Minggu, 31 Mei 2009

PERNIKAHAN DAN PERCERAIAN

Bacaan: Mat 19:3-6

19:3 Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?"
19:4 Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?
19:5 Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
19:6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.

Terlepas dari banyaknya kasus atau pertanyaan orang tentang perceraian atau pernikahan kembali, ada terdapat 4 (empat) alasan yang diberikan oleh Yesus tentang mengapa seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya atau menikah lagi dengan wanita lain.

4 (empat) alasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sejak awal, Allah telah menciptakan satu orang pria yaitu Adam dan satu orang wanita yaitu Hawa. Tidak ada pilihan, tidak ada alternatif dan tidak ada cadangan.
2. Sepasang suami isteri mempunyai ikatan yang sangat kuat satu sama lain.
3. Sepasang suami isteri adalah satu daging.
4. Pernikahan adalah rancangan Tuhan, pekerjaan dan mujizat Tuhan. Terlepas dari apa agama atau keyakinan seseorang.

Ke-empat alasan tadi semestinya dapat dijadikan dasar atau alasan oleh sepasang suami isteri agar tidak bercerai atau menikah lagi. Apalagi jika konflik atau permasalahan yang dihadapi hanya seputar komunikasi yang kurang cocok atau hubungan yang kurang harmonis. Dengan kata-kata lain, ada 4 alasan yang lebih kuat untuk mempertahankan pernikahan lebih dari alasan-alasan untuk bercerai.

Memang, Yesus juga menyebutkan satu hal yang dapat dijadikan alasan untuk bercerai yaitu perzinahan. Namun, jika seorang suami tetap mau setia terhadap isteri yang jatuh ke dalam perzinahan, itu adalah pilihan yang mulia. Pilihan yang menunjukkan belas kasihan dan pengampunan yang sangat besar terhadap isteri yang berdosa. Pilihan yang sama seperti yang telah dilakukan Tuhan terhadap kita yang berdosa. Ia mengasihi, mengampuni, dan berbelas kasihan terhadap kita.

Berbeda halnya dengan apa yang terjadi di zaman Yesus, orang-orang Yahudi khususnya orang Farisi begitu mudah menceraikan isterinya. Mereka dapat menceraikan isterinya dengan alasan apa saja, setiap saat setiap waktu. Cukup dengan menerbitkan surat cerai, mereka pun dapat mengusir isteri mereka dari rumah. Entahkah dengan alasan yang sepele atau alasan yang dibuat-buat.

Jadi, situasi di zaman itu adalah situasi yang sangat merugikan bagi para wanita. Sebaliknya, situasi semacam itu melahirkan pria-pria pezinah, yang tidak setia dan tidak bertanggung jawab. Apalagi orang Farisi, mereka berpotensi menjadi petinggi-petinggi agama yang cabul dan munafik (band. Mat 23:14). Apa yang mereka tanyakan kepada Yesus sesungguhnya bukan untuk belajar atau berubah dari kebiasaan bercerai yang seringkali mereka lakukan. Melainkan, untuk mencobai Yesus sehingga terjebak ke dalam perangkap yang mereka siapkan.

Orang-orang Farisi sebenarnya ingin mengadu Yesus terhadap ketetapan para rabi Yahudi dan taurat Musa. Tetapi mereka tidak berhasil karena Yesus menjawab dengan dasar yang lebih kuat daripada Musa dan para rabi. Ia merujuk ke kitab Kejadian dan berkata kepada mereka: "Tidakkah engkau baca…" Betapa meyakinkannya jawaban Yesus tersebut. Di samping itu Ia pun mengejutkan orang-orang Farisi dengan menyadarkan bahwa jawaban atas pertanyaan yang memojokkan itu ternyata ada di halaman depan kitab Kejadian yaitu tentang Adam dan Hawa.

Perceraian atau pernikahan kembali yang terjadi saat ini sesungguhnya lebih bersifat masalah, konsekuensi atau akibat-akibat dari dosa-dosa manusia. Alkitab dengan jelas mengatakannya. Mari perhatikan kronologi tentang Adam dan Hawa berikut ini:
1. Hawa jatuh ke dalam dosa sebelum Adam.
2. Hawa mempengaruhi Adam sehingga jatuh ke dalam dosa. Hal ini menandakan adanya pergeseran siapa adalah pemimpin siapa.
3. Sejak jatuh ke dalam dosa, wanita mendapat kutukan. Selain merasakan sakit saat melahirkan, ia pun akan mempunyai keinginan untuk mengontrol atau memimpin (band. Kej 3:16).

Patut diakui bahwa pembahasan seputar cerai dan kawin lagi mempunyai kompleksitas yang super njelimet. Pernah satu kali saya terlibat diskusi yang kemudian berubah menjadi debat. Orang-orang yang terlibat diskusi kebetulan adalah orang-orang yang sedang mengalami masalah pernikahan yang serius. Di antara mereka ada yang sedang akan bercerai karena kekerasan dalam rumah tangga, ada yang sudah bercerai, ada pula yang berulang kali sudah bercerai. Ada yang akan menikah lagi, ada pula yang beristeri lima dan sedang galau dan kacau hidupnya.

Pada akhirnya, saya bertanya dalam hati, haruskah Tuhan menjawab kompleksitas yang super njelimet semacam ini? Haruskah Ia menyediakan setiap solusi terhadap hubungan kawin-cerai? Haruskah Ia menyediakan pilihan atau alternatif bagi setiap pasangan yang tidak dapat menerima nasihat? Atau, bukankah semestinya setiap pasangan pernikahan harus kembali kepada desain ideal dan original dari Allah yaitu satu pria, satu wanita, satu kesatuan, dan satu daging, keduanya tidak dapat terpisahkan. Jika Adam dan Hawa bercerai sejak dulu, bukankah taman Eden akan menjadi sangat sepi dan tentunya Alkitab akan berakhir di Kitab pertama saja, karena tidak ada keturunan manusia setelahnya.

Tujuan tulisan ini tidak sedang menawarkan solusi terhadap kompleksitas kawin cerai yang super njelimet, tetapi untuk menguatkan dan mengokohkan pernikahan-pernikahan yang ada, yang bahkan mungkin sedang berada di ambang perceraian.

Paulus di dalam suratnya kepada jemaat Korintus berpendapat bahwa setiap pria atau wanita sebaiknya tetap di dalam keadaannya semula. Pasangan suami isteri hendaknya tetap setia satu terhadap yang lain. Ia berpendapat, jika seorang bujangan termasuk duda atau janda, memungkinkan untuk tetap hidup sendiri tanpa pasangan, karena tekadnya yang ingin melayani Tuhan dan terbebas dari beban pernikahan dan keluarga, biarlah hendaknya demikian. Tetapi, jika seorang pria atau wanita memungkinkan untuk menikah, dan tidak tahan bertarak, hendaklah mereka menikah dan jangan kawin cerai lagi, sebaliknya keduanya semestinya menjadi pasangan yang bersatu padu melayani dan memuliakan Tuhan seperti halnya Priskila dan Akwila.


Copyright © 2009 by Naek http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Related Sermons (Get it FREE!):
Conflict Resolutions (Produced by BPH)
Ten Commandment on Marriages (Produced by BPH)
Jesus’ Teaching on Divorce (Produced by GTY)

Jumat, 29 Mei 2009

Kepada Pembaca dan Partner NMQT

Pembaca dan Partner NMQT yang terkasih,

Melalui surat ini, kami ingin menyapa Anda untuk berterima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan Anda selama ini kepada NMQT - baik secara moral, spiritual maupun finansial. Berkat Anda semua, maka NMQT dapat tetap terus setia melayani sejak satu tahun yang lalu hingga saat ini.

Dan kami bertekad untuk tetap terus setia menyampaikan firman-Nya karena kami menyadari betapa NMQT dapat bermanfaat bagi kerohanian dan juga menyemangati banyak orang. Sebagaimana tanggapan-tanggapan positif yang telah kami terima dari dalam maupun dari luar negeri. Baik secara lisan maupun secara tertulis.

Pembaca dan Partner NMQT yang terkasih
, kami menyakini bahwa firman Tuhan-lah yang telah menggugah Anda melalui NMQT bukan hal-hal lain yang ada di sana. Karena kami sendiri berupaya sedapat mungkin menyampaikan-Nya sesederhana dan sejelas mungkin. Sehingga, pesan firman Tuhan dapat disampaikan kepada siapa saja dengan sebenar-benarnya dan semurni-murninya.

Karena kami pun percaya bahwa firman Tuhan adalah yang utama, vital dan mutlak demi perubahan, pertobatan dan pertumbuhan kerohanian Kristen. Sedangkan yang lain selain itu hanyalah faktor pendukung atau faktor pelengkap saja.

Atas dasar tersebut, NMQT mempunyai visi dan komitmen jangka panjang yaitu untuk menyampaikan firman yang sebenar-benarnya, semurni-murninya, sejelas-jelasnya dan seluas-luasnya bagi kemuliaan Tuhan.

Oleh karena itu, melalui surat ini, kami ingin mengajak Anda untuk turut berpartisipasi mendukung pelayanan NMQT.

Ada 3 (tiga) cara yang dapat Anda lakukan untuk mendukung pelayanan ini. Cara-cara tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengirimkan tanggapan Anda terhadap NMQT ke letters.berean@gmail.com tentang apa yang Anda pelajari, yang membantu, menyemangati atau yang mengubahkan Anda secara pribadi.

2. Meng-informasi-kan kepada teman-teman, sahabat atau keluarga Anda tentang NMQT atau tentang pesan-pesan atau pelajaran-pelajaran nya yang ber-manfaat bagi Anda.

3. Men-support NMQT secara finansial melalui nomor rekening:
BCA 288 300 5031
a/ n Yayasan Gema Kristus Damai Indonesia.

Sebagai informasi bagi Anda, buku NMQT kini sedang dalam proses pengerjaan. Kami berharap dapat menyelesaikannya dalam waktu dekat dan menyusulnya dengan edisi-edisi selanjutnya kemudian secara kontinu di masa yang akan datang.

Pembaca dan Partner NMQT yang terkasih, percayalah, bahwa kami tidak bertujuan untuk meraup keuntungan materi sebesar-besarnya melalui pelayanan ini melainkan perluasan dan pelebaran jangkauan yang lebih jauh dan besar sehingga dapat menyampaikan pesan firman-Nya. Dan itu semua hanya demi kemuliaan-Nya semata-mata.

Demikian surat ini, atas perhatian dan kerjasamanya (sekali lagi) kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya.


Dari Saudara dan Partner Anda di dalam Kristus,



Naek






BERBAHAGIALAH YANG LEMAH LEMBUT (Bagian 2)

Seperti yang telah disimpulkan, lemah lembut adalah kekuatan yang terkontrol atau terkendali. Kualitas seperti ini juga digambarkan melalui hidup tokoh-tokoh Perjanjian Lama seperti Abraham, Yusuf, Daud, dan lain-lain. Abraham tidak marah dan tidak bersikap sok kuasa terhadap Lot, meskipun hal tersebut sepertinya wajar-wajar saja jika ia melakukannya. Ia dapat berkata kepada Lot: "Lot, saya yang membawa kamu ke tanah Kanaan, seharusnya kamu tahu diri. Tuhan yang membawa saya ke tempat ini, dan saya adalah orang pilihan-Nya. Sedangkan kamu, siapa? Kamu bukan siapa-siapa? Kamu mengerti?"

