa? Karena mungkin, berkhotbah, mengajar atau berbicara di depan umum bukanlah hal yang mudah bagi sebagian orang, bahkan, sebagian besar orang. Sehingga, tidak jarang pula, kesempatan untuk berkhotbah atau menyampaikan firman Tuhan merupakan momok bagi orang-orang tertentu atau justru dapat juga menjadi bergeser atau menyimpang dari tujuan sejatinya. Orang-orang yang berkhotbah juga sangat mungkin tergoda untuk menyampaikan opini pribadi, keinginan atau kepentingan pribadinya sendiri.

Sekarang, yang penting adalah bagaimana kita mengantisipasi hal-hal semacam itu. Saya akan menjelaskan kepada Anda sedikit latar belakang dan alasan mengapa saya mengatakan bahwa khotbah eskpositori adalah khotbah yang sangat efektif. Pertama-tama, mari perhatikan proses penciptaan manusia oleh Tuhan di kitab Kejadian. Tuhan memberikan hidup dengan cara menghembuskan nafas kepada manusia. Itu merupakan satu perbedaan yang sangat jelas antara manusia dan ciptaan-ciptaan Tuhan yang lainnya yaitu yang diciptakan di hari pertama sampai dengan hari kelima. Semuanya diciptakan Tuhan dengan hanya berfirman kecuali manusia, mereka diciptakan Tuhan dengan pertama-tama membentuknya dari debu tanah lalu kemudian menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya (band. Kejadian 2:7). Hal yang sama juga dilakukan Tuhan terhadap firmanNya. 2 Timotius 3:16 mengatakan bahwa Tuhan mengilhamkan firmanNya. Tetapi di dalam bahasa Yunani kata “mengilhamkan” tersebut diterjemahkan dari bahasa Yunani yaitu “theopneustos” yang artinya God breathed (Tuhan menafaskan).

Dengan kata lain, Tuhan memberikan hidup kepada manusia dengan menghembuskan nafas, demikian juga ketika ia memberikan firmanNya kepada manusia yang berdosa supaya mereka dapat memeroleh hidup baru. Bukankah Yesus juga mengatakan bahwa manusia hidup dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah bukan dari roti saja? Hidup yang dimaksud oleh Yesus adalah hidup yang seutuhnya dan sepenuhnya bukan jasmani saja. Jadi, ada tiga kata kunci yang terdapat di sana yaitu hidup, nafas yaitu yang keluar dari mulut Allah, dan firman. Semuanya saling berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan, satu dengan yang lain.

Alkitab sepertinya tidak meladeni setiap permintaan logika manusia. Lagipula, logika semata sesungguhnya hanyalah salah satu komponen di dalam pengenalan antar manusia demikian juga terhadap Tuhan. Saya tidak dapat mengenal seseorang dengan baik, dekat dan jelas hanya dengan logika saya semata. Tetapi akan sangat efektif dan tepat sasaran jika pengenalan dan hubungan tersebut juga melibatkan hal-hal yang lain dari dalam diri saya termasuk perasaan, hati, jiwa, bahkan roh saya.

Itulah yang dilakukan Tuhan terhadap manusia. Ia tidak menawarkan pengenalan atau hubungan berdasarkan atas logika melainkan rohNya. 1 Korintus 2:12 mengatakan:”Kita tidak menerima roh dunia, tetapi roh yang berasal dari Allah, supaya kita tahu, apa yang dikaruniakan Allah kepada kita.” Ayat sebelumnya yaitu ayat 11 mengatakan:”Siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia? Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah.” Artinya, Roh Allah yang diam di dalam diri orang Kristen yang membuat orang Kristen dapat mengerti, mengenal Allah dan membina hubungan yang dekat dan akrab denganNya.

Apakah itu berarti bahwa kita yang telah mempunyai Roh Allah tidak perlu lagi membaca Alkitab? Tentu saja tidak. Justru kita harus membacanya karena Alkitab dihasilkan oleh Roh Allah (band. 2 Petrus 1:20-21). Dengan cara demikian, maka kita akan mengerti kehendak Tuhan, mengenalNya, berjalan bersama dengan Dia dan dipimpin olehNya. Kolose pasal 3 ayat 16 mengatakan:”Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu…” Jadi, bukan saja RohNya yang diam di dalam diri kita tetapi juga perkataanNya yaitu firmanNya.