Nyatanya, Abraham tidak mengindikasikan kemarahan sedikit pun. Tidak ada nada suara yang sombong, angkuh atau sok kuasa, meskipun, mungkin Lot dapat mengerti jika ia bersikap demikian terhadapnya. Tetapi, apa yang ia katakan kepada Lot. Baca dan simaklah apa yang dikatakannya berikut ini:

Maka berkatalah Abram kepada Lot: "Janganlah kiranya ada perkelahian antara aku dan engkau, dan antara para gembalaku dan para gembalamu, sebab kita ini kerabat. Bukankah seluruh negeri ini terbuka untuk engkau? Baiklah pisahkan dirimu dari padaku; jika engkau ke kiri, maka aku ke kanan, jika engkau ke kanan, maka aku ke kiri. (Kej 13:8-9)

Dengan kata-kata lain, Abraham sesungguhnya punya banyak alasan atau dasar untuk marah terhadap Lot, tetapi, ia tidak melakukannya. Ia yang membawa Lot ke tanah Kanaan. Ia lah yang semestinya paling berhak atas tanah tersebut. Di samping itu, ia pun adalah pilihan Tuhan yang membawa nya ke sana. Tetapi, Abraham tidak marah, tidak sombong, dan tidak sok kuasa terhadap Lot. Ia mempunyai potensi, kekuatan dan otoritas yang terkontrol dan terkendali.

Demikian pula halnya dengan Yusuf, terhadap saudara-saudara nya yang kasar dan licik, yang telah menjualnya kepada pedagang budak, ia tidak membalas dendam. Ia justru bertanya tentang keadaan adiknya yaitu Benyamin. Dan bukan itu saja, ia juga menampung saudara-saudara nya yang jahat dan tidak mengasihi itu, tinggal di rumahnya. Padahal, ia punya banyak alasan untuk marah terhadap saudara-saudaranya tersebut. Mereka telah berbuat salah terhadapnya dan ia pun mempunyai power dan kesempatan untuk membalas dendam. Setidaknya memberi sedikit pelajaran sehingga mereka menderita dan akhirnya menyesal terhadap apa yang telah mereka lakukan. Tetapi, apakah ia melakukannya? Tidak.

Daud pun tidak berbeda dengan Abraham atau Yusuf. Walaupun ia telah diurapi menjadi raja menggantikan Saul, ia tidak serta merta menghabisi nyawa Saul. Padahal, ia punya alasan yang tampaknya sangat beralasan untuk membunuh raja pertama Israel tersebut. Pertama, Saul telah berulang kali berusaha membunuhnya. Kedua, ia telah dipilih Tuhan untuk menjadi raja melalui Samuel. Ketiga, Daud mempunyai kesempatan dan momen yang tepat untuk melakukannya di gua Adulam, yaitu saat Saul sedang sendiri dan membuang hajat di sana. Di tambah lagi, Daud juga ditemani teman-teman yang siap membantu dan mendukungnya. Tetapi, apakah Daud melakukannya? Tidak.

Alkitab berkata di Amsal 16:32: Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota. Artinya, orang yang sabar atau yang menguasai diri, dinilai mempunyai tingkat kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang hanya sekadar punya potensi kekuatan yang besar, tetapi tidak dapat menguasai diri atau mengendalikannya.

Kelemah lembutan bukan lah kelemahan melainkan kekuatan. Ia bukan suara pelan, rendah, sayup-sayup, yang hampir tak terdengar. Ia adalah kualitas rohani yang ada di dalam diri seseorang (band. 1 Pet 3:4).

Orang yang lemah lembut adalah orang yang dapat meredakan kegeraman (band. Amsal 15:1: Titus 3:2). Ia pun dapat menerima nasihat, koreksi atau teguran firman Tuhan dengan sangat efektif (band. Yak 1:21).

Kelemah lembutan adalah kualitas yang wajib dimiliki oleh setiap pemimpin Kristen. Mereka harus memimpin dengan lemah lembut sehingga dapat menuntun orang lain termasuk yang suka melawan, dan dapat memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan mengenal kebenaran (Gal 6:1; 2 Tim 2:25: 1 Pet 3:15).

Yesus, Paulus, Petrus dan rasul-rasul yang lain adalah pribadi yang lemah lembut (Zak 9:9, Mat 11:29, Mat 21:5, 2 Kor 4:21, 2 Kor 10:1). Anda dan saya pun semestinya juga demikian (band. Ef 4:2).



Referensi: Wikipedia; PASH Matius oleh DR. William Barclay - Penerbit BPK Gunung Mulia; Audio Sermon Grace to You - Happy are the Poor in Spirit by Mac Arthur, John; Audio Sermon Berean Publication House - Seri Khotbah di Bukit oleh Pdt. Harliem Salim

Copyright © 2009 by Naek http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Rabu, 27 Mei 2009

BERBAHAGIALAH YANG LEMAH LEMBUT

Kemarahan bukanlah hal yang asing bagi setiap orang. Banyak orang berpendapat bahwa kemarahan adalah hal yang wajar. Apalagi ketika disakiti atau dirugikan oleh orang lain. Kemarahan dapat terjadi kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja. Di jalan, saat orang menyalib kendaraan Anda dan mengagetkan Anda. Di rumah, saat Anda tengah mempersiapkan diri ke kantor, Anda tidak menemukan kunci mobil, sisir, atau kaos kaki di tempat yang biasa. Anda mencari ke sana kemari, tetapi Anda tidak menemukannya. Dalam pernikahan, Anda mungkin tidak mendapat respon seperti yang Anda inginkan. Anda mendapatkan sikap ketus atau bisu yang mengintimidasi. Kemarahan dapat dijelaskan melalui berbagai peristiwa dan keadaan. Oleh siapa saja dan kapan saja. Saya yakin, Anda mempunyai banyak cerita tentang kemarahan Anda atau kemarahan orang lain yang pernah Anda saksikan.

Patrick Morley, penulis buku MAN IN THE MIRROR mengkategorikan kemarahan dalam 3 (tiga) bentuk atau jenis. Pertama, kemarahan yang ditinjau dari frekwensi nya, sangat amat jarang terjadi, tetapi, ketika kemarahan itu terjadi, ia seperti ledakan bom yang eksplosif – besar, kuat dan tidak terkendali. Kedua, kemarahan yang ditinjau dari frekwensi nya sangat amat sering terjadi, tetapi, kekuatan atau intensitasnya relatif kecil. Banyak orang biasanya menyebutnya dengan istilah "cerewet". Kemarahan yang ketiga adalah kemarahan yang sangat amat jarang terjadi, karena ia tersimpan, tersembunyi dan terpendam sangat dalam di dalam diri seseorang. Kita biasanya menyebutnya jenis ini dengan istilah "dendam".

Timbul pertanyaan, salahkah jika seseorang marah, baik terhadap situasi atau terhadap orang lain? Bukankah kemarahan adalah hal yang wajar dan manusiawi? Atau sebaliknya, baik-kah atau benarkah jika seseorang tidak pernah marah? Dapatkah ia disebut sebagai orang yang normal atau manusiawi?

Alkitab berkata:"Berbahagialah orang yang lemah lembut karena mereka akan memiliki bumi (band. Mat 5:6)". Kata lemah lembut dalam bahasa Yunani disebut dengan "praus". Praus biasa digunakan untuk mengartikan atau menggambarkan tentang binatang liar yang telah menjadi jinak. Dengan kata lain, kata praus mengandung arti tentang potensi kekuatan yang terkendali atau terkontrol di dalam diri atau pribadi seseorang. Jadi, lemah lembut bukan berarti lemah, tidak berdaya, atau pengecut, melainkan kuat, handal dan tangguh tetapi penuh dengan penguasaan diri.

Sebagai contoh yang sempuna, perhatikanlah Yesus. Ia tidak kesal ketika orang-orang Farisi mengintimidasi-Nya dengan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan. Ia tidak marah atau mendendam ketika Ia hendak dibunuh bahkan ketika Ia disalib, Ia berkata Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Tetapi, apakah itu berarti bahwa Yesus tidak bisa marah? Tidak. Ingatkah Anda tentang peristiwa Bait Suci yang dibersihkan oleh Yesus? Apakah yang Yesus lakukan? Ia menjalin tali dan membuat cambuk. Ia membalikkan meja-meja, melepaskan hewan atau ternak yang diperjual belikan di Bait Suci. Ia mengusir dan membubarkan aktifitas pebisnis liar yang mengatasnamakan Tuhan dan korban persembahan.

Sebenarnya, apa yang sedang terjadi saat itu? TUHAN sedang direndahkan. Ia tidak dihormati tetapi disakiti dan dikecewakan. Dengan cara apa? Dengan cara menjual hewan korban dengan tarif yang tidak masuk akal termasuk kepada orang-orang yang miskin dan tidak sanggup membelinya. Orang yang hendak mempersembahkan korban dikenai tarif yang sangat amat mahal dan berlipat kali ganda. Belum lagi, tentang pendatang yang harus menukarkan uang untuk mempersembahkan korban. Mereka bukan mendapatkan kemudahan melainkan nilai tukar yang sangat menekan. Waktu itulah Yesus marah, tetapi selain itu tidak.

Anda mungkin telah mengerti sampai di sini. Yesus tidak marah ketika orang mengintimidasi-Nya, hendak membunuh-Nya, bahkan ketika orang menganiaya dan menyalibkan-Nya. Tetapi, Ia marah ketika imam-imam menjadi korup dan tidak menjadi perantara yang baik bagi umat-Nya. Ia marah ketika imam-imam mempersulit bahkan menghalang-halangi umat-Nya beribadah demi kepentingan dan keuntungan pribadi atau kelompok.

Jika Yesus saja tidak marah, mengapa sebagai pengikut-Nya kita seringkali tidak seperti Dia. Kita sering marah karena merasa kurang dihormati, kurang dihargai, kurang diperhatikan, kurang diperlakukan dengan baik, kurang dipedulikan, dan sebagainya. Kita sering marah karena hal-hal yang tidak sesuai harapan, karena hal-hal yang tidak memenuhi ekspektasi kita. Tetapi, pernahkah kita marah seperti Yesus, dengan alasan-alasan yang sama seperti Dia? Pernahkah kita marah karena hal yang kena-mengena terhadap TUHAN bukan karena diri sendiri, karena kepentingan TUHAN bukan karena ego, urusan, privasi atau kepentingan pribadi? Pernahkah? Jika tidak, di manakah kesamaan kita dengan Yesus? Apakah yang ada di dalam diri kita yang serupa dengan-Nya?

Kemarahan tidak membawa kebahagiaan. Ia membuat orang merasakan sesak di dada, tidak tenang dan susah tidur. Sebaliknya, orang-orang yang lemah lembut dan menguasai diri terbebas dari rasa sakit hati, kesal, dendam, atau tersinggung. Orang Kristen yang lemah lembut adalah orang yang jauh di dalam hati dan pikiran nya sadar dan mengerti bahwa ia hanyalah seorang yang berdosa. Sesungguhnya, ia tidak layak untuk dihormati, dihargai, diperlakukan dengan baik, adil, dipuji, disanjung, apalagi disembah. Melainkan, TUHAN saja. Ya, TUHAN saja yang layak, saya pun tidak.


Referensi: Wikipedia; PASH Matius oleh DR. William Barclay - Penerbit BPK Gunung Mulia; Audio Sermon Grace to You - Happy are the Poor in Spirit by Mac Arthur, John; Audio Sermon Berean Publication House - Seri Khotbah di Bukit oleh Pdt. Harliem Salim

Copyright © 2009 by Naek http://www.nevermissingqt.blogspot.com/


Senin, 25 Mei 2009

MANUSKRIP ALKITAB

Kekristenan tidak terpisahkan dari kegiatan “baca-tulis”. Sejak Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru. Di Kitab Ulangan pasal 6, disebutkan bahwa Tuhan memberikan perintah kepada orang tua khususnya ayah untuk menyampaikan firman Tuhan kepada anak-anaknya. Ia harus membacakan dan menuliskannya di setiap tempat, setiap keadaan dan setiap waktu.

Tuhan sendiri menunjukkan perhatian yang besar terhadap “baca-tulis”. Ia menuliskan ulang 10 perintah yang sama pada 2 (dua) loh batu yang pernah dipecahkan oleh Musa (band. Kej 34:1). Hal serupa pernah terjadi ketika raja memusnahkan firman Tuhan yang ditulis oleh Yeremia dan Barukh. Tuhan menyuruh Yeremia menuliskannya kembali sama persis seperti semula bahkan ditambah dengan penekanan terhadap pesan yang semula dituliskan.