Khotbah ekspositori adalah khotbah yang bebas dari upaya yang sia-sia. Resikonya menjadi salah juga sangat kecil atau minim. Sebaliknya, pengajaran-pengajaran diupayakan dengan logika-logika semata justru sangat melelahkan, beresiko tinggi menjadi salah, bahkan, saya yakin, itu sangat tidak efektif. Bukan karena saya benci logika atau saya adalah orang yang tidak logis atau gila. Tetapi, saya menyadari bahwa Alkitab adalah beyond logic. Ia ada di atas logika manusia. Bukankah Alkitab pun juga mengatakan demikian? Bahwa kita harus percaya atau mempunyai iman. Bahwa pengenalan terhadap Tuhan dimulai dengan takut kepadaNya dan percaya (iman) kepadaNya bukan logika. Iman adalah dasar dari segala sesuatu dan tanpa iman tidak mungkin kita berkenan di hadapan Allah. Dengan kata lain, tidak mungkin kita dapat mengerti Dia, mengenalNya dan mempunyai hubungan yang akrab denganNya tanpa iman. Sekali lagi, iman adalah dasar, modal awal yang harus kita miliki sebelumnya.

Kepercayaan atau iman itulah yang kemudian menghantarkan kita kepada bukti-bukti yang tidak terbantahkan dan tidak terkatakan sehingga kita sampai kepada kesimpulan yang menyatakan “Ya” kepada Tuhan dan kepada kebenaran firmanNya. Contohnya pernyataan dan prinsip-prinsip Alkitab tentang tentang perubahan karakter, temperamen atau kepribadian, tentang pembimbingan anak, tentang pernikahan, tentang hubungan antar manusia, tentang dosa, tentang kesehatan, tentang sains, tentang langit, bumi, air, dan lain-lain. Sangat tidak sedikit manusia yang mengalami kebenaran firman Tuhan ketika mereka percaya dan hidup di dalamNya.



(bersambung)



Copyright © 2009 by Naek @ NEVER MISSING QUIET TIME
http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Sabtu, 12 September 2009

Mendefinisikan Kembali Arti Gereja (Bagian 2)

Di bagian pertama, kita sudah membahas tiga dari enam komponen dasar dan penting dari definisi gereja. Yang pertama, bahwa gereja adalah orang-orang yang dipanggil oleh Tuhan. Yang kedua, bahwa gereja adalah orang-orang yang dipanggil atas dasar firman Tuhan dengan perantaraan murid-murid-Nya, bukan atas dasar hikmat manusia, bukan cara-cara atau metode-metode manusia, atau apa saja yang lain dari itu. Yang ketiga, bahwa gereja adalah orang-orang yang dipanggil dari dosa, dari dunia, dan dari kegelapan. Dengan kata lain, gereja terdiri dari orang-orang yang bertobat, yang meninggalkan dosa, yang lahir baru atau hidup baru.

Sekarang kita lanjutkan ke komponen berikutnya yaitu yang ke-empat bahwa gereja dipanggil kepada hubungan pribadi yang harmonis dan akrab dengan Tuhan. Menjadi anggota gereja bukanlah tanpa tujuan. Salah satunya tujuannya adalah menjadi harmonis dan akrab dengan Tuhan. Mengapa? Karena setelah manusia jatuh ke dalam dosa, mereka terpisah dengan-Nya.

Tuhan telah menyatakan diri-Nya melalui alam semesta, langit bumi dan segala isinya. Ia juga telah menyatakan diri-Nya melalui firman-Nya, melalui nabi-nabi, rasul-rasul, dan melalui Anak Tunggal Allah, Yesus Kristus, Firman Allah yang Hidup (band. Ibrani 1:1-2; Yoh 1:1;14). Sekarang tinggal kita, apakah kita mau membina hubungan pribadi yang harmonis dan akrab dengan Dia? Jika tidak, maka sia-sia sajalah penyataan-penyataan tersebut di dalam hidup kita.

Sesungguhnya penyataan-penyataan Tuhan merupakan kesempatan terbesar dan terbaik di dalam hidup kita. Mengapa? Karena tanpa Ia menyatakan diri-Nya maka manusia tidak akan pernah dapat mengenal-Nya apalagi dekat dan akrab dengan Dia. Sia-sia saja segala upaya yang dilakukan manusia untuk dapat mengenal Tuhan, untuk dapat dekat dan akrab dengan-Nya, jika Ia tidak pernah menyatakan diri-Nya kepada manusia. Hal ini sangat penting di dalam menentukan pilihan agama atau kepercayaan: apakah seseorang percaya kepada penyataan-penyataan Tuhan atau memilih cara atau upaya sendiri? Atau tidak keduanya, tidak sama sekali.

Tanpa Alkitab, orang-orang Kristen tidak akan pernah tahu apa atau permasalahan apa yang sesungguhnya terjadi di antara manusia dengan Tuhan. Tanpa Alkitab, orang-orang Kristen tidak akan pernah dapat mengenal Tuhan dengan lebih jelas dan lebih spesifik apalagi membina hubungan yang harmonis dan akrab dengan-Nya. Demikian pula jika orang Kristen bersikap setengah hati terhadapnya, memandangnya dengan sebelah mata, kurang memerhatikan, kurang menghargai dan kurang menghormatinya, maka secara otomatis, kekristenan orang tersebut pun akan menjadi setengah-setengah pula. Ia tidak menjadi seorang Kristen yang sejati yang mengerti firman-Nya secara utuh dan mengikut Dia secara utuh pula.

Komponen kelima adalah bahwa gereja adalah orang-orang yang dipanggil dengan yang lain. Gereja tidak terdiri dari satu orang saja tetapi lebih. Ada dua hal penting yang dikatakan Alkitab berkaitan dengan komponen ini. Yang pertama adalah tentang hubungan di antara mereka satu dengan yang lain dan yang kedua adalah tentang kapabilitas rohani dan kontibusi mereka masing-masing kepada gereja dan kepada satu dengan yang lain. Yesus memberikan perintah baru kepada murid-murid-Nya yaitu anggota-anggota gereja bahwa mereka harus saling mengasihi sama seperti Ia telah mengasihi mereka. Perintah ini disebut sebagai perintah baru karena merupakan progres dari perintah yang lama yaitu kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Dari antara kedua perintah tersebut dapat kita temukan bahwa standar, kualitas, atau ekspektasi Tuhan di dalam perintah yang baru jauh lebih tinggi dan lebih besar dibandingkan dengan perintah yang lama. Jika Yesus rela mengorbankan nyawaNya bagi murid-muridNya, itu berarti bahwa kasih atau hubungan di antara murid-muridNya bukanlah kasih atau hubungan yang biasa. Ia jauh melebihi hubungan darah, sanak-family ataupun hubungan kekerabatan.

Standar, kualitas, atau ekpektasi hubungan di antara anggota jemaat merupakan hal yang baru di zaman Yesus dan para rasul. Hubungan atau kasih mereka sungguh tidak ada duanya di zaman itu. Sangat berbeda dengan agama atau kepercayaan yang lain di zaman mereka yang cenderung legalis, mistis, ritualis, dan satu arah.

Selain itu, setiap anggota gereja masing-masing dikaruniakan kapabilitas rohani yang berbeda-beda oleh Roh Kudus. Tetapi, kapabilitas tersebut bukan semata-mata diperuntukkan bagi setiap orang supaya mereka menjadi sombong atau egois, melainkan untuk kepentingan bersama (band. 1 Korintus 12:4-7). Contohnya orang yang cakap mengajar bukan semata-mata untuk kepentingan orang tersebut melainkan orang yang mendengar pengajaran yang disampaikan olehnya; orang yang mempunyai karunia melayani bukan untuk melayani diri sendiri melainkan jemaat, dan lain sebagainya. Dengan demikian, setiap anggota gereja tidak menjadi sombong, angkuh, egois, atau cenderung tidak bersatu bahkan ingin memisahkan diri dari gereja Tuhan. Atau, sebaliknya, dengan mengerti akan hal ini, maka setiap anggota gereja, semestinya jangan menjadi minder melainkan mau membagikan atau memberi kontribusi sesuai dengan kapabilitas yang telah dikaruniakan Roh Kudus kepada dirinya.