Yesus pun demikian. Ia selalu merujuk kepada Kitab Suci. Ketika dicobai oleh Iblis di padang gurun, Ia mengutip ayat-ayat Kitab Suci dengan menyebutkan “ada tertulis…”. Di jalan menuju Emaus, Yesus menjelaskan Kitab Suci secara komprehensif, detil, rinci, dan sistematis kepada murid-murid-Nya (band. Luk 24:27,32). Di Bait Suci, Ia membaca Kitab Yesaya dan menjelaskannya. Di Kitab Kisah Para Rasul, ia menjelaskan tentang Kerajaan Allah yang tentunya juga merujuk atau mengacu kepada ayat-ayat Kitab Suci. Ia juga mengucapkan ungkapan-ungkapan seperti “tidak kah kamu baca…” yang menandakan bahwa ia membaca Kitab Suci dengan intensif dan konsisten.

Murid-murid Yesus adalah bukti intensitas Yesus terhadap “baca-tulis”. Petrus yang dulunya adalah seorang nelayan mampu berkhotbah dengan mengutip ayat-ayat dari Kitab Yoel. Rasul-rasul yang lain pun demikian, dapat mengajar dan menjelaskan nubuat-nubuat dan ayat-ayat dari Perjanjian Lama.

Jadi, sangat jelas bahwa kegiatan “baca-tulis” adalah bersumber atau berasal dari Tuhan. Itulah cara Dia menjaga atau melindungi pesan yang Ia sampaikan kepada manusia. Suatu cara yang memungkinkan pesan-Nya tetap sustain hingga saat ini.

Secara historis, kita dapat ketahui bagaimana kegiatan “baca-tulis” kitab-kitab PB berlangsung. Dimulai dari rasul-rasul yang menuliskan surat-surat kepada Jemaat atau orang-orang Kristen. Kemudian, surat-surat tersebut dibacakan dari jemaat yang satu ke jemaat yang lain. Tetapi, sebelum mengirimkannya ke jemaat yang lain, surat-surat tersebut disalin ulang sama persis seperti aslinya, lalu di-forward ke jemaat-jemaat lain yang belum membacanya. Inilah sebabnya mengapa surat-surat tersebut masih tetap bertahan hingga saat ini bahkan jumlahnya pun bukan satu tetapi rangkap. Salinan surat-surat semacam inilah yang kemudian disebut dengan istilah Codex. Sebagai gambarannya di zaman ini, codex adalah sama seperti dokumen hasil photo copy terhadap dokumen asli yang berlipat ganda jumlahnya.

Hal serupa dilakukan oleh orang-orang Esene yaitu menyalin tulisan-tulisan Kitab Suci yang kita kenal sebagai naskah Dead Sea Scroll. Naskah-naskah tersebut tersimpan rapi dan utuh di dalam perpustakaan mereka sehingga kita pun dapat membaca, mengerti dan memperoleh manfaatnya hingga saat ini.

Selain orang-orang tersebut, ada pula orang-orang Berea yang dinilai Alkitab sebagai orang-orang punya hati yang lebih baik. Mereka menerima firman dengan segala kerelaan hati dan menyelidiki Kitab Suci setiap hari. Kegiatan tersebut mereka lakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pesan yang murni dan jelas dari Tuhan. Dengan demikian, orang-orang seperti itu akan terhindar dari pesan yang palsu, yang tidak jelas atau rancu.

Tetapi, realitanya di masa kini, tidak sedikit orang-orang Kristen yang negatif atau apatis terhadap kegiatan “baca-tulis”. Ada yang mengidentikkan orang yang giat atau tekun membaca Alkitab sebagai “orang Farisi” modern. Padahal kesalahan orang Farisi di masa lalu bukan terletak kepada kegiatan “baca-tulis” nya tetapi kepada mis-interpretasi-nya. Ada pula ungkapan offensive yang mengatakan “yang penting kan melakukan…” Padahal, tindakan “melakukan” tidak dapat diterapkan tanpa mengerti apa dan bagaimana melakukan firman-Nya.

Tanpa mengabaikan tentang betapa pentingnya “melakukan” firman Tuhan, orang Kristen pun perlu menyadari betapa penting nya juga upaya memperoleh pesan yang tepat dan jelas. Karena, pesan yang tidak tepat dan tidak jelas tentu saja menghasilkan tindakan yang salah juga. Jadi apakah gunanya melakukan pesan yang salah?

Secara pribadi, saya berpendapat pentingnya penggalian firman yang sustainable atau yang berkelanjutan. Artinya, kita perlu melanjutkan penggalian firman yang ditulis oleh para rasul, yang kemudian dilanjutkan oleh generasi selanjutnya, yang tulus dan setia menjaga kemurnian firman, bapa-bapa gereja, dan teolog-teolog yang sejati. Mereka telah mengambil peran yaitu menerjemahkan Codex menjadi kanon, hingga akhirnya menjadi Alkitab. Tinggal kita hari ini yang semestinya juga turut mengambil peran yaitu melanjutkannya. Caranya? Menjaga pesan yang murni, sampaikan, ajarkan, khotbahkan, lakukan dan teruskan kepada generasi selanjutnya.

Minggu, 24 Mei 2009

PENERJEMAHAN ALKITAB

Salahkah menerjemahkan Alkitab? Seperti itulah kira-kira pertanyaan yang tersimpan di hati banyak orang ketika menyaksikan penganiayaan terhadap penerjemah-penerjemah pertama seperti: Tyndale atau Wycliffe.

Di masa hidup mereka tidaklah mudah menerjemahkan Alkitab dari bahasa aslinya yaitu Ibrani, Yunani atau Aram ke dalam bahasa Inggris. Mengapa? Karena pada masa itu Alkitab dipandang suci secara ekstrim sehingga membacanya pun, orang-orang awam sangat kurang mendapat kesempatan. Alkitab tersimpan dan tersembunyi di ruang-ruang pribadi kaum imam saja. Sedang orang awam jauh dari pesan yang sebenarnya.

Anda mungkin bertanya, mengapa situasi semacam itu dapat terjadi? Alkitab sendiri menjawabnya dengan langsung, jelas dan tidak berbelit-belit. Di 2 Tim 3:16-17 disebutkan bahwa Alkitab adalah cara atau rancangan Allah untuk mengoreksi manusia. Dengan kata-kata lain, melalui pengertian dan pengenalan akan Alkitab, maka kesalahan dan dosa-dosa manusia pun akan dinyatakan. Semua kesalahan tanpa kecuali akan keluar dan terbongkar dari tempat persembunyiannya termasuk dosa dan kesalahan-kesalahan imam-imam yang korup di zaman Tyndale dan Wycliffe.

Mari kembali ke pertanyaan semula, salahkah upaya penerjemah-penerjemah tadi? Sebelum menjawabnya dengan “ya” atau “tidak”, penting bagi kita untuk mengerti sedikit banyak tentang “komunikasi”. Di dalam komunikasi ada terdapat 4 (empat) unsur yang paling besar atau paling utama. Unsur-unsur tersebut adalah: pesan, media atau alat, komunikator dan komunikan. Dari ke-empat unsur tersebut, bahasa dapat dikategorikan sebagai media atau alat bukan pesan. Jadi, dalam hubungannya dengan penerjemahan, bahasa yang berbeda bukanlah masalah selama pesannya tidak diubah secara sengaja atau pun tidak sengaja.

Bahasa-bahasa di dunia sangat beragam jenisnya karena bangsa-bangsa di dunia pun demikian. Jika bahasa Alkitab hanya menggunakan bahasa Ibrani, Yunani atau Aram saja, maka semakin sedikit lah orang yang mengerti atau memahami Alkitab dari waktu ke waktu. Sebaliknya, upaya penerjemahan Alkitab telah menunjukkan hasil yang nyata dan lebih baik. Orang-orang dari berbagai bangsa dapat mendengarkan pesan Tuhan dengan bahasa mereka sendiri. Hal serupa pernah terjadi di Yerusalem pada hari Pentakosta, yaitu ketika para rasul berbicara kepada orang banyak dengan berbagai bahasa dari bangsa-bangsa di dunia. Suatu pertanda atau petunjuk bahwa Allah ingin menyampaikan pesan-Nya yang sama kepada semua bangsa dengan semua bahasa.

Timbul pertanyaan, bagaimana dengan penerjemahan yang berbeda atau kurang tepat? Secara pribadi, saya menganggapnya sebagai tantangan bukan permasalahan. Mengapa? Karena tantangan adalah bagian dari proses belajar yang Tuhan janjikan. Ia berkata di Mat 6:33: ”Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya…”. Di Yer 29:13 disebutkan: ”...kamu akan menemukan Aku jika kamu mencari Aku dengan segenap hati.” Studi atau belajar-mengajar Alkitab adalah proses yang di-izinkan dan disediakan oleh Tuhan bagi orang-orang Kristen. Orang-orang yang malas, yang apatis, yang tidak peduli atau yang menganggap remeh terhadap belajar-mengajar Alkitab dengan sendirinya terseleksi dari janji-janji Tuhan.

Lagipula, pesan-pesan penting atau utama dari Alkitab tidak lah berubah. Ia tidak akan pernah berubah. Jika terdapat kata atau penerjemahan yang kurang tepat, seseorang dapat membandingkannya dengan ayat yang lain, perikop atau kisah yang lain di Alkitab. Atau, orang tersebut dapat pula membandingkannya dengan penerjemahan yang lain. Contohnya di dalam bahasa Inggris ada King James Version, New King James Version, New International Version, New American Standard Bible, dan lain-lain. Dengan demikian, maka ia dapat memperoleh pesan yang lebih jelas, utuh dan kuat. Jadi, penerjemahan bukannya menghasilkan permasalahan melainkan kekayaan yang melimpah terhadap Firman Tuhan.

Bagaimana dengan orang buta atau orang bisu? Tuhan pun mengaruniakan bahasa-bahasa yang khusus bagi mereka yaitu bahasa non verbal. Selain itu ada juga tulisan atau huruf braile bagi orang yang buta.

Jika Tuhan pernah mengacaukan manusia di zaman Nimrod dengan mengaruniakan bahasa-bahasa yang berbeda bagi mereka, tetapi kini, Tuhan telah menyatukan manusia ke dalam Kerajaan-Nya dengan pesan yang sama. Mungkinkah ini adalah suatu nubuat? Bukan, ini adalah kuasa Tuhan.



Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/John_Wycliffe
http://en.wikipedia.org/wiki/William_Tyndale


Rabu, 20 Mei 2009

SURAT-SURAT UMUM

Kitab Perjanjian Baru dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian yaitu:
1. Kitab-Kitab Injil
2. Surat-surat Paulus
3. Nubuat (Wahyu)
4. Surat-surat lainnya (General Epistles)

General Epistles terdiri dari surat 1 & 2 Petrus, Yakobus, Yudas, 1-3 Yohanes, dan Ibrani. Untuk dapat mengerti dengan baik surat-surat tersebut, kita perlu mempelajari latar belakang yang ada di sana. Salah satunya adalah dengan merujuk ke Kitab Kisah Para Rasul. Di sana kita temukan bahwa para rasul pernah mengadakan kesepakatan bahwa mereka membagi wilayah penginjilan mereka. Rasul Paulus dan Barnabas kepada orang-orang non Yahudi sedangkan rasul-rasul lainnya kepada orang-orang Yahudi teristimewa yang ada di Yerusalem.