Hal ini sangat berbeda dengan pengertian saya dahulu yaitu sebelum saya mempelajari Alkitab dan menjadi murid Kristus. Saya sering mengungkapkan bahwa tujuan saya gereja hanyalah ingin bertemu dengan Tuhan, berdoa, dan mendengarkan firmanNya. Itu saja, bukan yang lain. Sekarang saya mengerti mengapa saya mengungkapkan hal tersebut. Anda mungkin sudah tahu jawabannya. Saya tidak mempunyai kasih dan hubungan yang dekat dan akrab dengan anggota-anggota gereja di sana waktu itu. Kami datang, kami bernyanyi, kami berdoa, kami mendengar firman dan kami pulang. Hampir tidak ada hubungan sama sekali. Saya tidak mengenal anggota-anggota gereja di sana kecuali orang-orang tertentu yang memang sudah saya kenal di luar gereja atau gedung gereja.

Komponen yang keenam adalah bahwa gereja adalah orang-orang yang dipanggil untuk misi Tuhan, untuk melayani dan memuliakan Dia. Gereja bukanlah tanpa misi. Sebaliknya misinya sangat jelas dan spesifik. Matius 28 ayat 19 sampai 20 mengatakan bahwa misi Tuhan adalah menjadikan semua bangsa menjadi muridNya dan membimbing mereka menjadi murid-murid yang bertumbuh dan dewasa di dalam Tuhan. Gereja yang tidak mempunyai misi Tuhan adalah gereja yang patut dipertanyakan. Ia mungkin bukan gereja atau gereja juga tetapi yang mempunyai rapor merah di dalam penilaian Tuhan, persis seperti gereja-gereja yang ditegurNya di kitab Wahyu.

Jadi, setelah menjabarkan enam komponen dari definisi gereja, maka dapatlah disimpulkan bahwa gereja adalah orang-orang yang dipanggil oleh Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang dipanggil keluar dari dosa berdasar atas firman Tuhan yang disampaikan atau diberitakan oleh murid-muridNya. Gereja adalah orang-orang yang dipanggil kepada hubungan pribadi yang dekat dan akrab dengan Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang saling mengasihi satu dengan yang lain, satu di dalam kasih Kristus dan satu di dalam Roh Kudus yang mengaruniakan tiap-tiap kapabilitas rohani untuk kepentingan bersama. Gereja adalah orang-orang yang dipanggil untuk memanggil yang hilang, menjadikan murid Yesus, membimbing, menuntun, mengarahkan, dan melayani sehingga dengan demikian mereka memuliakan Dia.



Copyright © 2009 by Naek @ NEVER MISSING QUIET TIME
http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Minggu, 06 September 2009

Mendefinisikan Kembali Arti Gereja (Bagian 1)

Gereja pasti mempunyai definisi yang asli, tetap, benar dan tepat. Mendefinisikan kembali arti gereja sesungguhnya adalah upaya memertahankan gereja dari kesalahmengertian, penyalahgunaan istilah, bahkan tipu muslihat terhadap orang-orang Kristen. Banyaknya organisasi, kelompok, atau kumpulan yang menamakan diri sebagai gereja mungkin menimbulkan tanda tanya bagi orang awam termasuk orang Kristen sendiri. Di zaman ini, tampaknya bukanlah hal yang sukar untuk mendirikan organisasi, kelompok atau kumpulan dan menamakannya sebagai gereja, meski mungkin doktrin atau ajarannya adalah gnostisme, new age, atau yang lain yang tidak alkitabiah. Sepanjang nama Yesus disebutkan, doa-doa dipanjatkan, dan lagu-lagu rohani dinyanyikan, orang-orang mungkin tidak tahu atau mungkin tidak mau tahu apakah itu adalah gereja atau bukan?

Jika demikian, apakah arti dari gereja itu? Apakah gereja semata-mata hanya merupakan tempat untuk berdoa, menyanyikan lagu rohani, menyebut nama Tuhan, dan mendengarkan khotbah? Apakah ia semata-mata hanyalah merupakan tempat untuk hidup bersosial? Apakah gereja hanyalah tempat yang wajib dikunjungi setiap minggu oleh orang-orang yang beragama Kristen? Apakah sebenarnya arti dari gereja itu?