Meskipun kesepakatan tersebut tidak mengartikan bahwa mereka tidak dapat menolong orang-orang yang berbeda atau lain dari yang telah disepakati. Contohnya, Petrus tetap saja menolong Kornelius. Ia masuk ke dalam rumah perwira pasukan Romawi itu walau tindakan tersebut sesungguhnya najis atau dilarang bagi bangsa Yahudi. Yohanes pun di masa tuanya mengalamatkan injil yang ditulisnya kepada orang Yunani. Petrus pun di akhir masa hidupnya ada di Roma dan mati disalibkan secara terbalik di sana.

Kesepakatan tersebut tampaknya lebih kepada kebijaksanaan yang tidak sedemikian mengikat. Tujuannya adalah agar mereka dapat lebih mandiri secara sehat dan dapat berkonsentrasi terhadap daerah atau wilayah yang sedang tangani. Bukankah dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia pun demikian? Di satu sisi kita mengerjakan sesuatu secara sendiri, di sisi lain kita bekerjasama atau bergantung satu sama lain. Seorang pakar hubungan manusia yang bernama Stephen R. Covey menyebut pemikiran ini dengan istilah “interdependent”. Ya, para rasul tampaknya sudah menerapkannya dan mengerti dalam tindakannya.

Melalui informasi-informasi tersebut, pertama-tama dapatlah kita mengerti kepada siapa surat-surat tersebut ditujukan. Secara umum adalah kepada orang-orang Kristen pada masa itu dan juga masa kini. Memang, pada surat-surat General Epistles, disebutkan nama atau kelompok murid-murid Kristus pada abad pertama sebagai alamat atau penerima surat. Contohnya di Yakobus, disebutkan “kepada kedua belas suku di perantauan. Di surat 1 Petrus: “kepada orang-orang pendatang yang tersebar di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia.” Atau, di 2 Yohanes disebutkan “kepada Ibu yang terpilih dan anak-anaknya…”

Jika demikian, dapat timbul pertanyaan, apa hubungannya surat-surat tersebut dengan kita yaitu orang-orang Kristen di masa kini. Bukankah surat-surat itu nyata jelas ditujukan kepada orang atau kelompok yang disebutkan namanya?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut lebih jauh, mari baca dan perhatikan ayat berikut ini yaitu Kisah Para Rasul 2:39:

“…Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak yang akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita.”

Artinya, janji Tuhan berkelanjutan dari generasi ke generasi. Demikian pula pesan-Nya adalah pesan yang transenden, worldwide dan berkelanjutan.

Hanya saja, sebagai orang Kristen yang hidup di masa kini kita perlu juga mempelajari latar belakang kultur atau budaya, bahasa, pemikiran, kebiasaan, geografi, dan lain-lain. Sehingga dengan demikian kita dapat memperoleh pesan yang jelas yaitu dengan cara mengintegrasikan hal-hal tersebut tadi. Karena jika tidak demikian, kita mungkin kurang mendapat pesan yang jelas bahkan salah interpretasi.

Tetapi, janganlah risau atau putus asa mendengar penjelasan ini karena sesungguhnya Alkitab bukanlah terlalu sulit untuk dipahami. Walau memang realitanya ada hal-hal tertentu yang cukup menantang kita untuk berpikir keras dan mempelajarinya dengan lebih serius atau lebih sungguh. Bahkan mungkin mendoakannya, meminta pimpinan Tuhan sehingga kita dapat mengertinya.

Selain itu, ada pula hal-hal yang memang tidak dinyatakan oleh Tuhan kepada kita, mungkin karena hal tersebut ada di atas rasio kita atau mungkin saja karena kebijakan ilahi-Nya.

Kabar baiknya, ditinjau dari isi, surat-surat General Epistles adalah surat-surat yang singkron satu sama lain. Tidak ada isi atau pesan yang bertentangan satu sama lain. Baik itu di antara surat-surat General Epistles sendiri, maupun terhadap surat-surat lain di PB dan di PL. Sebagai contoh, di Kitab Ibrani tertulis tentang arti dari iman, tetapi di kitab Yakobus dituliskan tentang iman yang benar yang menghasilkan perbuatan yang benar pula. Keduanya menulis tentang iman tetapi tidak bertentangan melainkan saling melengkapi dan mendukung satu terhadap yang lain.

Hal yang paling penting adalah bahwa baik prinsip, nilai maupun setiap kata dari Alkitab khususnya General Epistles adalah murni, benar dan berasal dari Allah. Surat-surat tersebut menjadi bagian yang terpadu dengan surat-surat yang lain di Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama. Sehingga dengan demikian, pesan Alkitab pun semakin kuat dan jelas saja bagi mereka yang percaya kepada-Nya.

Demikianlah cara Tuhan kita menyampaikan pesan-pesan-Nya. Indah dan brilliant, bukan?


Senin, 18 Mei 2009

MISKIN DI HADAPAN ALLAH (Bagian 2)

Bacaan: Mat 5:3

5:3 "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga

Memang, pada zaman Yesus, orang-orang sangat tertekan dan terhimpit secara ekonomi. Di samping itu, secara politis pun, bangsa Yahudi sedang dijajah oleh bangsa Romawi. Sekelompok orang yang disebut orang Zelot di sana masih terus berusaha keras mempertahankan tanah airnya, mengusir penjajah demi merebut kemerdekaan. Bayang-bayang tentang kesejahteraan ekonomi, pemerintahan atau kerajaan yang baru terpatri dalam hati dan pikiran mereka. Tetapi, sekali lagi, khotbah Yesus bukanlah tentang hal-hal tersebut. Bukan karena Yesus cuek atau tidak peduli dengan situasi kondisi yang sedang mereka alami. Malah sebaliknya, Yesus sangat amat peduli. Bedanya, bagi Yesus, persoalan spiritual atau rohani pada masa itu tidak kalah mendesaknya dibandingkan persoalan-persoalan yang lain.

Selain krisis ekonomi dan politik, orang-orang di zaman Yesus juga mengalami krisis kerohanian. Pesan Tuhan tertutup kabut legalisme. Tidak ada pertobatan tetapi upacara-upacara, peraturan-peraturan, aktifitas-aktifitas relijius. Tanpa gairah, tanpa hubungan, tanpa kejujuran dan tanpa kerendahan hati.

Tokoh-tokoh agama seperti orang-orang Farisi tidak bicara soal hati. Mereka terus menerus berpikir dan berbicara soal peraturan demi peraturan baru, mensahkan yang baru dan menerbitkan yang baru. Semakin lama semakin sukar dan berat saja peraturan-peraturan tersebut. Dengan begitu mereka menilai atau beranggapan bahwa adalah merupakan suatu achievement jika orang-orang dapat atau sanggup menerapkan dan mengikutinya. Hal yang sama dengan aksi berbeda dilakukan oleh orang Esene. Dengan semakin jauh, terpencil, tersembunyi dan terpisah dari dunia, mereka mungkin beranggapan bahwa semakin banyak dan besar pula achievement yang mereka peroleh atau dapatkan. Tanpa membahas tentang orang Zelot, orang Romawi, dan orang awam Yahudi yang mungkin sudah bosan, eneg dan tidak peduli dengan agama. Tidak jauh berbeda dengan orang Saduki yang hidup “hari ini” dan untuk “hari ini”, karena mereka tidak percaya akan kebangkitan dan hari “esok”.

Situasi kondisi tersebut sepertinya dicermati Yesus dengan kebiasaannya yang selalu mengasosiasikan pesan-pesan yang ingin Ia sampaikan melalui keadaan terkini manusia. Apa yang sedang dialami, yang sedang dirasakan atau dipikirkan oleh manusia seringkali digunakan-Nya untuk menyampaikan pesan-pesan yang benar, tepat dan tidak kadaluwarsa. Makanya, Ia menyerukan: Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.

Dengan kata-kata yang lain Yesus menyerukan, “Hey, jangan mengandalkan legalisme Anda, kekuatan fisik Anda, politik atau ekonomi Anda, pikiran Anda atau kepercayaan diri Anda! Jangan bergantung dan bersandar kepada itu semua! Tetapi, andalkanlah Tuhan, bergantunglah dan bersandarlah hanya kepada Nya saja!”

Selain mengasosiasikan sesuatu, Yesus seringkali juga memperjelas pesan-Nya dengan mengkontraskan apa yang benar dengan yang salah atau yang paling buruk. Untuk lebih jelas lagi, perhatikanlah kontras-kontras yang terdapat di Injil Lukas berikut ini:

Luk 18:10-14 adalah tentang orang Farisi yang kaya di hadapan Allah dan pemungut cukai yang miskin di hadapan Allah.
18:10 "Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.
18:11 Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini;
18:12 aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.
18:13 Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.
18:14 Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."

Luk 18:18-25 semakin memperjelas lagi yaitu ketika Yesus menjawab pemuda yang sangat bergantung, mengandalkan atau menyandarkan diri kepada kekuatan ekonomi-nya yaitu harta benda.
18:18 Ada seorang pemimpin bertanya kepada Yesus, katanya: "Guru yang baik, apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"
18:19 Jawab Yesus: "Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorang pun yang baik selain dari pada Allah saja.
18:20 Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu."
18:21 Kata orang itu: "Semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku."
18:22 Mendengar itu Yesus berkata kepadanya: "Masih tinggal satu hal lagi yang harus kaulakukan: juallah segala yang kaumiliki dan bagi-bagikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku."
18:23 Ketika orang itu mendengar perkataan itu, ia menjadi amat sedih, sebab ia sangat kaya.
18:24 Lalu Yesus memandang dia dan berkata: "Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah.
18:25 Sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah."

Maka semakin jelaslah pesan Yesus yaitu sebagai berikut:
Bergantunglah dan bersandarlah kepada Tuhan saja. Andalkanlah Dia bukan yang lain, maka Anda dijamin pasti 100% akan bahagia dan kebahagiaan Anda tidak dapat diambil, dicuri atau hilang lenyap. Statement ini bukan janji tetapi ilahi sifatnya, benar, sejati, kekal, dan tidak terbantahkan. Jika demikian, maka Andalah yang empunya Kerajaan Sorga. Anda adalah warga-Nya.




Referensi: Wikipedia; PASH Matius oleh DR. William Barclay - Penerbit BPK Gunung Mulia; Audio Sermon Grace to You - Happy are the Poor in Spirit by Mac Arthur, John; Audio Sermon Berean Publication House - Seri Khotbah di Bukit oleh Pdt. Harliem Salim

Copyright © 2009 by Naek http://www.nevermissingqt.blogspot.com/


Minggu, 17 Mei 2009

MISKIN DI HADAPAN ALLAH

Bacaan: Matius 5:3

Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.

Khotbah di Bukit ditulis oleh Matius dengan menggunakan bahasa Yunani. Kata “miskin” di sana di sebut dengan “ptokhos” yang berarti sangat amat miskin, mutlak, tidak mempunyai apa pun juga, bangkrut atau minus. Miskin yang dimaksud dengan “ptokhos” berbeda dengan “penes” yang juga berarti miskin tetapi masih mempunyai sesuatu. Seperti janda miskin yang mempunyai 2 keping uang untuk dipersembahkan di Bait Allah bukanlah “ptokhos”. Orang miskin yang masih mempunyai income atau penghasilan bukan “ptokhos” tetapi “penes”.

Secara verbal, Khotbah di Bukit di zaman-Nya disampaikan dengan menggunakan bahasa Aram. Bahasa tersebut adalah bahasa Ibrani yang mengalami perkembangan atau dapat kita sebut sebagai turunannya. Menurut bahasa Aram, kata “miskin” disebut dengan 'ani atau “ebion”. Kata tersebut lebih menekankan tentang kebergantungan atau ketergantungan kepada Tuhan karena tidak mempunyai apa-apa. Orang yang disebut 'ani atau “ebion” menganggap dirinya tidak mempunyai sesuatu yang dapat diandalkan. Baginya, ia tidak mempunyai tempat bergantung atau bersandar selain Tuhan.