Secara etimologi, kata “gereja” dipungut dari Bahasa Portugis yaitu igreja. Bahasa Portugis memungutnya dari Bahasa Latin yang memungutnya dari Bahasa Yunani ekklêsia yang berarti dipanggil keluar (ek=keluar; klesia dari kata kaleo=memanggil). Jadi ekklesia berarti kumpulan orang yang dipanggil ke luar (dari dosa, dari dunia, atau dari kegelapan).

Arti kata “gereja” tersebut cukup memberikan kita gambaran secara umum tentang kira-kira seperti apakah gereja itu. Ada tiga komponen dasar yang terdapat di sana. Yang pertama adalah bahwa ia terdiri dari kumpulan orang. Yang kedua adalah bahwa ia dipanggil oleh Tuhan, dan yang ketiga adalah bahwa ia merupakan hasil transformasi dari satu kualitas atau kondisi, dari gelap kepada terang, dari dosa kepada kebenaran,

Tetapi, lebih dari itu, Alkitab sesungguhnya sudah menyajikan informasi yang lengkap dan cukup tentang seperti apakah gereja yang sejati, sehingga atas dasar informasi tersebut, orang-orang Kristen di masa kini pun dapat membangun dan mempunyai gereja yang benar yang berkenan di hadapan Tuhan. Kitab Kisah Para Rasul menyajikan sejarah gereja dan model gereja yang pertama, yang asli dan yang sejati (band Kis 2:41-47). Surat 1 Tesalonika juga menyajikan informasi tentang model gereja yaitu jemaat Tesalonika. Sedangkan kontrasnya yaitu gereja yang korup, yang tidak rohani, yang penuh dosa dan pemasalahan dapat diperoleh melalui 1 dan 2 Korintus yaitu gereja Korintus. Surat 1 dan 2 Timotius, dan Titus adalah tentang kepemimpinan gereja, tentang penatua dan diaken, dan tentang ajaran sehat di dalam gereja. Demikian juga surat Efesus adalah doktrin tentang gereja.

Secara alkitabiah, menurut saya, ada terdapat 6 (enam) komponen dasar dan penting dari arti atau defenisi gereja. Yang pertama adalah panggilan Tuhan. Gereja adalah orang-orang yang dipanggil oleh Tuhan, atas kerja kuasa Tuhan, inisiatif Tuhan, dengan cara-cara Tuhan bukan manusia. Dengan kata lain, gereja bukanlah organisasi atau intitusi biasa. Ia bukan organisasi bisnis, bukan perusahaan, bukan politis, bukan pemerintahan, bukan sosial, bukan klub, atau bukan apapun yang dibangun atas dasar keinginan, kepentingan, dan hikmat manusia melainkan Tuhan.

Timbul pertanyaan, jika demikian, bagaimanakah cara Tuhan memanggil orang-orang masuk ke dalam gereja dan menjadi anggotanya? Jawabannya adalah dengan firman-Nya. Itu adalah komponen yang kedua dari arti atau defenisi gereja. Roma pasal 10 ayat 17 mengatakan:”…iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” di ayat 14 Roma pasal 10 mengatakan:”…Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya?” Dengan kata lain, Tuhan memanggil orang-orang masuk ke dalam gereja dan menjadi anggota gereja dengan firman Tuhan yang disampaikan, diajarkan atau dikhotbahkan oleh murid-murid-Nya (band. Mat 28:19-20).

Gereja tidak dibangun di atas dasar hikmat manusia tetapi di atas dasar Alkitab melalui orang-orang yang Alkitabiah. Hal ini jelas tergambar di kitab Kisah Para Rasul. Petrus memanggil 3000 orang dengan berkhotbah dari kitab Yoel. Tuhan juga memanggil sida-sida dari Ethiopia melalui Filipus yang mengajar dan menjelaskan firman Tuhan yaitu kitab Yesaya. Demikian juga, Kornelius dipanggil Tuhan melalui Petrus, dan Saulus yang dipertemukan dengan Ananias. Di Kisah Para Rasul pasal 2 ayat 39, jelas disebutkan bahwa Tuhan memanggil mereka, juga orang-orang lain termasuk keturunan mereka di masa mendatang. Jadi, dapat kita temukan bahwa selalu ada terdapat dua unsur ketika Tuhan memanggil seseorang menjadi anggota gereja-Nya yaitu firman-Nya dan murid-murid-Nya yang mengajarkan atau yang menjelaskan.