Jadi, dari bahasa Yunani dan bahasa Aram, dapatlah diambil kesimpulan tentang “miskin” yang dimaksud oleh Yesus. Orang yang miskin di hadapan Allah adalah orang yang sangat amat miskin, mutlak, tidak mempunyai apapun juga, bangkrut atau minus di hadapan Allah. Dengan demikian, ia tidak mempunyai apa-apa untuk diandalkan, tidak mempunyai sesuatu sebagai tempat bersandar atau bergantung selain daripada Tuhan saja.

Membaca penjelasan ini, Anda mungkin spontan membayangkan tentang orang yang miskin secara ekonomi atau financial. Padahal sesungguhnya “miskin” yang dimaksud oleh Yesus adalah miskin secara rohani. Di NIV Bible (New International Version), “miskin di hadapan Allah” disebut dengan “poor in spirit”. Sesuatu yang menunjukkan atau menandakan bahwa “miskin” yang dimaksud adalah spiritual-nya bukan yang lain. Khotbah Yesus di Bukit bukanlah economical, financial atau political sifatnya tetapi murni spiritual.

Jika demikian, apa indikasi dari orang yang “miskin” atau “tidak miskin” di hadapan Allah? Banyak gambaran yang dapat menjelaskan hal tersebut. Salah satunya adalah jika seseorang menganggap dirinya cukup baik di hadapan Tuhan. Atau, menganggap dirinya cukup layak untuk masuk sorga. Mengapa? Karena orang yang berpikir bahwa ia adalah orang yang cukup baik di hadapan Tuhan berarti ia bukan “miskin”, melainkan ia masih punya sesuatu yang dapat diandalkan atau dibanggakan di hadapan Tuhan. Mungkin itu adalah perbuatan-perbuatan baik yang ia lakukan, atau, achievement-achievement agamawi atau relijius yang telah ia capai seperti: menghadiri kebaktian, terlibat di pelayanan, berdoa, membaca alkitab, menginjil, dan lain-lain.

Timbul pertanyaan, jika demikian halnya, apakah berarti bahwa kita tidak usah atau tidak perlu berbuat baik dan melakukan tindakan atau aktifitas rohani? Tentu saja tidak. Tetapi, perbedaan yang besar ada pada motif dasarnya. Orang yang miskin di hadapan Allah berbuat baik dan melakukan tindakan atau aktifitas rohaninya karena sadar siapa dirinya di hadapan Tuhan bukan apa yang ia lakukan. Bahwa ia miskin dan butuh bergantung dan bersandar kepada-Nya.

Orang yang miskin di hadapan Allah menyadari siapa diri-nya, makanya ia melakukan apa yang benar dan berkenan kepada-Nya. Sebaliknya orang yang melakukan tindakan atau aktifitas relijius tanpa menyadari bahwa ia “miskin” di hadapan Allah, ia tidak berkenan kepada-Nya. Mereka biasanya, secara sadar atau tidak, menghitung perbuatan-perbuatan, tindakan dan aktifitas keagamaan, kemudian membawanya ke hadapan Tuhan dan menganggap diri cukup baik atau cukup layak untuk masuk Surga.

Sekali lagi, motif dasar di dalam diri seseorang sangat menentukan dan mempengaruhi keseluruhannya. Oleh sebab itu, jadilah miskin di hadapan Allah, karena orang yang demikianlah yang empunya Kerajaan Surga!



Referensi: Wikipedia; PASH Matius oleh DR. William Barclay - Penerbit BPK Gunung Mulia; Audio Sermon Grace to You - Happy are the Poor in Spirit by Mac Arthur, John; Audio Sermon Berean Publication House - Seri Khotbah di Bukit oleh Pdt. Harliem Salim

Copyright © 2009 by Naek http://www.nevermissingqt.blogspot.com/



Kamis, 14 Mei 2009

6 TAHAP KESEMBUHAN ROHANI

Bacaan: Yohanes 9:6-7

9:6 Setelah Ia mengatakan semuanya itu, Ia meludah ke tanah, dan mengaduk ludah-Nya itu dengan tanah, lalu mengoleskannya pada mata orang buta tadi
9:7 dan berkata kepadanya: "Pergilah, basuhlah dirimu dalam kolam Siloam." Siloam artinya: "Yang diutus." Maka pergilah orang itu, ia membasuh dirinya lalu kembali dengan matanya sudah melek

Kisah orang buta sejak lahir di Yohanes pasal 9 dapat dijadikan ilustrasi tentang proses kesembuhan rohani.

Mari perhatikan lebih lanjut 6 (enam) tahap berikut ini:
1. Yesus mengulurkan tangan-Nya untuk menyembuhkan si buta.
Tindakan tersebut mengilustrasikan bahwa kesembuhan berasal dari Tuhan. Tanpa Dia, tidak ada yang dapat.

Kebenaran ini juga ditunjukkan atau dikonfirmasikan oleh dua ayat berikut yaitu bahwa Allah adalah mutlak dan satu-satunya sumber dari segala sumber kesembuhan rohani. Ia adalah sumber kebenaran dan kebaikan yang sejati, termasuk: pengampunan dosa, keselamatan, dan perubahan hidup.

Efesus 2
2:8 Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah,

Yohanes 15
15:5 Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.

2. Yesus menawarkan solusi kesembuhan dengan menginstrukskan atau menasihatkan si buta untuk pergi membasuh, menyeka dan menyingkirkan lumpur di matanya.
Tindakan ini mengilustrasikan tentang Tuhan yang menawarkan solusi dengan cara menyampaikan perintah atau nasihat berupa pesan-pesan kepada manusia. Pesan-pesan tersebut disampaikan melalui para nabi, Kitab Suci dan mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal yaitu Yesus Kristus (band. Ibr 1:1-3).

3. Si buta mengikuti nasihat, petunjuk atau instruksi yang diberikan oleh Yesus.
Ini menggambarkan tentang seseorang yang patuh terhadap nasihat, petunjuk atau perintah Tuhan, sehingga ia disembuhkan. Selain itu, ini pun mengartikan bahwa ada bagian atau porsi manusia dalam proses penerimaan kesembuhan rohani. Meskipun memang kesembuhan berasal dari Tuhan, tetapi manusia bukan berarti pasif saja, diam dan tidak melakukan apa-apa selama proses tersebut. Sebaliknya, manusia perlu me-respon, mengambil keputusan untuk bertobat dan meninggalkan dosa-dosanya.

4. Si buta sembuh kemudian mendapat berbagai respon dari orang-orang di sekelilingnya. Ada respon yang positif, ada pula respon yang negatif.
Seorang yang telah bertobat mengalami perubahan-perubahan nyata. Orang-orang di sekelilingnya secara otomatis dapat melihat atau merasakan perubahan tersebut. Contohnya, orang yang kasar menjadi gentle dan penuh penguasaan diri, orang yang cabul menjadi sopan dan tidak ngeres, orang yang suka bohong atau licik menjadi jujur dan terbuka, dan lain-lain.

Perubahan-perubahan besar atau total pasti segera mendapat tanggapan teristimewa dari orang-orang yang biasa berinteraksi dengan orang yang telah bertobat tersebut.

5. Si buta menjawab dengan mengakui kesembuhannya adalah berasal dari dan karena Yesus.
Dalam kesaksiannya, orang Kristen atau orang yang telah bertobat patut mengakui bahwa kesembuhannya adalah berasal dari dan karena TUHAN. Bukan karena kehebatan, kemampuan atau keistimewaan dirinya semata-mata.

6. Si buta teguh dan setia dengan iman dan keyakinannya meskipun mendapatkan tekanan atau intimidasi dari orang lain yaitu orang-orang Farisi.

Orang Kristen atau orang yang bertobat tidak selalu diterima, disetujui atau disukai oleh orang lain. Ada orang tertentu, di tempat tertentu atau masa tertentu, di mana mereka mendapatkan tekanan, intimidasi bahkan penganiayaan. Tetapi, ia harus tetap teguh dan setia. Karena, tidak ada yang lebih kuat dan berkuasa selain daripada TUHAN saja. Ia berkuasa atas langit dan bumi. Sorga dan neraka. Hidup dan mati. Sedang sekuat-kuat dan sehebat-hebatnya manusia, paling lama 120 tahun saja hidupnya.

Setelah itu, setiap orang, yang percaya atau tidak percaya, yang patuh atau tidak patuh, yang garang atau yang bengis, yang baik atau yang jahat, yang benar atau yang tidak benar, akan bertekuk lutut di hadapan TUHAN.

Seperti Fil 2:10 katakan:

supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,

Bedanya, ada yang bertekuk lutut dengan sikap hati menyembah, tetapi ada pula yang terpaksa menekukkan lututnya karena tidak berdaya di hadapan DIA pada akhir zaman.



Rabu, 13 Mei 2009

BUTA ATAU MELIHAT?

Bacaan: Yohanes 9:39-41

9:39 Kata Yesus: "Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta."
9:40 Kata-kata itu didengar oleh beberapa orang Farisi yang berada di situ dan mereka berkata kepada-Nya: "Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?"
9:41 Jawab Yesus kepada mereka: "Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu.

Rasul Yohanes mempunyai gaya tulisan yang khas. Ia biasanya menggunakan kata-kata tertentu untuk mengasosiasikan sesuatu. Contohnya, ia menggunakan kata "gelap" untuk menggambarkan moralitas yang buruk, dan menggunakan kata "terang" untuk menggambarkan apa yang ilahi, yang berasal dari Tuhan, atau pun firman-Nya.

Di pasal 9, ia menggunakan kata buta dan melihat secara jasmani sebagai asosiasi dari “buta” dan “melihat secara rohani.” Di sana, Yohanes bercerita tentang orang yang buta sejak lahir. Ia disembuhkan oleh Yesus dengan cara mengoleskan matanya dengan tanah yang dicampur dengan ludah, kemudian menyuruhnya pergi ke kolam Siloam untuk menyekanya.

Seketika itu orang buta itu pun dapat melihat dengan sempurna. Tidak lama kemudian, desas-desus kesembuhan orang itu pun terdengar dan diketahui banyak orang. Sampai-sampai sejumlah orang Farisi mendatangi dia. Mereka merasa keberatan dan tidak suka dengan mujizat yang terjadi. Karena, fokus atau perhatian mereka bukanlah soal “buta yang kini dapat melihat”, tetapi, “mengapa Yesus menyembuhkannya pada hari Sabat?”.

Kebencian dan kesombongan orang-orang Farisi telah membutakan mereka. Jauh sebelumnya, di pasal 8 dan pasal-pasal sebelumnya telah tercatat bahwa orang-orang Farisi tidak menyukai Yesus. Mereka benci terhadap Dia dan menganggap-Nya sebagai penyesat dan pembawa ajaran baru, yang lain dari yang mereka ajarkan.

Anda mungkin bertanya mengapa dan bagaimana ceritanya orang-orang Farisi benci terhadap Yesus? Peraturan-peraturan yang diterbitkan orang-orang Farisi sangat amat banyak jumlahnya dan itu pun semakin banyak saja dari waktu ke waktu, karena orang-orang Farisi secara kontinu terus-menerus menambahkannya. Tugas atau pekerjaan mereka sehari-hari adalah mendiskusikan Kitab Taurat untuk kemudian menerbitkan peraturan-peraturan yang baru dan terbaru lagi.

Dapat dimengerti bahwa Yesus tidak memenuhi harapan atau keinginan mereka karena Ia tidak mengikuti peraturan-peraturan yang mereka terbitkan. Jadi, terang saja Yesus dipandang menentang, mengancam bahkan membahayakan posisi atau ajaran mereka.

Orang-orang Farisi tidak peduli dan menutup mata terhadap mujizat yang dilakukan oleh Yesus. Demikian pula seterusnya hingga akhirnya yaitu ketika Yesus bangkit dari mati pun, mereka tetap menolak atau tidak menerima kenyataan tersebut.

Meski orang buta itu telah dapat melihat, orang-orang Farisi terus bertanya berulang kali. Entah mengapa dan apa tujuannya, mereka bertanya dan bertanya lagi. Kepada orang buta itu, kepada orang tuanya dan kembali lagi kepada dia. Tetapi, sepertinya pertanyaan-pertanyaan mereka bukan bertujuan untuk memastikan kebenaran bahwa mujizat itu telah terjadi. Sebaliknya, mereka hanya ingin mendengar apa yang ingin mereka dengarkan yaitu bahwa orang buta itu tidak benar-benar sembuh, atau Yesus tidak menyembuhkannya, atau Yesus salah dan patut dihukum, atau Yesus tidak berasal dari Allah. Jadi, percuma saja mereka bertanya, karena mereka pun tidak menginginkan jawaban yang sebenarnya.

Secara sederhana, orang buta itu menjawab bahwa tadinya ia buta sejak lahir dan kini dapat melihat karena Yesus. Sekali lagi, suatu jawaban yang sangat sederhana.

Bukankah demikian juga di dalam kebutaan rohani? Setelah Tuhan menyembuhkan mata hati atau mata rohani kita, tidak ada penjelasan yang dapat menandinginya. Tidak ada yang lebih meyakinkan selain bahwa dulu kita buta sekarang kita telah melihat. Perubahan hidup jauh lebih jelas dibanding penjelasan-penjelasan yang lain. Pengalaman bersama Tuhan atau hubungan yang dekat dengan-Nya seringkali tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Seperti halnya orang buta tadi, kita hanya perlu membersihkan mata hati kita dari dosa yaitu “bertobat”. Dengan demikian kita dapat melihat Dia dan kebenaran-Nya.

Yakinlah, bahwa memang banyak hal yang dapat kita jelaskan tentang Tuhan, tentang Kitab Suci, dan tentang kekristenan, tetapi tampaknya jauh lebih banyak yang tidak dapat kita jelaskan dengan kata-kata. Ini tidak berarti bahwa orang Kristen cenderung tidak logis atau irasional. Tetapi, sebagai manusia yang juga berpikir logis, semestinya kita menyadari bahwa kita berada di dalam keterbatasan waktu, pikiran dan kemampuan untuk menjelaskan semuanya dari semuanya dalam tahun-tahun hidup kita.

Jadi, alangkah bijaksananya jika kita menerima iman dan penyataan yang dianugerahkan Tuhan saja, sehingga kita mengalami perubahan hidup yang diawali dengan pertobatan yaitu membersihkan mata hati kita, maka kita pun dapat melihat. Ya, penglihatan yang melompat menyeberangi jurang penjelasan-penjelasan.


Di-inspirasi oleh Sdr. Suyanto Salim pada acara PDG Harapan Indah Bekasi, Rabu, 13 Mei 2009.

Selasa, 12 Mei 2009

BERBAHAGIALAH... (Bagian 1)

Bacaan: Matius 5:1-3

5:1 Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya.
5:2 Maka Yesus pun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya:
5:3 "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.

Ditinjau dari audiens-nya, Khotbah Yesus di Bukit dihadiri banyak orang dari beragam golongan atau kelompok. Bagaimana kita dapat mengetahui hal tersebut? Sebelum khotbah-Nya di Bukit, Yohanes Pembaptis sudah mengarahkan pandangan public kepada Yesus. Dengan demikian, audiens Yohanes yaitu para pengikutnya termasuk orang-orang Farisi, ahli-ahli Taurat, tentara-tentara Romawi, dan lain-lainnya, yang biasa mendengarkan khotbahnya pun tentu saja mulai melihat dan mengamat-amati Yesus. Di tambah lagi, Yesus sudah mengajar dan menyembuhkan banyak orang dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari sana dapat disimpulkan bahwa iringan orang banyak semakin besar dan kontinu mengikuti Dia. Dari golongan terendah hingga tertinggi. Dari golongan pemerintah, penguasa hingga petinggi agama. Juga injil Lukas mencatat bahwa sebelum khotbah-Nya di Bukit, Yesus pun sudah memilih dan mengangkat ke-12 murid-Nya. Jadi, Khotbah Yesus di Bukit dapat digambarkan seperti event yang besar.

Khotbah di Bukit bukanlah khotbah biasa. Mengapa? Karena menurut injil Matius, Yesus menyampaikan khotbah tersebut diawali dengan naik ke atas bukit lalu duduk di sana. Sesuai tradisi Yahudi, seorang rabi yang mengajar dengan duduk adalah lebih formal dan khusus dibanding ketika Ia berdiri dan mengajar. Maka dapat dimengerti bahwa Yesus menyampaikan Khotbah di Bukit secara khusus dan bersifat formal.

Khotbah tersebut juga merupakan kombinasi mengajar dan berkhotbah. Anda mungkin bertanya apa bedanya? Bedanya adalah: mengajar itu menjadikan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Sedangkan, berkhotbah adalah menjadikan yang tidak sadar menjadi sadar, yang acuh tak acuh menjadi fokus atau konsentrasi, dan yang tidak peduli menjadi peduli. Mengajar biasanya menjelaskan sedang berkhotbah biasanya menggugah atau menginspirasi. Dan, Khotbah di Bukit adalah kombinasi dari keduanya.

Ditinjau dari waktu khotbah-Nya, Yesus tidak menyampaikan Khotbah di Bukit seluruhnya pada satu kesempatan. Tindakan menyampaikan khotbah-Nya ditulis dengan bahasa Yunani dalam bentuk imperfek yang berarti bahwa khotbah tersebut disampaikan berseri, berulang-ulang. Khotbah Yesus di Bukit pun adalah khotbah yang bersifat teratur dan progresif. Di mulai dari “miskin di hadapan Allah” hingga “dianiaya oleh sebab kebenaran”.

Secara historis, banyak orang di zaman Yesus yang mendambakan kebahagiaan. Bangsa Israel ada dibawah penjajahan bangsa Romawi pada masa itu. Mereka tertekan dan terhimpit baik secara ekonomi maupun politik. Teristimewa orang-orang Zelot, mereka lebih dari mendambakan kemerdekaan, mereka bersikeras, bergerilya melawan penjajah Roma. Orang-orang Romawi berpikir bahwa kebahagiaan sudah mereka raih dengan “menang perang”, menjajah, dan memperluas wilayah kekuasaan. Orang-orang Farisi berpikir mereka akan bahagia dengan legalisme. Orang-orang Saduki berpikir bahwa kebahagiaan adalah menikmati kekinian atau hari ini sebab besok atau di hari depan tidak ada kebangkitan. Orang-orang Esene berpikir, kebahagiaan adalah memisahkan diri dari dunia. Jadi, apakah sesungguhnya kebahagiaan itu?

Matius menulis kata bahagia dengan bahasa Yunani yaitu “makarios” yang berarti kebahagiaan ilahi. Bangsa Yunani biasanya menggunakan kata ini untuk para dewa. Jadi, makarios adalah kebahagiaan yang tidak terpengaruh oleh situasi kondisi dari luar. Ia tidak dapat dicuri, diambil, dimusnahkan atau dilenyapkan oleh orang atau apa pun yang lain di luar diri seseorang. Kebahagiaan yang dimaksud Yesus bersifat sejati, guaranteed, benar dan bersifat kekal. Bukan seperti anggapan-anggapan orang pada waktu itu termasuk juga banyak orang pada zaman ini.

Salah satu cara atau syarat mendapatkan kebahagiaan adalah dengan menjadi “miskin di hadapan” Allah. Suatu statement yang mengguncang dan mengagetkan orang banyak pada zaman itu. Karena Yesus tidak menyatakan bahwa kebahagiaan terdapat dalam “legalisme” beragama. Kebahagiaan juga bukan “modernisme atau kekinian”. Kebahagiaan pun tidak dapat diperoleh dengan cara “memisahkan diri dari dunia”. Kebahagiaan juga bukan soal “menang-kalah” melawan orang atau bangsa lain. Tetapi, kebahagiaan ada di dalam diri setiap orang yang "miskin di hadapan Allah".

Pertanyaannya, apa arti “miskin di hadapan” Allah?


...(bersambung)


Referensi: Wikipedia; PASH Matius oleh DR. William Barclay - Penerbit BPK Gunung Mulia; Audio Sermon Grace to You - Happy are the Poor in Spirit by Mac Arthur, John; Audio Sermon Berean Publication House - Seri Khotbah di Bukit oleh Pdt. Harliem Salim

Copyright © 2009 by Naek http://www.nevermissingqt.blogspot.com/

Minggu, 10 Mei 2009

5 GRUP BESAR DI ZAMAN YESUS

Sebelum mempelajari Perjanjian Baru lebih jauh, ada baiknya bagi kita tahu sedikit banyak tentang kelompok-kelompok besar yang ada di zaman Yesus. Mereka adalah orang Farisi, orang Saduki, orang Esene, orang Romawi dan orang Zelot. Dengan demikian kita akan semakin jelas melihat atau mengerti setiap perkataan atau kisah yang ada di sana.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang mereka, mari pelajari satu per satu dari kelompok-kelompok tersebut:
Orang Farisi
Kata Farisi berasal dari bahasa Ibrani פרושים p'rushim, dari perush, yang berarti penjelasan. Jadi kata Farisi berarti "orang yang menjelaskan" (לפרש, "lefareish - menjelaskan")... Kaum Farisi,…belakangan merupakan sebuah aliran pemikiran di antara orang-orang Yahudi yang berkembang pada masa Bait Suci Kedua (536 SM–70 M).

Kelompok ini biasanya juga disebut bersamaan dengan Ahli Taurat yaitu: “Orang Farisi dan Ahli Taurat”. Keduanya mempunyai aktifitas serupa yang berkaitan dengan Kitab-Kitab Perjanjian Lama khususnya 5 Kitab Pertama atau Pentateukh yaitu Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan.

Orang-orang Farisi mempunyai rutinitas mempelajari Kitab-Kitab tersebut, mengintepretasikannya, mendiskusikan, menuliskan, dan mensahkan hasil-hasilnya dalam bentuk aturan atau peraturan. Semua itu dituangkan dalam bentuk tulisan yang disebut sebagai Kitab Mishnah. Kitab Mishnah sendiri mempunyai penjelasan lagi yaitu Kitab Talmud. Dari waktu ke waktu, kitab Mishnah dan Kitab Talmud berisi banyak sekali tulisan termasuk aturan atau peraturan-peraturan di dalamnya. Sebagai gambaran, tentang hari Sabat saja, di Mishnah terdapat 24 Bab dan di Talmud Babylonia terdapat 312 halaman folio.

Orang Saduki
Orang-orang Saduki berasal dari pengikut imam Zadok yang hidup di masa pembangunan Bait Suci pertama yang didirikan oleh raja Salomo.

Secara moral, kelompok imam ini tampak lebih buruk dibanding orang Farisi dan orang Esenes. Mereka adalah seperti kelompok imam yang korup, yang walaupun berasal dari keturunan Lewi, tetapi keyakinan mereka telah banyak dipengaruhi oleh sinkritisme, filsafat, dan politik.. Mereka menolak atau menentang interpretasi orang-orang Farisi terhadap kitab-kitab Musa dan hukum Taurat. Orang-orang Saduki pun sangat dikenal sebagai kelompok orang yang tidak percaya terhadap kebangkitan.

Sejarahwan Yahudi abad pertama yang bernama Josephus menyatakan tentang moralitas orang-orang Saduki sebagai berikut:

the Sadducees...take away fate entirely, and suppose that God is not concerned in our doing or not doing what is evil; and they say, that to act what is good, or what is evil, is at men's own choice, and that the one or the other belongs so to every one, that they may act as they please. They also take away the belief of the immortal duration of the soul, and the punishments and rewards in Hades...The Sadducees one towards another is in some degree wild, and their conversation with those that are of their own party is as barbarous as if they were strangers to them.[2]

Orang Esene
Orang-orang Esene adalah kelompok relijius Yahudi yang berkembang sejak abad ke-2 SM hingga abad ke-1 M. Kelompok ini berupaya keras memisahkan diri dari gemerlap dunia dan pengaruhnya. Mereka secara kelompok atau komunal, hidup di berbagai tempat terpencil demi menjalankan keyakinan dan ibadahnya kepada Tuhan. Salah satu karya atau upaya kerja keras mereka adalah Dead Sea Scrolls yaitu Naskah Laut Mati yang menurut anggapan para ahli adalah merupakan perpustakaan orang-orang Esene. Secara jumlah, mereka lebih sedikit dibandingkan dengan orang-orang Farisi dan orang-orang Saduki.