Satu hal yang penting tentang menyampaikan, mengajar, atau mengkhotbahkan firman Tuhan adalah bahwa Tuhan tidak akan merendahkan, melemahkan atau men-down-grade pesan firman-Nya demi menyesuaikannya terhadap orang-orang yang mendengar atau yang akan menerimanya, melainkan, mereka yang mendengarnya semestinya hormat, takut, dan gentar terhadap Dia. Persis seperti di zaman Nuh. Orang-orang di zaman itu menganggap konyol tentang air bah yang akan datang dan bahtera raksasa yang dibangun oleh Nuh. Tetapi, apa yang ditertawakan orang-orang di zaman itu, yang dianggap sebagai kekonyolan, sesungguhnya adalah hal yang real, yang nyata, yang pasti akan terjadi di dalam hidup mereka bahkan tidak lama setelah mereka mendengarnya. Anda tahu akhir kisah tersebut, tawaan dan olok-olok tersebut berubah menjadi jeritan, ketakutan, penyesalan, dan teriakan minta tolong. Sangat menyedihkan, bukan?

Rasul Paulus juga menyebutkan hal yang serupa di Perjanjian Baru yaitu tentang salib, yang adalah kebodohan bagi bangsa Yunani dan batu sandungan bagi bangsa Yahudi tetapi kekuatan bagi orang-orang yang percaya. Itu artinya bahwa orang-orang Kristen tidak perlu merasa kecil hati terhadap mereka yang menolak pemberitaan firman Tuhan. Mereka semestinya jangan sekali-kali mengorbankan kebenaran-Nya demi diterima oleh orang banyak.

Komponen yang ketiga adalah pertobatan. Gereja yang sejati adalah terdiri dari orang-orang yang bertobat, yang lahir baru atau hidup baru. Gereja adalah orang-orang yang dipanggil keluar dari dosa, dari dunia, dan dari kegelapan. Mereka adalah orang-orang yang meninggalkan dosa, yang hidup baru dan yang menanggalkan manusia lama. Ini mungkin salah satu komponen yang sangat menantang bahkan sukar diterima oleh gereja tertentu. Mengapa? Karena mungkin dengan mengikuti atau menerapkan komponen ini, maka akan timbul oposisi di dalam gereja, pengunduran diri, penurunan jumlah anggota, pengurangan kas, dan lain sebagainya. Hal serupa juga pernah terjadi di zaman Yesus, setelah Ia berkhotbah dengan tegas dan berterus terang, banyak murid-muridNya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia (band. Yoh 6:66). Ini menunjukkan bahwa Yesus lebih mementingkan pertobatan daripada jumlah anggota. Lagipula, apalah artinya jumlah anggota yang besar jika Tuhan tidak berkenan. Percuma saja, bukan?

Gereja yang sejati bukan terdiri dari sekadar fans, penggemar, tamu atau pengunjung. Orang-orang yang seperti itu sesungguhnya bukanlah anggota gereja. Alkitab malah menggambarkan orang-orang yang tidak mau bertobat tetapi tetap tinggal di dalam gereja adalah seperti lalang di antara gandum. Mereka dapat menimbulkan permasalahan, merusak bahkan menghancurkan gereja dan kekristenan. Sejarah mengungkapkan semua itu. Gereja bahkan pernah dipimpin oleh politisi yang korup, yang mencampur adukkan gereja dengan politik. Akibatnya, orang-orang Kristen tidak mendapatkan pengajaran Alkitab yang benar bahkan sangat amat jauh dari kebenaran firman. Bagaimana kita mengetahui hal tersebut? Terbukti, perang salib terjadi berulang kali, korban jiwa berjatuhan termasuk anak-anak, kebencian, kepahitan, dan konsekuensi demi konsekuensi hingga kini masih dapat terasa membekas dan memilukan hati.


(bersambung)



Copyright (c) 2009 by Naek @ NEVER MISSING QUIET TIME
http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Selasa, 01 September 2009