Orang Romawi
Bangsa Romawi terkenal dengan pasukan perangnya yang kuat. Dengan itu mereka dapat mengalahkan bangsa-bangsa dan menjajahnya termasuk bangsa Israel atau Yahudi. Secara jasmani, mereka mempunyai karakteristik yang kuat, keras, mengalahkan, menguasai dan menjajah.

Orang Zelot
Kelompok Zelot merupakan suatu gerakan politik Yahudi di abad pertama yang berupaya keras menentang penjajah Roma secara fisik atau dengan kekerasan. Cara mudah mengingat orang-orang Zelot adalah dengan mengingat kata “lawan”, “kalahkan”, “usir” penjajah Romawi. Tampaknya tidak ada objektif lain yang lebih kuat ketimbang hal tersebut. Bagi kaum Zelot, itu adalah cita-cita mereka bukan yang lain yang lebih relijius atau spiritual.

Karena karakteristiknya yang kuat dan jelas, maka kita dapat mengingat kata-kata kunci yang dapat mewakili kelompok-kelompok tersebut: Orang-orang Farisi adalah Legalis; Orang-orang Saduki adalah modernis, duniawi atau bersifat kekinian; Orang-orang Esene adalah memisahkan diri dari dunia, apatis, dan menyendiri. Orang-orang Romawi adalah kuat, penakluk atau penjajah; dan orang-orang Zelot adalah penentang atau pemberontak.

Dengan meninjau sifat-sifat atau karakteristik yang ada di dalam diri kelompok-kelompok ini, maka kita pun dapat mengerti bahwa semua itu pun terdapat juga di dalam diri orang atau kelompok-kelompok yang ada di masa kini. Sifat atau karakteristik-karakteristik itu adalah: legalis, modernis, duniawi atau bersifat kekinian, memisahkan diri, apatis, menyendiri, penjajah, penentang atau pemberontak.

Bukan sifat atau karakteristik yang asing, bukan?





Referensi: http://en.wikipedia.org; hal 206 PASH Yohanes oleh DR. William Barclay - BPK Gunung Mulia



Jumat, 08 Mei 2009

NUBUAT-NUBUAT

Ditinjau dari periode waktu, nubuat dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu:

1. Nubuat PL

Nubuat-nubuat PL sebagian besar digenapi di PB. Nubuat tersebut adalah tentang kelahiran Yesus, tentang hidup-Nya, kematian-Nya dan kebangkitan-Nya.

Nubuat-nubuat tersebut terdapat di setiap buku PL. Tentang kelahiran-Nya terdapat di Kejadian, Yesaya, Mikha, dan lain-lain. Tentang kehidupan-Nya bahwa Ia adalah Penasihat Ajaib, Raja Kekal, dan lain-lain ada di Yesaya. Tentang penyaliban dan kematian-Nya terdapat di Mazmur. Tentang kebangkitan-Nya terdapat di kitab Yunus, dan lain-lain.

Selain itu, banyak kisah-kisah di PL merupakan bayang-bayang dari yang akan datang yaitu Kristus. Contohnya, tentang darah yang dilaburkan di depan pintu rumah bangsa Israel adalah tentang darah Yesus yang melindungi umat-Nya; tentang Musa memimpin bangsa Israel menyeberang Laut Teberau menggambarkan Yesus yang membawa orang-orang Kristen menyeberang dari dunia yang penuh dosa kepada keselamatan yaitu Sorga.

Yesus sendiri, setelah bangkit menjelaskan bahwa nubuat-nubuat di kitab PL adalah tentang diri-Nya dan telah digenapi di dalam diri-Nya (band. Lukas 24:27-32).

2. Nubuat PB
Nubuat PB sebagian besarnya berasal dari Yesus. Ia menubuatkan tentang Kerajaan Allah atau Kerajaan Sorga.

Berikut ini adalah ayat-ayat tentang nubuat tersebut:
1. Mat 4:17: Kerajaan Allah sudah dekat. Artinya, tidak lama lagi ia akan ada atau datang. Mungkin dalam hitungan bulan atau tahun lagi.

2. Mat 5:3,10; 6:33; 7:21; 18:3: Karakteristik orang-orang yang akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Mereka adalah orang-orang yang bertobat dari dosa-dosa, yang tidak kuatir tetapi mengutamakan Dia, dan punya kualitas hati seperti anak kecil.

3. Mat 6:10: Yesus mendoakan agar Kerajaan Allah ada di bumi seperti di sorga. Doa ini bukan keinginan Yesus semata tetapi fokus atau impian-Nya yang akan menjadi kenyataan.

4. Mat 8:11: Kerajaan Sorga terdiri dari orang-orang dari berbagai tempat dan berbagai bangsa (band. Kis 2:9-11).

5. Mat 11:11-13: Kerajaan Sorga ada setelah Yohanes dan ia sendiri tidak sempat melihat dan ada di sana yaitu ketika Kerajaan Sorga ada di bumi. Yohanes mati dipenggal kepalanya oleh raja Herodes.

6. Mat 13:31-32: Kerajaan Sorga bermula dari sesuatu yang sangat kecil seperti biji sesawi atau ragi yang kecil. Tetapi, akhirnya menjadi paling besar dan seluruh dunia. Kerajaan Sorga atau Jemaat Tuhan dimulai dari jumlah orang yang sangat kecil atau sedikit.

7. Mat 13:24-30,36-43: penghakiman terhadap orang yang jahat atau durhaka yang menyusup masuk ke dalam Kerajaan-Nya di bumi. Ada orang-orang yang tidak bertobat, tidak patuh, degil dan keras kepala di Jemaat. Paulus menyebutnya saudara-saudara palsu.

8. Mat 13:44: Kerajaan Allah adalah seperti harta terpendam yang dibeli dan dibayar lunas oleh seseorang. Artinya Kerajaan Allah begitu berharganya bagi orang tersebut sehingga Ia membeli dan membayarnya dengan seluruh milik kepunyaannya.

9. Mat 13:45-46: Kerajaan Allah adalah seperti mutiara yang dibeli dan dibayar lunas oleh seseorang. Artinya Kerajaan Allah begitu berharganya bagi orang tersebut sehingga Ia membeli dan membayarnya dengan seluruh milik kepunyaannya.

10. Mat 13:47-48: Kerajaan Sorga terdiri dari orang yang datang dari berbagai bangsa di dunia, yang terkumpul ke dalam satu tempat (band. Kis 2:9-11).

11. Mat 16:18: 19: Petrus adalah pemegang kunci Kerajaan Sorga yaitu Jemaat Tuhan. Pernyataan ini memberitahukan bahwa Petrus akan berkhotbah pada hari Pentakosta yang dihadiri oleh orang-orang yang berasal dari berbagai tempat dan bangsa di dunia.

12. Mat 20:1-16: Kerajaan Sorga adalah pemberian Tuhan. Itu adalah kasih karunia-Nya bukan karena kerja atau upaya yang kita lakukan.

13. Mat 25:1-13: Nasihat supaya berjaga-jaga menyambut atau menyongsong Kerajaan Sorga.

14. Mat 25:14-30: Kristus akan pergi dan menitipkan Kerajaan Sorga yang ada di bumi yaitu Jemaat kepada hamba-Nya atau murid-Nya. Ayat ini mengartikan bahwa sebagai murid-Nya kita wajib menjaga atau mengelola kepunyaan-Nya yaitu Jemaat-Nya sesuai dengan talenta yang diberikan kepada kita.

Nubuat Yesus tentang Kerajaan Allah digenapi di Kisah Para Rasul 2:1-47. Kerajaan Allah adalah Jemaat mula-mula yang lahir di Yerusalem pada hari Pentakosta. Di mana waktu itu berkumpul orang-orang dari berbagai tempat atau bangsa di dunia. Mereka menyaksikan turunnya Roh Kudus sehingga murid-murid-Nya berbicara dengan berbagai bahasa dari berbagai bangsa di dunia. Meskipun bahasa tersebut bukanlah bahasa mereka dan mereka tidak pernah tahu berbahasa tersebut sebelumnya.

Saat itu, sebagai pemegang kunci Kerajaan Sorga, Petrus berkhotbah menjelaskan isi Kitab Suci dan menyerukan supaya orang-orang yang hadir saat itu untuk bertobat dan dibaptis untuk mendapatkan pengampunan dosa dan karunia Roh Kudus (band. Kis 2:38).

Sebagian nubuat PL dan nubuat PB berisi tentang penghakiman, tentang kedatangan Yesus dan tentang akhir zaman. Semua itu tentunya belum digenapi hingga saat ini. Dengan kata lain, nubuat-nubuat tersebut sedang dalam penggenapan atau akan digenapi kemudian di masa yang akan datang.




SUKACITA SEORANG GEMBALA

Senyum Pendeta Rudi tidak habis-habisnya malam itu. Berbagai respons yang diterimanya sesudah KKR yang baru saja berlangsung membuat dirinya semakin takjub akan karya Tuhan. “Ini bukan kerja manusia”, gumannya. Bayangkan saja, kehadiran yang mereka doakan beberapa minggu itu adalah 500 orang. Itupun adalah jumlah yang sangat besar, untuk ukuran iman mereka dan tempat yang tersedia. Tetapi Tuhan menjawab lebih. Tidak kurang dari 1000 orang memadati auditorium olah raga yang mereka sewa. Semuanya sesak. Banyak jiwa mengambil keputusan untuk bertobat. Bahkan anggota jemaatnya yang hanya 100 orang seperti tertelan dalam lautan manusia. Di beberapa sudut, gembala Rudi memerhatikan salah seorang pemimpinnya begitu sibuk melayani. Ibu-ibu di sudut lainnya tidak kalah repot untuk mengurusi kartu-kartu respons bersama para ushers. Sementara para singer terus menerus melantunkan puji-pujian seperti tanpa kenal lelah.

Di sudut belakang, terlihat beberapa orang tua meneteskan air mata sambil berpelukan. Merekalah yang melihat perjalanan gereja itu untuk waktu yang cukup lama. Pada malam itu, rasanya berbeda dari malam, minggu, bulan dan tahun-tahun sebelumnya. Apakah yang terjadi? Mungkinkah Tuhan mengulangi lagi suasana pentakosta seperti 2000 tahun yang silam, batin beberapa pengajar senior dan tua-tua jemaat. Atau kita telah membangun sebuah dasar yang benar bagi gereja kita? Atau, ini hanyakah kejadian sesaat?

Benar saja, beberapa tahun setelah KKR yang fenomenal itu, ternyata jumlah jemaat yang setia dalam gereja bukannya bertambah, malah semakin menurun, sampai hanya puluhan jiwa saja. Selebihnya, kalaulah ada acara khusus, kehadiran dapat bertambah menjadi sekitar 100 orang. Mengapa hal ini terjadi? Dari desas desus, ternyata tidak jauh dari sana ada sebuah gereja baru dengan bangunan paling mutakhir baru saja selesai. Sebagai gambaran umum, sound system saja berharga tidak kurang dari 2 milyar rupiah, belum lagi pendingin udara dan akustik yang hampir mendekati sempurna. Selain itu pamphlet dan brosur tentang pembicara yang cukup dikenal di gereja baru tersebut terpampang hampir di sudut jalan yang strategis setiap minggunya. Perlahan-lahan, orang-orang mulai melirik gereja yang baru tersebut.

Lain lagi pengalaman Pak Liem. Seorang gembala muda, yang baru merintis sebuah gereja di sebuah kota kecil di Jawa. Sebelumnya, gereja itu digembalakan oleh seorang pelayan lokal yang sudah berumur. Jemaatnya seperti hidup segan mati tak mau. Kehadiran setiap minggu hanya bilangan jari. Tetapi, setelah Pak Liem memberikan semacam training yang diperolehnya dalam sebuah seminar pertumbuhan: “Lima Langkah Menghidupkan jemaat yang mati suri” keadaan berubah drastis. Orang-orang lebih semangat, kehidupan doa semakin berapi-api. Banyak mujizat terjadi, sehingga kabar tentang jemaat ini tersebar sampai ke ibu kota propinsi. Setiap minggu, kehadiran membludak. Bahkan tamu dari luar kota lebih banyak dari jemaat lokal. Karena kota itu adalah tempat wisata, tidak jarang, orang-orang menghabiskan akhir minggunya di sana, untuk selanjutnya ikut ibadah di gereja pak Liem.

Orang-orang mulai bertanya-tanya, kiat apa yang dilakukan gereja tersebut sehingga berubah dan bertumbuh demikian drastis? Mereka mulai mendatangi dan belajar dari gereja tersebut. Gembala sidang mulai sering dicari-cari orang. Bahkan sering diundang untuk berbicara di berbagai seminar Pertumbuhan Gereja.

Sesudah beberapa waktu berselang, Pak Liem telah ‘bertumbuh’ menjadi begitu dikenal di kalangan MLM, sebagai pembicara motivator dan konselor. Beliau sekarang telah memiliki beberapa bidang usaha jasa organiser dan training kepemimpinan. Jadwalnya sangat padat. Tapi bagaimana dengan gereja yang telah dilayaninya beberapa tahun yang silam di Jawa? “Ceritanya panjang” desah pak Liem. Sesudah terdiam beberapa saat dan mengambil nafas dalam-dalam, ia mulai bercerita: “Panggilan Tuhan…Dia meminta saya untuk terlibat di dunia sekuler..” Selanjutnya dia menceritakan panjang lebar berbagai masalah dalam gerejanya yang tidak selesai-selesai. Sementara, kini gereja itu sendiri hampir tutup, seiring dengan hilangnya keberadaan (atau kharisma?) pendeta Liem dari sana.

Banyak pertanyaan yang dapat diajukan dari dua contoh gereja yang pernah semangat ini. Tetapi intinya adalah, lingkungan sangat memengaruhi pertumbuhan (contoh 1) dan ada korelasi yang sangat tajam dan kuat antara kepemimpinan dalam gereja dengan pertumbuhan gereja itu sendiri (contoh 2). Dengan sebuah hipotesa awal dari dua kisah di atas adalah: pertumbuhan suatu ketika agaknya berbeda dengan pertumbuhan yang terus menerus atau berkelanjutan. Dapat saja terjadi sebuah gereja yang pernah bertumbuh, menjadi tidak lagi, bahkan semakin menurun seiring berlalunya waktu. Dengan kata lain, gereja tersebut tidak bertumbuh secara terus menerus, atau berkelanjutan.

Kamis, 07 Mei 2009

YESUS DAN WANITA (Part 2)

Bacaan: Yohanes 8:7

Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."

Melalui peristiwa seorang perempuan yang berzinah, Yesus mengajarkan banyak hal kepada orang banyak teristimewa orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat.

Dibanding tiga golongan lain yaitu Saduki, Esenes, dan Zelot, orang-orang Farisi dan ahli Taurat tampaknya paling sering menguji untuk dapat menemukan kesalahan Yesus sehingga punya alasan untuk menghukum atau mempersalahkan Dia. Bahkan mereka sangat ingin membunuh-Nya.

Tetapi, bukannya mendapat kesalahan Yesus, mereka malah mendapatkan pelajaran-pelajaran yang mengguncang paradigma mereka. Terlepas dari menerimanya atau tidak, pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan menghasilkan jawaban atau pernyataan yang tepat 100%. Benar, membungkam dan tidak terbantahkan.

Mari perhatikan apakah pelajaran yang sedang Ia sampaikan kepada orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat pada saat itu:
1. Jangan menghakimi
Penghakiman adalah milik atau hak Tuhan bukan manusia. Ini tidak berarti bahwa manusia tidak dapat menyatakan kesalahan sesamanya. Bedanya dengan menghakimi, menyatakan kesalahan adalah mengarahkan orang lain kepada pertobatan atau perubahan yang lebih baik secara rohani.

2. Jangan self righteous
Yesus mengajarkan tentang introspeksi, kesadaran penuh terhadap keadaan atau keberadaan diri yang berdosa. Orang-orang Kristen sesungguhnya adalah orang-orang yang berdosa yang saling membantu, menolong, membangun atau menguatkan satu sama lain. Bukan menyalahkan atau mempersalahkan apalagi menghakimi.

3. Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri
Dengan meminta orang yang tidak berdosa yang pertama kali melemparkan batu, berarti Yesus sedang mengajarkan salah satu intisari Kitab Suci yaitu “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.

4. Yesus berorientasi kepada solusi yaitu pertobatan

5. Yesus mengajarkan tentang kesempatan kedua dan pengampunan

Seperti yang disebutkan di kitab-kitab Injil, Yesus begitu berbeda dibanding pengajar-pengajar Israel. Ia tidak mencontohi, mengutip apalagi mengimitasi para imam, orang Farisi atau ahli Taurat. Sebaliknya, Ia berkata-kata dengan penuh kuasa dan otoritas. Ia menyebut kata-kata-Nya sebagai “Firman-Ku”. Menyebut Allah dengan “Bapa”.

Mengenai perempuan yang berbuat dosa tersebut, ia adalah Maria Magdalena*). Ia juga yang membasuh kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya. Ia pula yang meminyaki Yesus di Betania. Dan sangat mungkin semua itu ia lakukan sebagai ungkapan perasaan yang berhutang kepada Yesus karena ia pernah hampir dihukum mati. Waktu itu, orang-orang Farisi, ahli-ahli Taurat dan orang banyak siap merajamnya dengan batu. Tentu saja perempuan itu merasa ketakutan. Pastilah ia berpikir: tamatlah riwayatku. Bayangan-bayangan yang mengerikan sudah ada dibenaknya. Batu. Darah. Sakit. Perih dan Mati.

Tidak heran ia menjadi wanita yang banyak berbuat kasih karena ia merasa sangat beruntung. Lebih dari selamat terhadap rajaman batu, ia selamat secara rohani. Perempuan yang berdosa itu telah bertobat dan mendapat pengampunan dosa.



*)Referensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Maria_Magdalena

Selasa, 05 Mei 2009

YESUS DAN WANITA

Bacaan: Yohanes 4:4-28

Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: "Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?" (Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.
…Pada waktu itu datanglah murid-murid-Nya dan mereka heran, bahwa Ia sedang bercakap-cakap dengan seorang perempuan. Tetapi tidak seorang pun yang berkata: "Apa yang Engkau kehendaki? Atau: Apa yang Engkau percakapkan dengan dia?

Bukan satu atau dua kasus saja yang terjadi di dunia mengenai pria dan wanita. Sangat banyak jumlahnya. Sejak zaman dahulu bahkan hingga zaman sekarang sangat banyak. Tidak terhitung jumlahnya. Dari yang terekspos di media masa sampai yang hampir tak sampai ke telinga publik.

Belum lama ini, sesuai informasi berbagai media, dapat kita saksikan di berbagai peristiwa seperti yang terjadi terhadap wanita bernama Manohara. Atau, wanita yang bernama Rani yang disebut sebagai wanita yang punya hubungan asmara dengan Ketua KPK non aktif Antasari Azhar. Kedua berita highlight ini saya sebutkan semata-mata hanya untuk membuktikan bahwa bahasan kita tentang permasalahan yang berkaitan dengan pria dan wanita bukanlah hal yang tidak real, fiktif atau terlalu jauh dari kehidupan sehari-hari.

Terus terang, saya tidak tertarik membahas kasus-kasus tadi lebih jauh, karena hal semacam itu bukan hal baru bagi Kitab Suci. Di Pengkhotbah disebutkan bahwa tidak ada yang baru di bawah matahari. Dosa-dosa atau kesalahan-kesalahan yang digembar-gemborkan sedang terjadi sesungguhnya pernah terjadi di masa yang lampau. Penganiayaan, perzinahan, pembunuhan, dan lain sebagainya bukan hal yang baru di dunia ini. Mengapa? Karena manusia telah jatuh ke dalam dosa.

Sejak kejatuhan Adam, para pria telah mengalami fallen mind, fallen thought, atau fallen sight. Artinya, mereka telah mengalami pergeseran, penyimpangan atau perubahan pikiran atau pandangan terhadap dunia di sekelilingnya atau di sekitarnya termasuk terhadap wanita. Sehingga, bukannya melihat wanita sebagai penolong atau makhluk yang lebih lemah tetapi berpotensi menganggapnya sebagai objek seksual tempat di mana mereka dapat melampiaskan hawa nafsunya.

Oleh sebab itu, Allah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal yaitu Yesus Kristus menjadi teladan dalam segala hal termasuk tentang bagaimana memandang, bersikap, berkomunikasi, atau berinteraksi dengan wanita.

Yesus memberdayakan wanita bukan memperdaya
Di kitab Injil jelas tercatat semua aktifitas Yesus yaitu mengajar, berkhotbah, memberitakan firman dan menyembuhkan orang sakit. Beberapa orang perempuan yang telah disembuhkan dari roh-roh jahat atau berbagai penyakit, yaitu Maria yang disebut Magdalena, yang telah dibebaskan dari tujuh roh jahat, Yohana isteri Khuza bendahara Herodes, Susana dan banyak perempuan lain ada bersama-sama dengan Dia dan kedua belas murid-Nya. Perempuan-perempuan tersebut melayani rombongan itu dengan kekayaan mereka." (Luk 8:1-3).

Salah seorang dari perempuan-perempuan itu yaitu Maria Magdalena. Ia menyertai Yesus dan para rasul. Ia juga yang berdiri di kaki salib pada saat penyaliban (bdk Mrk 15:40, Mat 27:56, dan Yoh 19:25) dan juga menjadi saksi pada pemakaman Kristus, dan merupakan orang pertama yang mendapati makam kosong dan yang melihat Kristus yang Bangkit (bdk Yoh 20:1-18).

Yesus membawa perempuan berdosa kepada pertobatan bukan ke tempat yang lain
Tujuan atau objektif Yesus semata-mata hanyalah pertobatan bukan yang lain. Tampak melalui kisah tentang seorang perempuan berdosa yang masuk ke rumah Simon orang Farisi. Perempuan itu menangis dan air matanya membasahi kaki Yesus. Ia mengurapi kaki-Nya dengan minyak wangi serta mengeringkannya dengan rambutnya. Perempuan itu adalah orang tersingkir karena dosa yang amat serius seperti zinah atau hubungan di luar pernikahan. Pada akhir kisah tersebut, Yesus mengampuni-nya.

Perempuan yang lain yaitu Perempuan Samaria yang akhirnya bertobat setelah berbincang-bincang dengan Yesus dan dinyatakan kesalahannya oleh Dia.

Hal lain tentang Yesus terhadap wanita adalah: Ia tidak melihat wanita secara fisik tetapi melihat hatinya. Ketika diperhadapkan pada perempuan yang tertangkap basah berbuat dosa, yang pada saat itu sangat mungkin berpenampilan tidak wajar atau berantakan, tidak dilihat-Nya. Sebaliknya, Ia menunduk sambil menulis di tanah.

Yesus pernah berkata kepada orang-orang Saduki bahwa di sorga orang-orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat.

Jika Anda mungkin pernah bertanya: mengapa Yesus tidak kawin? Maka jawabnya adalah: karena Ia berasal dari sorga.